Rabu, 27 Agustus 2014

RAPBN 2015 dan Transisi Kekuasaan

RAPBN 2015 dan Transisi Kekuasaan

Ahmad Erani Yustika  ;   Guru Besar Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef
KORAN SINDO, 27 Agustus 2014
                                                


Pada 15 Agustus lalu presiden telah membacakan RUU APBN 2015 beserta nota keuangannya di depan anggota DPR. Postur RAPBN 2015 menyentuh angka Rp2.000 triliun (tepatnya Rp2.020 triliun). Jumlah ini terlihat sangat besar, namun sebetulnya jika dibandingkan dengan PDB yang sekitar Rp10.500 triliun tahun depan, anggaran itu kurang dari 20%.

Sungguh pun begitu, dari sisi penerimaan jumlah yang direncanakan hanya Rp1.762,3 triliun sehingga seperti tahun-tahun sebelumnya anggaran 2015 masih didesain defisit sebesar Rp257,6 triliun (2,32% terhadap PDB). Demikian pula, anggaran tahun depan juga mengalami defisit keseimbangan primer (jumlah penerimaan lebih kecil ketimbang pengeluaran di luar pembayaran utang), jumlahnya sebesar Rp103,5 triliun. Situasi ini terjadi sejak 2012 dan terus membesar hingga tahun depan.

Asumsi Makroekonomi

Data di atas menunjukkan bahwa pemerintah harus melakukan utang lagi tahun depan sebesar defisit tersebut, baik yang bersumber dari luar maupun dalam negeri. Informasi lain yang bisa disampaikan menyangkut porsi belanja pemerintah pusat sebesar Rp1.379,9 triliun dan transfer ke daerah dan dana desa Rp640 triliun. Dari sisi penerimaan, penerimaan perpajakan diharapkan menyumbang Rp1.370,8 triliun dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp388 triliun.

Ini berarti tahun depan rasio pajak terhadap PDB (tax ratio) ditargetkan masih rendah seperti tahun-tahun sebelumnya yang selalu pada kisaran 12%. Sementara asumsi pertumbuhan ekonomi adalah 5,6%, inflasi 4,4%, suku bunga SPN 3 bulan 6,2%, nilai tukar Rp11.900/dolar AS, harga minyak mentah Indonesia (ICP) 105 dolar AS/barel/hari, dan lifting minyak mentah 845 ribu barel/hari. Titik krusial dalam RAPBN 2015 adalah pos subsidi yang mencapai Rp433 triliun. Subsidi energi memakan porsi paling besar (Rp363 triliun) dan nonenergi Rp70 triliun.

Subsidi energi itu dibagi menjadi subsidi minyak (Rp291 triliun) dan listrik (Rp72 triliun). Sebaliknya, pos belanja yang dialokasikan untuk belanja modal sebesar Rp206 triliun. Hampir pasti pemerintahan baru akan merevisi subsidi ini, khususnya minyak, sehingga akan memengaruhi pencapaian asumsi makroekonomi (di samping realokasi belanja). Jika harga minyak dinaikkan, inflasi 4,4% menjadi tidak realistis. Tiap kenaikan harga minyak Rp1.000/ liter diperkirakan inflasi akan naik 1,0-1,2%. Demikian pula pertumbuhan ekonomi juga akan tertekan seiring kenaikan tingkat suku bunga yang tentu saja akan menekan pertumbuhan investasi.

Sementara asumsi nilai tukar sebetulnya juga rentan berubah bila inflasi meningkat yang mengakibatkan nilai tukar akan tertekan. Tahun depan rasanya pemerintah (baru) juga sulit untuk mencapai lifting minyak sebesar itu, paling tinggi pada kisaran 820 ribu barel/hari. Jika asumsi lifting berubah, jumlah impor minyak akan bertambah dan menyebabkan kenaikan jumlah subsidi.

Dengan mengandaikan kenaikan harga minyak Rp1.000/ liter, tahun depan diperkirakan inflasi akan mencapai 5,5-6%, nilai tukar berpotensi menembus Rp12.000/ USD, danpertumbuhan ekonomi tertekan ke level 5,3% saja. Apabila harga minyak dinaikkan Rp2.000/liter, inflasi bisa mencapai 7% dan pertumbuhan ekonomi tertekan menjadi 5,0%. Pilihan-pilihan sulit ini yang akan diambil pemerintah dengan manfaat di satu sisi dan ongkos di sisi yang lain.

Program Strategis

Apa yang bisa dilakukan pemerintah mendatang agar anggaran lebih sehat dan berdaya? Isu pokok yang harus dijawab adalah mengembalikan keseimbangan primer. Dengan begitu, paling tidak dibutuhkan peningkatan penerimaan sebanyak Rp103,5 triliun atau penghematan sebesar itu. Menambah penerimaan sebesar itu rasanya sulit karena membutuhkan waktu dan upaya yang lebih keras. Demikian pula, PNBP juga tak mudah ditingkatkan. Jika dilakukan upaya yang sangat serius, mungkin hanya bisa diperoleh kenaikan penerimaan sebesar Rp90-100 triliun.

Dengan begitu, penghematan merupakan pilihan yang mesti diambil. Apa yang dapat dihemat? Beberapa pos yang bisa dikurangi adalah belanja barang, program yang tumpang tindih dan bukan prioritas, perjalanan dinas, pengurangan fasilitas pejabat, dan sebagainya. Dari sini bisa dihemat Rp30-40 triliun. Apabila skenario di atas berjalan, keseimbangan primer akan bisa dicapai sehingga defisit anggaran tinggal 1,5%. Meskipun belum ideal, defisit itu masih dapat diterima pada tahun pertama transisi kekuasaan. Persoalannya, kualitas alokasi belanja masih buruk karena belanja terkait motor pembangunan seperti belanja modal sangat sedikit.

Apa yang bisa dilakukan lagi? Tak ada cara lain, kecuali mengurangi subsidi (meski tak harus menaikkan harga minyak). Jika targetnya subsidi minyak tinggal Rp150 triliun, dapat ditambahkan ke belanja modal sehingga akan menjadi Rp300-an triliun. Sebelum kebijakan ini diambil, sebaiknya pemerintah menangani dulu masalah penyelundupan dan mafia impor minyak. Jika ini sukses, resistensi rakyat terhadap kebijakan penghematan atau kenaikan harga tidak akan terlalu besar. Pekerjaan rumah terakhir yang masih dapat dilakukan adalah merevisi program sesuai janji pemerintahan terpilih.

Isu yang harus masuk adalah pengarusutamaan pembangunan maritim, alokasi dana desa sesuai perintah undang-undang, reforma agraria, mitigasi liberalisasi perdagangan (khususnya Masyarakat Ekonomi ASEAN), dan desain skema jaminan sosial semesta (termasuk di dalamnya pendalaman subsidi kesehatan, pendidikan, perumahan, pengangguran, dan lain-lain). Tentu saja program itu tak akan diselesaikan tahun depan, namun sudah harus dirintis sejak dini karena menyangkut janji yang telah diikrarkan. Kendala yang dihadapi juga banyak, terutama desain anggaran sudah dirumuskan oleh pemerintah sebelumnya. Namun, segala soal itu bisa dikelola selama terdapat komitmen yang utuh dan ketulusan hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar