Kamis, 28 Agustus 2014

Rekonsiliasi Pascapilpres

Rekonsiliasi Pascapilpres

Agust Riewanto  ;   Program Pascasarjana Ilmu Hukum
Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
MEDIA INDONESIA, 27 Agustus 2014
                                                


MAHKAMAH Konstitusi (MK) telah melakukan proses persidangan gugatan hukum sengketa hasil Pilpres 2014 yang diajukan oleh kubu pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dengan putusan menolak seluruh permohonan dan mengukuhkan kemenangan Joko Widodo-HM Jusuf Kalla sebagai presiden terpilih RI dalam Pilpres 2014. Putusan hukum MK bersifat final dan mengikat sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 47 UU No 24/2003 sebagaimana diubah dengan UU No 8/2011 Tentang Perubahan UU No 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Proses persidangan MK ini telah berlangsung secara transparan dan akuntabel. Ini memperlihatkan bahwa MK memiliki konsistensi untuk menyelesaikan sengketa pilpres lewat jalan demokrasi yang semakin dilembagakan melalui mekanisme supremasi hukum. Ini juga menunjukkan manifestasi akan kematangan dan pelembagaan demokrasi di Indonesia.

Seluruh rakyat Indonesia harus mendukung sepenuhnya pada presiden dan wakil presiden terpilih sebagai pemimpin politik. Dukungan rakyat ini memiliki arti penting untuk memperkuat basis legitimasi sosiologis bagi keberhasilan pemerintahan Jokowi-JK dalam memajukan dan memakmurkan bangsa lima tahun ke depan.

Momentum rekonsiliasi nasional

Saat ini adalah momentum tepat untuk melakukan rekonsiliasi nasional antara pemenang dan yang kalah dalam Pilpres 2014. Sebagai pemenang Pilpres 2014 Jokowi memiliki otoritas yang kuat untuk merangkul yang kalah. Sebaliknya, kubu yang kalah pun seharusnya memiliki jiwa besar untuk dapat menerima kekalahan dan bersedia mengakhiri semua proses politik dan hukum pascaputusan MK.

Karena itu, komunikasi dan dialog demokrasi perlu diintensifkan untuk mencairkan ketegangan yang mengarah pada potensi konflik yang sempat muncul selama proses Pilpres 2014. Di sinilah relevansi gagasan Paul Lederach (2003) dalam The Little Book of Conflict Transformation yang memaparkan model rekonsiliasi dalam mengakhiri konflik. Dalam konteks rekonsiliasi pasca-Pilpres 2014 dapat dilakukan model rekonsiliasi melalui tiga lapis; lapis atas, menengah, dan bawah dengan pendekatan rekonsiliasi yang berbeda-beda.

Rekonsiliasi elite

Pertama, rekonsiliasi pada lapis atas atau model negosiasi tingkat tinggi. Dilakukan dengan cara melakukan dialog antara elite politik dan masing-masing parpol penyokong capres untuk menemukan jalan damai guna mengakhiri semua konflik dan potensi konflik melalui aneka model perilaku politik yang dapat disepakati bersama. Ini dapat ditempuh melalui jalur negosiasi, kompromi, dan kerja sama (koalisi) yang elegan dalam membawa perubahan haluan bangsa menuju cita-cita besar kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan rakyat.

Merajut relasi dan rekonsiliasi antarelite ini dapat dimulai dengan memanfaatkan momentum pembentukan dua blok koalisi antarparpol di DPR antara parpol propemerintah Jokowi dan parpol oposisi, serta pembentukan struktur dan postur kabinet kementerian yang sedang dilakukan oleh Jokowi. Kejelasan sikap berpolitik di DPR RI antarparpol penyokong setiap capres dalam koalisi pemerintah atau koalisi oposisi ini sangat penting dilakukan sebagai manifestasi bagi jalannya sistem pemerintahan presidensial efektif ke depan. Sebab, seperti diingatkan oleh Juan J Linz (1992) dalan The Perils of Presidensialism, bahwa seorang pemimpin politik dalam sistem pemerintahan presidensial akan berpotensi menjadi otoriter bila tidak dimbangi dengan hadirnya partai oposisi yang kuat.

Karena itu, justru pemerintahan Jokowi akan kuat jika disokong pula oleh partai oposisi yang kuat.Partai oposisi diperlukan untuk melakukan kontrol dan koreksi atas jalannya pemerintahan agar selalu berada dalam jalur yang tepat, sesuai konstitusi. Sebaliknya bagi pemerintah, hadirnya partai oposisi menjadi penting bagi mitra bestari dalam adu gagasan dan program untuk mewujudkan visi dan misinya sebagai presiden terpilih.

Rekonsiliasi menengah

Kedua, rekonsiliasi dan dialog lapis tengah dapat dilalukan melalui aneka model ajakan untuk menyatukan ide dan gagasan membangun bangsa sebagai tanggung jawab bersama terutama antarlapisan menengah masyarakat Indonesia. Kategori lapisan masyarakat menengah ini dapat dinisbahkan pada aneka organisasi kelompok kepentingan mulai media cetak dan elektronik, organisasi profesi, organisasi sosial politik, organisasi lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berseberangan dalam pilihan politik capres yang berbeda untuk saling mencari titik-titik temu untuk menegosiasikan dan mendialogkan aneka perbedaan kepentingan selama proses Pilpres 2014. Guna bergerak menuju pilihan politik yang tepat pascapilpres, apakah akan tetap menyokong kubu Prabowo Subianto sebagai manifestasi kelompok oposisi atau berpihak pada kubu Jokowi dalam gerbong penguasa politik atau sebaliknya berada dalam posisi tidak berpihak pada keduanya (netral).

Pilihan model dan sikap politik ini perlu dilakukan untuk memperjelas aksentuasi dan pilihan cara untuk mengartikulasikan aneka kepentingan sejumlah kelompok ini. Sebab, dalam politik semua kelompok kepentingan memiliki model dan cara tersendiri dalam melakukan kerja-kerja ideal dalam bersumbangsih membangun bangsa. Karena itu, rekonsiliasi lapisan kelompok menegah terutama media (cetak dan elektronik) ini menjadi penting, karena bukan saja akan memiliki tingkat pengaruh yang besar terhadap kinerja jalannya pemerintah, melainkan juga berpengaruh terhadap kinerja semua komponen bangsa.

Rekonsiliasi akar rumput

Ketiga, rekonsiliasi antara lapisan bawah dan akar rumput dari pendukung kedua capres. Kelompok masyarakat yang dapat dikategorikan lapis bawah ini ialah para relawan penyokong yang jumlahnya relatif banyak dan rata-rata berada dalam lapis masyarakat yang tak terorganisasi secara rapi, tetapi memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap preferensi pilihan rakyat pada kedua capres ini.

Model rekonsiliasi yang dapat dibangun ialah membangun komunitas dialogis antarkelompok relawan untuk menegosiasikan aneka perbedaan pilihan politik dalam bentuk kerja sama menyampaikan informasi, ide, dan gagasan presiden terpilih atau sebaliknya ide dan gagasan kelompok oposisi pada masyarakat akar rumput. Ini dimaksudkan untuk memperkuat hadirnya civil society yang kuat untuk peduli terhadap persoalan bangsa dan negara sebagai manifestasi pendidikan politik.

Untuk mewujudkan rekonsilasi nasional pascapilpres ini Jokowi sebagai pemenang Pilpres 2014 perlu menempatkan dirinya sebagai negarawan sejati. Pemimpin politik dapat dikatakan telah sampai pada derajat negarawan ketika memiliki rasa nasionalisme dan cinta bangsa dan negaranya melebihi dirinya, kelompok, golongan, dan partainya. Seperti dinyatakan oleh Manuel L Quezon, Presiden Persemakmuran Filipina (1935-1944), “Loyalty to my party ends when loyalty to my country begins.“ (Loyalitas pada partai politik saya berakhir saat loyalitas pada negara dimulai). Artinya Jokowi harus menegaskan kepada tiga lapis masyarakat itu bahwa ia bukan lagi miliki partai politik penyokongnya. Kini ia milik bangsa.

Untuk mewujudkan mimpi rekonsiliasi nasional dan mengakhiri ketegangan karena perbedaan pilihan politik pasca-Pilpres 2014, prakarsa kultural sederhana dan merakyat Jokowi dengan memopulerkan ‘salam tiga jari’ dan pelarangan penggunaan simbol baju kotak-kotak pada konstituen politiknya perlu dikembangkan ke dalam struktural dan sistematis, berupa komitmen untuk mencintai, melindungi, dan mengayomi semua warga bangsa tanpa kecuali dalam wujud nyata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar