Selasa, 30 September 2014

Keterbukaan Informasi Pemerintahan Baru

Keterbukaan Informasi Pemerintahan Baru

Rumadi  ;   Komisioner Komisi Informasi Pusat,
Dosen FSH UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
KOMPAS,  29 September 2014

                                                                                                                       


HARUS diakui, agenda keterbukaan informasi pemerintahan baru kurang mendapat perhatian publik. Padahal, keterbukaan informasi adalah salah satu prasyarat penting kualitas kehidupan berdemokrasi sekaligus sarana untuk mencegah korupsi. Hipotesanya, negara yang semakin terbuka informasinya semakin rendah tingkat korupsinya.

Sebenarnya, dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahap ke-3 (2015-2019), agenda keterbukaan informasi terlihat meskipun samar. Dalam isu strategis bidang politik dan komunikasi, salah satu sasaran adalah peningkatan akses masyarakat terhadap informasi publik. Hal ini menunjukkan keterbukaan informasi yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 menjadi salah satu agenda penting dalam pembangunan lima tahun ke depan.

RPJPN tahap ke-3 itu juga sudah merumuskan sejumlah strategi untuk mencapai sasaran, antara lain: 1) intervensi kebijakan/ regulasi untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap informasi publik dan menjamin kebebasan berpendapat; 2) kebijakan mainstreaming open government dalam pelaksanaan pembangunan; 3) peningkatan kualitas konten informasi publik; 4) peningkatan sistem informasi dan sarana/prasarana akses informasi publik; 5) penguatan lembaga quasi pemerintah bidang komunikasi dan informasi.

Bagaimana mempertemukan RPJPN tahap ke-3 dengan visi dan misi presiden terpilih?

Visi keterbukaan

Dalam visi-misi presiden terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla, persoalan yang terkait dengan keterbukaan informasi bisa dilacak dalam sembilan agenda prioritas.
Poin kedua menyebutkan, pemerintah akan membangun tata kelola pemerintahan yang transparan, bersih, efektif, demokratis, dan tepercaya.

Caranya, dengan meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan pemerintahan pusat dan daerah; mewajibkan setiap unit pemerintah untuk membuat laporan kinerja, serta membuka akses informasi publik.

Agenda ini dijabarkan dalam tujuh prioritas: 1) menjalankan UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP); 2) meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan instansi pemerintah; 3) mewajibkan instansi pemerintah membuat laporan kinerja dan membuka akses informasi publik; 4) mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik; 5) menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana kebijakan publik; 6) menata kembali frekuensi penyiaran; dan 7) mendorong inovasi teknologi informasi dan komunikasi.

Untuk mewujudkan, perlu konsistensi dan kepemimpinan yang kuat. Sepuluh tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebenarnya sudah mengupayakan itu semua meskipun konsistensi dan kepemimpinannya bisa dipersoalkan.

Sejak UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang KIP diimplementasikan pada tahun 2010, secara kelembagaan lembaga-lembaga pemerintah berupaya memenuhi tuntutan UU dengan membentuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID). Salah satu tugasnya adalah mengelola dan memberikan layanan permohonan informasi meskipun pada praktiknya masih sekadar formalitas.

Pemerintah provinsi juga sudah membentuk Komisi Informasi yang salah satu tugasnya adalah menyelesaikan sengketa informasi publik. Sayangnya, hingga sekarang, masih ada sepuluh provinsi yang belum membentuk Komisi Informasi. Komisi Informasi yang ada pun belum semua berfungsi maksimal.

Beberapa bulan Maret lalu, Presiden SBY juga mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2014 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi. Inpres ini merupakan implementasi dari Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang Tahun 2012-2025. Inpres ini ditujukan kepada seluruh menteri, pimpinan lembaga negara, gubernur, hingga wali kota/bupati.

Ada juga Rencana Aksi yang terkait pelaksanaan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang KIP di mana seluruh kementerian dan lembaga menjadi penanggung jawab. Salah satu yang menjadi fokus adalah pembentukan dan penguatan PPID, adanya standard operating procedure (SOP) layanan informasi publik dan terimplementasi dengan baik, serta semua badan publik memiliki daftar informasi publik yang dipublikasikan melalui situs web.

Tampaklah bahwa ada titik temu antara visi-misi presiden terpilih dan agenda keterbukaan informasi publik yang terintegrasi dalam Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.

Hilangkan paradoks

Sebagaimana disinggung di awal tulisan, antara keterbukaan dan pemberantasan korupsi seharusnya berkorelasi positif. Pemerintahan yang semakin terbuka, menurunkan tingkat korupsinya. Namun, tampaknya di Indonesia masih paradoks.
Jika melihat data dari Open Budget Indeks (OBI) tahun 2012, tingkat keterbukaan informasi Indonesia, terutama dalam hal anggaran, terbilang baik dengan skor 62, lebih baik daripada skor tahun 2010 yang hanya 51. Indonesia menjadi negara terbaik di Asia Tenggara tingkat keterbukaannya dan nomor dua di Asia setelah Korea Selatan.

Namun, hal ini tidak berbanding lurus dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK). Data yang dikeluarkan Transparansi Internasional menunjukkan IPK Indonesia masih memprihatinkan. Skor IPK Indonesia tahun 2013 masih di peringkat ke-114. Ini jauh di bawah Singapura (86), Hongkong (75), Taiwan (61), Korea Selatan (55), dan Tiongkok (40). Di ASEAN, skor Indonesia jauh di bawah Brunei (60) dan Malaysia (50). Indonesia sedikit di bawah Filipina (36) dan Thailand (35).

Berdasarkan data tersebut, salah satu agenda penting yang harus diwujudkan pemerintahan baru ke depan adalah bagaimana agar keterbukaan informasi berpengaruh pada IPK. Harus dikatakan, keterbukaan informasi Indonesia masih sebatas aksesori demokrasi, belum menyentuh substansi demokrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar