Senin, 27 Oktober 2014

Haji dan Pendidikan Antikorupsi

Haji dan Pendidikan Antikorupsi

Muhammad Kosim  ;  Doktor Bidang Pendidikan Islam IAIN IB Padang
HALUAN, 10 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Di tahun ini, lebih dari 150 ribu jemaah haji asal Indonesia me­nunaikan rukun Islam kelima di tanah suci. Besar harapan kita, sekembalinya ke tanah air, mereka menjadi haji mabrur sehingga memberi efek positif terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Banyak pesan moral yang terkandung dalam rangkaian ibadah haji tersebut. Salah satu di antaranya adalah mendidik seseorang untuk menolak praktik korupsi.

Merenungkan pesan ini amat penting, mengingat negeri ini masih banyak digerogoti oleh orang-orang yang rakus, korup terhadap kekayaan negara. Akhirnya, rakyat menjadi sengsara.

Pesan moral ibadah haji untuk menolak tindakan korupsi dapat dilihat dari sejumlah rangkaian ibadah haji. Thawaf, misalnya, me­ngajarkan manusia agar setiap beraktivitas mesti sesuai dengan perintah Allah SWT.

Ali Syariati dalam bukunya Hajj: Reflection on its Rituals, menjelaskan makna Ka’bah dalam rangkaian tawaf. Me­nurutnya, Ka’bah melam­bangkan ketetapan (konstan), sebab dia hanya diam. Se­mentara manusialah yang bergerak (aktif) mengitari ka’bah. Ka’bah ibarat Matahari, manusia ibarat planet yang mengitari matahari tersebut.

Itu artinya, Allah-lah pusat eksistensi yang merupakan titik fokus dari dunia yang fana ini. Sementara manusia mesti bergerak, beraktivitas, berbuat dan bersikap mesti berpusat kepada kehendak-Nya. Apapun perbuatan dan gerak manusia hanya untuk-Nya, tidak boleh bertentang dengan ajaran-Nya. Tentu, korupsi merupakan perbuatan yang dilarang-Nya.

Ali Syariat juga menyebut, manusia harus bergerak dan berbaur dengan manusia lain secara bersama dengan menge­nakan pakaian ihram secara disiplin. Jika seseorang diam, tidak bergerak, maka pada hakekatnya ia telah mati, bukan manusia yang sesung­guhnya. Dalam kebersamaan gerak ini, tak ada konsep “Aku”, tak ada “Egois­me pribadi”, tak ada konsep “Indi­vi­dua­listik”, yang ada hanya kon­sep “Ki­ta”, atau “Um­mah”. Kon­­sep “A­ku” seke­tika ber­ubah men­jadi “Kita” untuk menghampiri Allah SWT.

Maka tawaf me­nge­lilingi Ka’bah telah me­nga­jar­kan kepada u­mat Islam un­tuk bersatu me­lak­sa­nakan pe­rin­tah Allah dan mera­pat­kan bari­san pula memberantas segala per­buatan yang dila­rang-Nya.

Begitu pula Sa’i, melam­bangkan per­jua­ngan fisik, mencari hal-hal yang dapat me­menuhi kebu­tuhan-kebutu­han dari a­lam. Manusia ti­dak boleh fatalis, pesimis dan me­nyerah kepada “nasib”. Tapi sa’i mengajarkan manusia untuk berjuang, berijtihad memiliki semangat, vitalitas dan opti­misme, lagi-lagi dengan dasar tauhid yang kuat.

Selain itu, putihnya pakaian ihram melambangkan kesucian dan kesederhanaan. Ketika pakaian ini dipakai, buangkan segala sifat kesombongan, keangkuhan, egosime, kera­kusan dan segala penyakit hati yang merusak. Hidup seder­hana sangat penting sebagai perisai dari pola hidup serakah dan rakus yang mengundang tumbuhsuburnya praktik korupsi.

Pe­san-pe­­san i­ba­­dah ha­ji tersebut hanya bisa dipetik oleh orang-orang yang berakal dan me­miliki niat yang tulus ha­nya karena Allah. Me­reka senan­tiasa berharap dianuge­rahkan Allah menjadi haji mabrur.

Hakikat Haji Mabrur

Kata mabrur sendiri berasal dari kata barra, yabirru, barran yang berarti kebaikan, kebe­naran, ketaatan atau kesalehan. Mabrur seakar kata dengan al-birr yang juga berarti kebaikan. Kata al-Birr terdapat dalam al-Baqarah ayat 177, yang menjelaskan hakikat kebaikan itu sendiri, yaitu: orang yang memiliki akidah yang mantap, ibadah yang ta­at, dan kepe­dulian sosial yang kuat, ser­­­ta ke­pri­badian yang bertanggung jawab.

Kata al-Birr juga ditemui dalam surat Ali Imran ayat 92 yang menegas­kan bahwa kebai­kan yang se­sung­guh­nya tid­ak akan dapat diraih kecuali dengan kerelaan menafkahkan har­ta yang paling dicintai.

Dari ciri-ciri al-Birr dalam Al­quran dapat dipa­hami bahwa haji mabrur tidak saja memiliki kesalehan ritual, tetapi juga memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Jangankan korupsi atau me­ngambil hak orang lain, me­nerima pembe­rian orang lain saja mereka enggan. Se­bab mereka yakin tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah. Karena itu, mereka rela memberi sebagian harta­nya pada orang lain, seka­lipun harta itu amat dicin­tainya (Qs. Ali Imran/3: 92).
Demikian terpujinya ka­rakter haji mabrur, maka tidak ada ganjaran yang patut diberikan kepada mereka, kecuali surga (alhajjul mabruru laitsa lahul jazaa-u illal jannah).

Menyaksikan praktik de­mokrasi di negeri yang saban hari disuguhi oleh berita kasus korupsi ini mengundang perta­nyaan banyak orang: masih adakah harapan negeri yang mayoritas muslim ini akan bebas dari korupsi?

Sebagai orang yang beri­man, tentu pantang berputus asa. Umat Islam yang setiap tahun semakin banyak menu­naikan ibadah haji, diharapkan mampu mengambil hikmah dari perjalan suci tersebut.

Jika mayoritas jamaah haji tersebut kembali ke tanah air menjadi mabrur, cinta dan menebar kebaikan, maka kehadiran mereka akan mam­pu meminimalisir perilaku korupsi, atau lebih dari itu mereka tampil sebagai pahla­wan antikorupsi.
Untuk menjadi haji mab­rur, sebelum ia berangkat mestilah meluruskan niatnya hanya karena Allah semata. Harta yang digunakan juga harus diperoleh dari hasil pekerjaan yang halal, bukan dari pekerjaan haram. Apalagi Rasulullah SAW pernah mengi­ngatkan: Sesungguhnya Allah tidak menerima sedekah dari (hasil) ketidakjujuran dan sholat tanpa bersuci (Hadis riwayat Imam Abu Dawud).

Sebaliknya, jika biaya haji yang digunakan dari hasil pekerjaan yang haram, bisa jadi perjalanan haji justru semakin menutup hatinya dari hidayah Allah SWT dan akhir­nya berstatusnya sebagai “haji” yang terlibat dalam tindakan korupsi.

Haji Berbekal Takwa

Bekal jamaah haji tidak saja berupa harta tetapi bekal terbaik adalah bekal takwa. Bahkan sebelum musim haji (bulan Syawal, Dzulqaidah dan Dzhulhijjah), umat Islam terlebih dahulu melaksanakan ibadah puasa di bulan Rama­dhan. Puasa itu sendiri dila­kukan agar seseorang menjadi orang yang bertakwa.
Begitu pula urutan ayat perintah puasa untuk takwa (Qs. Al-Baqarah/2: 183) lebih didahulukan dari pada ayat yang berbicara ibadah haji (Qs. Al-Baqarah/2: 196-203).

Hal ini mengisyaratkan bahwa untuk melaksanakan ibadah haji, seseorang mesti berupaya membekali dirinya dengan takwa. Dengan begitu, ketika ia kembali ke tanah air, sikap keberagamaannya semakin konsisten dan berkomitmen untuk menegakkan dan memperjuangkan kebena­ran. Sebab orang yang bertak­wa adalah orang yang selalu mawas diri, berhati-hati agar tidak terjerumus dalam per­buatan yang dimurkai-Nya.

Dengan begitu, maka setiap muslim yang sudah menu­naikan ibadah haji, akan menjadi teladan dalam kehi­dupan umat. Keteladanan dalam berbicara, berpenampilan, bersikap dan bertindak, ter­masuk anti terhadap korupsi. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar