Selasa, 28 Oktober 2014

Kawan dan Lawan Politik

Kawan dan Lawan Politik

Mohamad Sobary  ;  Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
KORAN SINDO, 27 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Pak Jokowi punya banyak pendukung dan kawan yang bisa diandalkan. Mereka kuat dan bisa membikin Pak Jokowi menang dalam pemilu yang baru lalu.

Mereka kuat karena pada dasarnya semua orang-orang lemah, terbukti dari ”saweran” politik yang disalurkan melalui suatu rekening khusus recehan.

Ini semua luar biasa. Hanya suasana jiwa dan solidaritas politik di masa revolusi dulu yang bisa menyamainya. Kita terkejut, dan heran, bahwa di tengah suasana serbauang, serbamateri, serbabayar, dan tak satu pun unsur gratis dalam hidup ini, tiba-tiba, entah apa sebabnya, sebuah solidaritas yang tak terbayangkan muncul.

Kita belum lagi tahu, faktor apa penyebabnya. Apakah kita tak perlu tahu dan cukup mengatakan solidaritas ya solidaritas? Apakah solidaritas itu cukup dijelaskan, semata untuk Pak Jokowi dan tidak mungkin untuk orang lain?

Betapa luar biasanya fenomena politik ini. Apakah ini suatu cermin kewibawaan kharismatik yang bisa membius kesadaran massa, yang hanya dimiliki Bung Karno pada zamannya? Apakah kewibawaan keduanya memiliki sumber-sumber yang sama dan muncul dalam wajah politik yang sama?

”Kita belum tahu.” ”Apakah Pak Jokowi setingkat Bung Karno?”

”Kita juga belum tahu.” ”Apakah kewibawaan Pak Jokowi sama dengan kewibawaan Bung Karno?”

”Kita belum tahu.” ”Apakah pengaruh kewibawaan keduanya sama?”

”Mungkin sama pengaruhnya. Tapi tak berarti Pak Jokowi sama dengan Bung Karno”

Mungkin tidak harus sama. Pak Jokowi ya Pak Jokowi. Bung Karno ya Bung Karno. Itu saja. Lagi pula buat apa harus sama dan disama-samakan? Biarlah masing-masing menjadi pribadi khusus, sesuai tuntutan sejarah. Dan itu berarti keduanya tidak sama, dan memang tidak harus sama.

Kecuali itu, kawan politik Pak Jokowi, pendukung Pak Jokowi, tidak sama dengan kawan politik dan pendukung politik Bung Karno. Seperti disebut di atas tadi, secara sepintas solidaritas politik kali ini tampak seperti solidaritas di zaman revolusi, solidaritas pada Bung Karno. Tapi apa yang ”tampak seperti” belum tentu sama, dan kelihatannya tidak sama. Saya tidak tahu persis bagaimana kawan politik Bung Karno di zaman revolusi. Apakah mereka tidak memiliki ambisi politik, dan tidak minta imbalan pada Bung Karno agar mereka diangkat menjadi menteri atau pejabat lain yang setara menteri, atau yang punya wibawa besar di masyarakat.

Kawan Pak Jokowi mungkin lain. Seikhlas-ikhlasnya mereka mendukung, ”ngeploki ” dan ”nyuraki ” agar Pak Jokowi menang, keikhlasan mereka kelihatannya, rasa-rasanya, disertai suatu pamrih. Apalagi bagi mereka yang memang oportunis. Orang oportunis mengerikan. Tak mungkin ada ketulusan pada jenis manusia seperti itu.

Orang yang selamanya tak pernah ada hubungan dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tiba-tiba muncul dan menggunakan istilah ”merapat”. Sesudah ”merapat” mereka mapan di situ. Tak malu-malu mereka mendesakdesak dan merepotkan sekali. Orang dari partai lain ikut kiprah mati-matian di partai lain, tiba-tiba tak tahu malu, ”merapat” seperti disebutkan tadi, sekadar menjual kepintaran bicara.

Anehnya, orang terpesona pada kepintaran bicara. Anehnya lagi, Pak Jokowi pun terpesona pada orang yang pintar bicara, yang jelas belum tentu pintar kerja. Apa dengan sikap seperti ini, janji menyusun kabinet ”profesional” untuk membangun Indonesia ”hebat”, bisa dicapai, dan tidak bakal kedodoran d tengah jalan?

Bukan hanya begitu. Kawan politik Pak Jokowi kelihatannya kawan yang transaksional, bukan kawan politik Bung Karno, yang berpikir tulen demi Indonesia. Kalau kabinet yang disebut bakal banyak profesionalnya, tetapi kemudian ternyata hanya banyak pengamatnya, kita sudah tahu, dalam tiga minggu, atau tiga bulan, kabinet pengamat itu hanya bakal banyak diskusi dan menghasilkan analisis situasi mutakhir. Kita tak jadi punya kabinet yang bisa bekerja. Sebetulnya makin diam kabinet itu makin baik.

Di mana-mana, orang kerja haruslah diam, tidak berisik, jangan kebanyakan analisis, tidak perlu kebanyakan debat. Mestinya kita memilih pendukung yang sedikit bicara banyak kerja. Kalau kebalikannya, yaitu kebanyakan pengamat dan politisi, tampaknya kita berani bertaruh: tanggung tidak jadi apa-apa selain diskusi, berdebat, diskusi dan berdebat.

Situasi seperti ini sedang berlangsung sekarang. Pak Jokowi sedang dipengaruhi oleh cara berpikir dan cara memandang kehidupan politik, yang tak semuanya berorientasi pada hasil, hasil, dan hasil. Banyak tekanan, yang tampil dalam bentuk saran-saran halus, seolah sekedar saran, tapi sebetulnya, kalau saran itu tak dipenuhi, kita tahu, kawan politik ini akan segera berubah menjadi lawan politik paling penuh kedengkian. Mereka bisa ngerecoki.

Mereka bisa menjadi sejenis duri di dalam daging. Dan jangan salah, orang seperti ini mudah sekali menjual rahasia politik kepada pihak luar, yang tak begitu menyukai Pak jokowi. Apa lagi si oportunis yang hidupnya memang hanya untuk mencari kesempatan politik dan jabatan.

Kalau orang seperti itu sudah diakomodasi dengan baik dan akan duduk manis selama masih bisa memperoleh keuntungan politik yang dicari, mereka akan diam. Tapi Pak Jokowi, apa pantas orang yang bercita- cita luhur membela Indonesia, tetapi mengakomodasi orang oportunis? Apa ini enak secara etis? Apa keadaan seperti ini tak dianggap berbahaya secara politis?

Pak Jokowi kelihatannya tak memiliki kemewahan politik untuk bisa ”to turn political enemies into friend ”, dan kemungkinan yang paling dekat malah sebaliknya: ”to turn political friends into enemies ” Ini gara-gara kaum oportunis yang dipuja- puja, dan dijunjung-junjung seperti pahlawan. Kita bakal melihat bahaya potensial ini menjadi bahaya nyata dan merepotkan segalanya.

Jangan salah. Kecuali kawan politik, Pak Jokowi memiliki lawan- lawan politik yang membawa ”bara” yang siap menyala untuk membakar apa saja yang tak mereka sukai. Saya kira, ini semua sudah diperhitungkan. Mungkin bahkan sudah ada akomodasi politiknya yang manis? Berapa lama kita tahan berpura-pura dalam drama politik yang bukan cerminan jiwa kira sendiri?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar