Jumat, 24 Oktober 2014

Pesta Rakyat

Pesta Rakyat

Aris Setiawan  ;  Penulis
KORAN TEMPO, 23 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Sesaat setelah Jokowi dan Jusuf Kalla dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI, sebagian masyarakat melangsungkan pesta rakyat. Tak hanya di Jakarta, keramaian pesta juga berlangsung di hampir pelosok negeri. Nama "pesta rakyat" seolah menandakan bahwa sejatinya Jokowi adalah milik rakyat. Dalam pesta itu, segala lapisan masyarakat berbaur dalam satu tujuan, yakni mengungkapkan rasa syukur. Kita dapat melihat artis-artis kelas kampung hingga Ibu Kota bernyanyi. Uniknya, mereka tidak dibayar, alias gratisan. Semua demi menyemarakkan pengukuhan Jokowi, sang Presiden.

Selama ini, kita mendengar slogan "Jokowi adalah kita". Dalam pesta rakyat, slogan itu menjadi nyata. Rakyat melihat Jokowi sebagai representasi diri mereka: sederhana, jujur, bahkan terkadang terlihat ndeso. Dan, justru kenaturalan dan kesederhanaan itulah yang sesunggunya memikat dan bikin rakyat jatuh cinta. Dalam pidato resminya di hadapan MPR dan DPR, tanpa diduga ia dengan lugas menyebut "tukang bakso" untuk menemani kata "nelayan" dan "petani", yang selama ini jamak diucap. Sebuah diksi baru yang kemudian menggambarkan bahwa ia berusaha menyentuh segala lapisan masyarakat kelas bawah tanpa membedakan antara yang satu dan yang lain. Wajar jika pelantikan Jokowi menjadi "pesta" bagi segenap rakyat Indonesia.

Pesta bukan semata menghambur-hamburkan sesuatu secara berlebihan. Apalagi semata bersenang-senang. Dalam pesta itu, segala doa dan harapan disematkan. Pemotongan tumpeng sebagai simbol keselamatan dilakukan. Saat di atas panggung pesta rakyat di Monas, Jokowi memberikan potongan tumpeng pertama kepada seorang wanita, Siti Mugiyah, yang belakangan diketahui sebagai sopir taksi dan penopang hidup keluarga. Potongan kedua dan ketiga pun ia peruntukkan bagi pejuang kehidupan kelas akar rumput yang selama ini terlupakan. Jokowi tak memberikan potongan tumpeng itu kepada pejabat, kolega, apalagi politikus dan ketua partai. Ia menekankan arti keberpihakan kepada rakyat kecil. Ia menjadi "harapan baru" sebagai oasis di tengah kerasnya kehidupan dewasa ini. Jokowi menandai babak baru di mana persentuhannya dengan rakyat begitu terasa.

Setelah berpesta, selanjutnya rakyat akan mengawasi dan menunggu hasil kinerja Jokowi. Mungkin ia kalah dari segi koalisi partai di parlemen, tapi ia memiliki koalisi dengan nama "rakyat". Uniknya, keikhlasan yang diberikan oleh rakyat (sebut pula relawan) selama ini patut menjadi catatan tersendiri. Sebutlah, misalnya, para artis Ibu Kota, yang sekali manggung mendapat puluhan hingga ratusan juta rupiah, rela bercapek-capek tampil tanpa dibayar demi Jokowi. Sebuah pemandangan yang langka dijumpai di dunia serba industri dewasa ini dengan segala hitung-hitungan untung-rugi.

Hal ini mengingatkan kita akan jejak-jejak kebudayaan manusia Indonesia yang dibangun di atas kesadaran kohesi kolektif, kerja sama, dan saling menghargai. Sebutlah, misalnya, gotong-royong di kampung, ngayah di Bali, serta sambatan di Jawa Tengah. Pada intinya, mereka melakukan sesuatu bukan untuk mencari uang atau materi, melainkan demi persaudaraan dan kasih sayang antarsesama. Pesta rakyat yang digelar hendak bersuara lantang menyampaikan hal tersebut.

Karena itu, dari pesta rakyat yang telah digelar , kiranya dapat dipetik kandungan hikmah dan pesan yang tersimpan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar