Rabu, 29 Oktober 2014

Sumpah Bersejarah

Sumpah Bersejarah

Yonky Karman  ;  Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
KOMPAS, 29 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


"Ik heb een eleganter formulering voor de resolutie (Saya punya formulasi resolusi yang lebih elegan),” demikian bisik Mr Mohammad Yamin kepada Soegondo Djojopoespito, pemimpin Kongres Pemuda Indonesia Kedua, di Jakarta, sambil menyodorkan secarik kertas. Saat itu, Mr Soenario Sastrowardoyo, penasihat panitia kongres, sedang berpidato pada sesi akhir. Soegondo membubuhkan paraf setuju untuk rumusan elegan resolusi kongres, diikuti peserta kongres lain.

Sebelum resolusi dibacakan, untuk kali pertama diperdengarkan alunan ”Indonesia Raya” tanpa syair, dari gesekan biola komponisnya, Wage Rudolf Soepratman. Di rumah milik Sie Kong Liong, di Jalan Kramat Raya, Jakarta, di situ insan Indonesia berusia 20-an tahun yang mewakili puluhan organisasi kepemudaan bersumpah ”Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa yang satoe, bangsa Indonesia.” Sumpah itu kemudian menjadi bagian dari ingatan bangsa, sebuah tonggak sejarah nasional.

Sumpah berbangsa

Deaktivasi identitas lama yang berdasarkan pengelompokan demi sebuah identitas baru (bangsa) yang melampaui semua kelompok. Nasion (Latin: nasci, ’kelahiran’) adalah entitas politik baru hasil suatu keputusan kolektif yang rasional. Maka, bangsa bisa ada sebelum negara dan kesadaran berbangsa mendahului kesadaran bernegara. Proses berbangsa sekat-sekat kelompok. Identitas kelompok tetap ada, sebuah keniscayaan bagi Bhinneka Tunggal Ika, tetapi kepentingan bangsa di atas segala-galanya.

Ada banyak pemuda Indonesia sebelum Sumpah Pemuda, tetapi sejarah nasional tidak berubah. Mereka hanya sebagai generasi seusia (coevals) dan generasi penerus, tetapi bukan generasi penentu. Kehadiran generasi penentu tidak hanya membuat ada yang berubah dalam sejarah, tetapi sejarah itu sendiri berubah.

Perubahan sejarah terjadi bukan karena peran generasi seusia semata, apakah itu generasi muda atau generasi tua, melainkan interaksi di antara keduanya sebagai generasi semasa (contemporaries). Demikian pembedaan kategori generasi dari JosÉ Ortega Y Gasset (1883-1955), filsuf Spanyol. Soekarno pernah berdiskusi di Gedung Sumpah Pemuda. Anggota panitia kongres, seperti Soenario, Johannes Leimena, Mohammad Yamin, dan Amir Sjarifudin, kemudian menjadi menteri Republik Indonesia. RCL Senduk, ahli bedah, kemudian ikut membentuk Palang Merah Indonesia. Proklamasi Kemerdekaan terjadi bukan hanya karena peran mereka, melainkan juga peran aktif generasi muda, seperti Soekarni dan Wikana, dalam interaksi dengan generasi Soekarno yang berusia 40-an tahun.

Sumpah kepada bangsa

Untuk Indonesia, Oktober ini bulan sumpah. Sumpah para anggota DPR, sumpah presiden baru dan wakilnya, Sumpah Pemuda. Dua sumpah pertama berlangsung di gedung megah, diikrarkan demi Allah, dihadiri para tamu istimewa, menelan biaya sangat mahal. Mereka bersumpah kepada bangsa. Namun, sumpah tersebut biasanya tak dikenang lagi sebab akhirnya itu hanya bagian dari rutinitas kenegaraan. Dilupakannya sumpah tersebut juga karena kehilangan tuahnya. Sumpah itu jadi tak bertuah karena mereka yang bersumpah lebih takut kepada sanksi ketua partai daripada sanksi Tuhan. Mereka lebih tunduk pada kehendak koalisi partai daripada kehendak rakyat. Mereka memberhalakan kekuasaan. Mereka tak peduli bangsa sedang berjalan mundur.

Sebagai bangsa terbesar keempat di dunia, prestasi olahraga Indonesia di tingkat Asia kini malah pada urutan ke-17. Selalu ada korelasi positif antara prestasi olahraga suatu bangsa dan tingkat kemajuan ekonominya. Dengan kekuatan ekonomi yang bertumpu pada sektor konsumsi dan ekspor bahan mentah, imbas langsung pertumbuhan ekonomi Indonesia bukanlah peningkatan kesejahteraan rakyat, ketersediaan lapangan kerja, dan pemuliaan martabat bangsa.

Sejarah Indonesia tidak akan berubah hanya dengan rentang usia anggota DPR 25-75 tahun atau sebagian besar anggotanya diisi wajah baru atau presiden yang belum 60 tahun. Namun, perubahan akan datang apabila sumpah jabatan itu dibayar dengan ketulusan untuk mengabdi bagi kepentingan bangsa. Mereka yang bersumpah mau jadi generasi penentu yang memutus kejumudan bangsa. Sekarang saja sudah ada tokoh reformasi mengambil bagian dalam kemunduran demokrasi. Elite politik memilih jadi pemain demokrasi dengan rakyat sebagai penonton. Dulu, para pemuda yang sebagian besar bukan politisi bersumpah untuk berbangsa. Kini, politisi yang bersumpah kepada bangsa malah berebut jabatan.

Jargon ”Merah Putih” dan ”Indonesia Hebat” hanya melestarikan keterbelahan politik sekaligus merendahkan kebangsaan. Kalau urusannya perebutan kursi kepemimpinan, mengapa tak sebut saja Koalisi A dan B? Masa depan bangsa tergantung dari pemimpin dan wakil rakyat yang konsekuen dengan sumpahnya, dalam satu tarikan napas Sumpah Pemuda.

Untuk Indonesia Raya

Daerah membentuk kerajaan tersendiri. Pulau dijual kepada swasta. Sebagian besar anggaran belanjanya untuk mengongkosi kemewahan eksekutif dan legislatif daerah. Pusat seperti tanpa otoritas atas daerah karena miskin keteladanan praktik dan moralitas politik. Kelemahan kontrol pusat ini dimanfaatkan penguasa dan pengusaha korup untuk mengeruk kekayaan negeri di daerah.

Saat berpidato di depan seratusan ribu orang yang hadir dalam Konser Salam Dua Jari, di Gelora Bung Karno, 5 Juli 2014, Joko Widodo berkata, ”Saudara-saudara semua adalah pembuat sejarah, dan sejarah baru sedang kita buat.” Rakyat sudah menorehkan sejarah baru dengan terpilihnya para wakil rakyat dan presiden rakyat. Kini mereka harus membuktikan diri sebagai wakil rakyat sejati (bukan wakil partai semata) dan presiden rakyat (bukan presiden koalisi). Partai pendukung presiden perlu mengambil jarak dan tak memaksakan kepentingan. Merekalah yang pertama akan mengkritisi kebijakan presiden untuk melindunginya dari serangan lawan politik. Baik bagi partai belum tentu baik untuk bangsa. Tetapi, baik bagi bangsa tentu baik bagi partai yang memang berjuang untuk rakyat.

Salah urus negara harus diakhiri. Pemimpin yang baik dan benar harus didukung untuk menakhodai perjalanan bangsa lima tahun ke depan. Hari-hari ke depan, kita akan melihat apakah kerja politik mereka yang mengangkat sumpah jabatan tersebut mampu melampaui kesempitan partai dan koalisi. Apabila politisi di parlemen masih memakai bahasa koalisi, kapasitas politik presiden seyogianya melampaui gramatika koalisi. Presiden adalah pemimpin bangsa, termasuk semua anggota di DPR dan MPR. Nurani mereka hanya bisa dimenangkan dengan kepemimpinan presiden yang baik, bersih, dan tulus untuk kepentingan bangsa. Kepemimpinan seperti itu pasti didukung penuh oleh rakyat. Pimpinlah orkes simfoni ”Indonesia Raya” yang syair bait ketiganya berbunyi ”S’lamatlah rajatnja. S’lamatlah poet’ranja. Poelaonja, laoetnja, semoea. Majoelah neg’rinja. Majoelah Pandoenja. Oentoek Indonesia Raja.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar