Minggu, 30 November 2014

Baik dan Tidak Baik

                                                Baik dan Tidak Baik

Samuel Mulia  ;   Penulis kolom “PARODI” Kompas Minggu
KOMPAS,  23 November 2014

                                                                                                                       


Saya dijadwalkan mendapat giliran untuk presentasi pukul 11.00. Karena ada sesuatu dan lain hal, presentasi saya diundur nyaris satu jam lamanya. Kami menunggu di tempat duduk yang disediakan di tempat parkir.

Enggak ada untungnya

Kalau Anda menanyakan mengapa saya berada di tempat parkir, yaa..., karena klien saya memang memiliki ruang rapat yang berlokasi di tempat parkir, dan tak memiliki ruang tunggu, kecuali kursi dengan tiga dudukan di tempat parkir yang panasnya tak perlu saya jelaskan.

Anda pikir saya kesal karena kepanasan? Sedikit sih, tapi hikmahnya selalu ada. Sekarang saya bisa merasakan betapa sengsaranya para sopir yang duduk menunggu tuan dan atau nyonyanya atau majikannya atau bosnya atau anak bosnya, menunggu di sebuah lokasi yang sepanas itu.

Semoga suatu hari kalau saya diberikan kemewahan untuk memiliki seorang sopir, saya akan bisa lebih manusiawi. Ketika saya menceritakan kejadian ini, teman saya langsung nyeletuk, ”Ahh... bisaaa aja. Manusiawi mah sekarang. Ntar-ntar kalau udha kayak bos malah nanya manusiawi itu apaan?”

Keterlambatan di atas juga memorakporandakan presentasi saya berikutnya di tempat lain yang seyogianya dijadwalkan pukul 14.00 nun jauh di luar Jakarta. Maka, saya menulis pesan memohon pengertian klien saya itu akan sebuah keadaan yang saya hadapi.

Alhasil, klien saya yang pukul 14.00 itu sungguh mulia hatinya karena mau mengerti kepelikan yang saya hadapi. Saya itu orangnya seperti itu. Selalu berpikir, kalau seseorang mau mengerti, saya akan menyimpulkan orang itu mulia dan baik. Kalau yang tidak mau mengerti, mereka adalah manusia yang tidak baik dan tidak mulia.

Karena saya itu berpikir, seharusnya semua orang itu harus memiliki tenggang rasa untuk mengerti. Karena pasti dalam perjalanan hidup mereka, mereka toh pernah juga menghadapi kepelikan yang sama. Nah... kalau pernah mengalami, maka saya dengan intelektualitas yang sederhana ini berpikir, pengalamanlah yang akan membuat seseorang bisa dan seharusnya mau mengerti.

Maka, sering kali kekecewaan dalam hidup itu karena saya menyimpulkan terlalu cepat dan dangkal soal baik dan tidak baik. Padahal, baik dan tidak baik, semuanya bisa berubah, bukan? Teman saya sekali waktu pernah menguliahi saya. ”Makanya jangan keburu-buru menilai orang. Enggak ada untungnya, bro!”

Enggak ada ruginya

Banyak orang menganggap saya tidak mulia dan tidak baik orangnya. Saya memang pernah, dan kadang masih demikian adanya. Saya tak tahu kalau Anda. Mungkin gara-gara itu, untuk sebuah perbuatan yang tidak baik, bahkan yang tidak saya lakukan pun, orang menuduh saya yang melakukannya. Saya menjadi semacam sasaran empuk bak permainan dart.

Itu terjadi belakangan ini karena sejumlah orang telah menuduh saya memiliki akun di sebuah social media yang menggambarkan secara gamblang kemiripan rancangan perancang lokal dan dunia. Padahal, saya tahu akun itu saja dari seorang teman.

Kejadian penuduhan juga pernah menimpa saya beberapa tahun lalu. Saya jadi sampai berpikir, apakah ketika saya yang tidak baik memutuskan untuk berusaha menjadi baik, orang akan melupakan ketidakbaikan yang sekali waktu pernah saya lakukan?

Yang saya percaya adalah, bahwa hal yang tidak baik itu agak susah terhapus dengan perbuatan baik. Membutuhkan waktu lama untuk proses penyembuhannya. Sekali seseorang membuat kesalahan atau perbuatan yang dianggap tidak baik, luka itu nyaris akan selalu ada. Luka ini yang menurut saya melahirkan ketidakpercayaan.

Waktu ayah kandung dan ibu tiri saya meninggal, banyak orang menghibur saya dengan menceritakan hal yang baik tentang mereka. Padahal, saya tahu pasti beberapa orang tak menyukai ayah saya. Artinya, ayah saya pernah melakukan hal yang tak baik di mata mereka sehingga mereka memutuskan tak menyukai ayah saya. Artinya lagi, hal baik yang mereka ceritakan kebenarannya bisa jadi tak seratus persen.

Yang tidak tahu kalau ayah saya tidak baik, akan mengatakan ayah saya baik. Maka saya menyimpulkan, saya itu sebaiknya memiliki niat berbuat baik, dan kalau bisa diusahakan tidak menyerah di tengah jalan dalam berbuat baik meski perbuatan baik itu tak dinilai baik oleh orang lain.

Setiap individu berhak memutuskan untuk memelihara luka dan susah untuk memercayai kembali seperti sediakala. Adalah hak seseorang untuk tidak memaafkan dan memelihara luka, tetapi adalah hak seseorang juga untuk berbuat baik meski ia tak dipercayai akan berhasil berbuat baik.

Sekali waktu ayah pernah memberi nasihat. ”Berbuat baiklah sebisa mungkin. Karena jika semua yang di dunia ini berakhir dan tak ada hari penghakiman itu, tak ada ruginya barang sepeser pun perbuatan baikmu itu. Kalau ternyata hari penghakiman itu ada, kamu adalah orang yang paling beruntung.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar