Selasa, 25 November 2014

Interpelasi Pil Pahit Jokowi

                                      Interpelasi Pil Pahit Jokowi

Bambang Soesatyo  ;   Sekretaris Fraksi Partai Golkar DPR RI;
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia; Presidium Nasional KAHMI 2012-2017
KORAN SINDO,  24 November 2014

                                                                                                                       


Seluruh rakyat Indonesia, tanpa terkecuali, harus menelan pil pahit yang diracik dalam kemasan kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Pil pahit itu mungkin mujarab memulihkan kekuatan APBN, tetapi pemulihan itu menuntut pengorbanan rakyat. Karena itu, DPR berkewajiban mempertanyakan kebijakan itu kepada Presiden Jokowi. Semua orang sepakat bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus produktif. APBN harus menjadi motor penggerak pembangunan nasional. Namun, dalam proses memulihkan kekuatan APBN itu, pemerintah tidak patut meminta atau menuntut terlalu banyak dari rakyat.

Dalam konteks BBM bersubsidi, negara cq pemerintah belum waktunya mencari untung. Utamanya, karena jumlah warga miskin masih puluhan juta. Oleh karena itu, setiap kebijakan pemerintah hendaknya tidak menjadi sumber masalah baru yang menambah beban kehidupan warga miskin. Sebaliknya, setiap kebijakan justru sepatutnya menjadi stimulus yang mengurangi beban kehidupan mereka, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Pengalaman mengajarkan bahwa kenaikan harga BBM akan selalu diikuti dengan naiknya harga barang dan jasa, utamanya harga komoditi kebutuhan pokok serta tarif jasa angkutan penumpang pada semua moda transportasi. Dalam beberapa tahun terakhir, kenaikan harga barang dan jasa itu sering berkelanjutan. Kalau kenaikan harga barang dan jasa itu tidak direspons dengan kenaikan gaji atau upah, akibat ikutannya adalah melemahnya daya beli sebagian besar rakyat.

Artinya, kenaikan harga BBM bersubsidi tidak hanya menyengsarakan warga miskin. Keluarga atau individu berpenghasilan pas-pasan pun akan menerima dampak negatifnya. Ketika gaji atau penghasilan mereka tidak naik, otomatis daya beli keluarga dalam kategori ini akan merosot. Perlahan, mereka bisa terdorong masuk dalam kelompok warga hampir miskin.

Memang, untuk melindungi warga miskin dari dampak negatif kenaikan harga BBM itu, pemerintah baru pimpinan Jokowi coba menangkalnya dengan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS). Pertanyaannya, setimpalkah daya KKS melawan arus kuat kenaikan harga barang dan jasa yang biasanya berkelanjutan itu?

Pertanyaan berikutnya adalah siapa yang akan menyelamatkan kelompok keluarga berpenghasilan pas-pasan yang daya belinya merosot itu? Mereka ini adalah pekerja informal, yang karena terdesak oleh keadaan, bersedia menerima upah di bawah UMR. Kelompok masyarakat seperti ini bisa saja tidak terdata dalam program KKS itu.

Dengan demikian, opsi DPR menggunakan hak interpelasi menjadi relevan karena Kabinet Kerja pimpinan Presiden Joko Widodo praktis gagal mengamankan kebutuhan dasar rakyat sebelum memutuskan kenaikan harga BBM bersubsidi. Harga aneka komoditi kebutuhan pokok rakyat bahkan telah melambung sebelum harga baru BBM bersubsidi diberlakukan pada Selasa (18/11).

Kenaikan tajam harga aneka kebutuhan pokok rakyat dalam beberapa pekan terakhir, termasuk beras, menjadi bukti bahwa para menteri ekonomi dari Kabinet Kerja gagal meredam dampak negatif isu naiknya harga BBM bersubsidi. Padahal, sejak masa kampanye pemilihan presiden, Jokowi sudah begitu sering memastikan kenaikan harga BBM bersubsidi.

Rupanya kecenderungan ini tidak dicermati atau diantisipasi para menteri Kabinet Kerja. Inilah bukti bahwa para menteri tidak sigap merespons rencana presiden terpilih. Ketidakmampuan para menteri meredam dampak negatif itu akan semakin menyengsarakan rakyat.

Bantuan nontunai lewat KKS tidak akan mengurangi penderitaan warga miskin karena lonjakan harga barang dan jasa biasanya jauh lebih tinggi. Inilah pil pahit dari Presiden Jokowi yang harus ditelan seluruh rakyat Indonesia. Hampir pasti bahwa kenaikan harga BBM bersubsidi tahun 2014 ini akan memperbesar jumlah warga miskin. Jadi, inilah ironi yang harus diterima.

Alih-alih mempercepat pengentasan kemiskinan, pemerintah baru malah merancang kebijakan yang akan berdampak pada bertambahnya jumlah warga miskin dalam dua-tiga tahun ke depan. Rakyat hanya dihibur dengan janji akan terwujudnya swasembada pangan, pembangunan waduk, pelabuhan hingga pembangunan jalur kereta api di luar Jawa. Sayangnya, semua janji itu belum tentu terpenuhi.

Upeti Rakyat

Alasan lain menggunakan hak interpelasi DPR adalah kenyataan bahwa kebijakan Jokowi itu tidak berkeadilan karena memindahkan beban fiskal pemerintahan mereka ke pundak rakyat. Ada penghematan lebih dari Rp100 triliun.

Jumlah ini didapatkan berkat pengorbanan rakyat yang dipaksakan itu. Ekstremnya, Rp100 triliun itu ibarat upeti dari rakyat untuk pemerintah baru. Dengan demikian, sudah cukup alasan bagi DPR menggunakan Hak Interpelasi terhadap Presiden Jokowi. Fraksi Partai Golkar (FPG) pun sudah menyatakan sikapnya menolak keputusan Presiden Jokowi menaikkan harga BBM bersubsidi.

FPG mengecam kebijakan harga baru BBM bersubsidi, karena Jokowi- JK terang-terangan mengalihkan beban fiskal pemerintahannya ke pundak rakyat. Dimotori Partai Golkar, Koalisi Merah Putih (KMP) sedang menggalang kekuatan di DPR untuk memenuhi syarat penggunaan hak interpelasi DPR. KMP menargetkan lebih dari 300 dukungan anggota DPR. Hak interpelasi bisa berlanjut dengan pemanggilan Presiden Jokowi untuk dimintai keterangan.

Dan, bila DPR tidak puas terhadap keterangan Presiden, opsi hak angket DPR hingga hak menyatakan pendapat (HMP) bisa digunakan. Bagi Partai Golkar, kenaikan harga BBM bersubsidi saat ini sama sekali tidak masuk akal, bahkan sulit diterima akal sehat, sebab harga BBM bersubsidi dinaikkan ketika harga minyak di pasar internasional turun, alias lebih rendah dari asumsi APBN tahun berjalan. APBN-P 2014 mengasumsikan harga minyak USD105 per barel, sementara harga minyak saat ini di bawah USD80 per barel.

Artinya, tekanan beban fiskal bagi pemerintah baru relatif belum bertambah karena turunnya harga minyak di pasar internasional itu. Maka kalau benar Jokowi prorakyat, sebagai pemimpin seharusnya memiliki keberanian politik dan menunjukkan iktikad baik dengan menurunkan harga BBM bersubsidi. Sebab dari penurunan harga BBM bersubsidi itu, akan terbangun suasana nyaman dalam kehidupan rakyat.

Kalaupun tidak punya iktikad baik, Jokowi minimal mempertahankan harga pada level yang berlaku sebelumnya. Namun, dengan menaikkan harga BBM bersubsidi dengan skala kenaikan Rp2.000 per liter, sama artinya Jokowi-JK tidak punya iktikad baik terhadap rakyat. Jokowi tetap saja memilih cara instan menaikkan harga BBM bersubsidi untuk mengamankan APBN tahun berjalan.

Dengan model kebijakan seperti ini, FPG menilai Jokowi telah memindahkan beban fiskal pemerintahan mereka ke pundak rakyat. Ini jelas tidak adil. Pemerintah baru yang belum mencatat prestasi apa pun tidak berhak menuntut pengorbanan dari rakyat sekecil apa pun. Menaikkan harga BBM bersubsidi untuk memulihkan kekuatan APBN adalah cermin pemerintahan Jokowi yang tidak kreatif dan malas.

Sebab, di hadapan pemerintah, sesungguhnya masih tersedia sejumlah pilihan untuk memperbesar ruang fiskal pada struktur APBN. Antara lain bersumber dari pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Dengan ekstensifikasi dan penegakan hukum, pemerintah masih berpeluang besar untuk meningkatkan penerimaan dari sektor pajak.

Potensi penerimaan negara dari pos PNBP pun masih sangat besar jika dikelola dengan efektif. Jika pemerintah mau bekerja lebih keras membenahi dua pos penerimaan ini, rasanya pemerintahan Jokowi tak perlu menuntut pengorbanan berlebih dari rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar