Minggu, 30 November 2014

Ironi Timnas dan Bisnis Sepak Bola Kita

                   Ironi Timnas dan Bisnis Sepak Bola Kita

Augustinus Simanjuntak  ;   Dosen Program Manajemen Bisnis
FE Universitas Kristen Petra Surabaya
JAWA POS,  28 November 2014

                                                                                                                       


TIM nasional (timnas) sepak bola kita mengalami kekalahan tragis saat berhadapan dengan tim Filipina. Kesebelasan Filipina yang selama ini belum pernah mengalahkan Indonesia berhasil mencukur tim Garuda 4-0 dalam pertandingan kedua babak penyisihan Piala ASEAN Football Federation (AFF) di Stadion Nasional My Dình, Hanoi, Vietnam (25/11). Kekalahan yang mengejutkan tersebut menjadi tamparan keras bagi pengelolaan persepakbolaan di tanah air.

Inikah buah hiruk-pikuk kepengurusan PSSI yang selama ini sering bergejolak? Sudah pasti bahwa manajemen PSSI yang sarat kepentingan politik berdampak terhadap spirit serta moral pemain. Sungguh ironis jika dunia sepak bola kita masih dikelola dengan hegemoni politik dan kekuasaan. Di banyak negara, sepak bola sudah begitu maju karena tata kelola organisasinya sudah mirip pengelolaan korporasi yang kredibel. Hanya di Indonesia yang sering terjadi perebutan jabatan organisasi dengan intrik-intrik politik.

Akibatnya, organisasi semacam PSSI tidak lagi berfokus mengembangkan diri sebagai pencetak pemain profesional berkelas internasional, tetapi cenderung sibuk dengan pola-pola organisasi Orde Baru yang hanya mengandalkan dana APBN dalam aksi-aksinya. Padahal, PSSI memiliki potensi yang besar untuk berubah menjadi sebuah perusahaan (mirip BUMN) yang memproduksi pemain-pemain berbakat yang direkrut sejak dini dari berbagai daerah di tanah air.

Misalnya, ketika tim Garuda sempat maju ke final Piala AFF Suzuki 2010 di Gelora Bung Karno melawan Malaysia, penjualan kaus/kostum pemain berlogo Garuda di berbagai kota meningkat tajam. Iklan produk di stadion pertandingan dan di televisi yang ditunjuk penyelenggara pun sangat laris. Bahkan, momen final itu sempat menjadi sarana strategis bagi politisi untuk personal and institutional branding. Artinya, PSSI sangat berpeluang menjadi perusahaan yang mampu berpendapatan besar untuk membiayai program pembinaan pemain.

Sayangnya, PSSI kurang terbuka ke publik soal sistem tata kelola, regenerasi pengurus, dan penggunaan anggaran. Sebagai milik publik, PSSI sudah saatnya dipimpin orang-orang berjiwa entrepreneur seperti sebagian menteri dalam Kabinet Kerja Presiden Jokowi saat ini. PSSI butuh sosok seperti mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan yang telah berhasil mengubah kultur BUMN jauh lebih profesional dan lepas dari intervensi politik. PSSI pun sudah saatnya dikelola kaum pebisnis, bukan birokrat.

Sudah saatnya PSSI dibangun berdasar prinsip tata kelola yang transparan serta akuntabel dalam membangun spirit para pemain plus kepercayaan publik. Kejujuran dan transparansi di internal PSSI tentu bakal terlihat pada pelaporannya kepada pemerintah dan masyarakat terkait dengan penggunaan anggaran, serta pengelolaan pendapatan dari tiket dan iklan, relasi bisnis, serta pelayanan customer (penonton). Naiknya martabat sepak bola kita di mata dunia bergantung pada integritas dan tata kelola yang diterapkan di PSSI.

Ketika publik sudah tidak percaya kepada PSSI, mentalitas dan prestasi pemain timnas pun akan terus menurun. Pemain terbaik hanya bisa lahir dari tata kelola organisasi yang berintegritas tinggi. Karena itu, melalui penerapan prinsip good corporate governance, PSSI diharapkan mampu meningkatkan efisiensi serta efektivitas kontribusi kepada kesejahteraan dan prestasi pemain. Selain itu, PSSI yang dikelola dengan karakter bisnis bisa meningkatkan legitimasi organisasi lewat tata kelola yang terbuka, adil, dan bertanggung jawab.

Dengan begitu, keinginan publik atas permainan sepak bola yang cantik dan profesional bisa terpenuhi. Apalagi PSSI yang sudah berdiri berpuluh-puluh tahun seharusnya banyak belajar dari kesalahan manajerial pada masa lalu. Jangan sampai ketika prestasi timnas sedang di ujung mata, manajemen PSSI justru kelabakan dalam mengelolanya. Misalnya, kasus pembelian tiket yang harus berebut dan berdesak-desakan. Dalam kegiatan bisnis, penonton yang berlimpah ruah itu merupakan peluang bisnis yang besar.

Jangan pula para pencinta sepak bola hanya bisa pasrah ketika terjadi kesalahan manajerial di internal PSSI dan panitia. Apa pun keputusan PSSI seolah mengharuskan konsumen (penonton) hanya bisa memakluminya sebagai ciri khas tata kelola yang amburadul. Kondisi penjualan tiket dan situasi di gedung saat pertandingan menimbulkan ragam pertanyaan tentang penggunaan anggaran PSSI plus dana dari hasil penjualan tiket/iklan dalam setiap pertandingan. Apa saja produktivitas penggunaan anggaran itu selama puluhan tahun?

Misalnya lagi, PSSI dan panitia belum bisa memprediksi lonjakan jumlah penonton yang muncul seiring dengan prestasi timnas yang (misalnya) tiba-tiba gemilang. Pengajuan anggaran pun tidak cukup hanya terfokus untuk biaya operasi PSSI dan penyelenggaraan pertandingan, tetapi juga untuk peningkatan kapasitas gedung, prospek pemasangan iklan, serta kenyamanan penonton. Sebagai olahraga yang dibiayai APBN, jangan sampai persepakbolaan kita terus mengecewakan publik atas kinerja dan manajemen PSSI yang buruk.

Karena itu, demi pesta rakyat (menonton sepak bola) pada masa mendatang, pemerintah dan PSSI perlu mengeluarkan biaya yang lebih besar untuk pembinaan para pemain. Juga, memilih pengurus PSSI yang berintegritas tanpa diwarnai intrik-intrik politik dalam proses pemilihannya. Jika syarat calon PNS saja harus memiliki surat keterangan bersih diri dari kepolisian (disebut SKCK), untuk pengurus PSSI pun, tidak boleh ada yang cacat hukum/etika. Manajemen PSSI yang penuh integritas niscaya bisa mencetak timnas berkelas dunia.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar