Minggu, 30 November 2014

Membuka Akses ke Ruang Domestik

                         Membuka Akses ke Ruang Domestik

Putu Fajar Arcana  ;   Wartawan  Seni dan Budaya
KOMPAS,  23 November 2014

                                                                                                                       


Biografi selalu menuntun kita memasuki ruang lebih dalam dari seseorang. Di dalamnya kita bisa melihat aktivitas, kebiasaan, dan perilaku, bahkan kecenderungan karakter yang kemudian tersembul lewat kenyataan sehari-hari. Bukan tak mungkin kita diajak bertamasya ke ruang domestik.

Begitulah pameran Apa Kabar Ibu? #2 yang dihelat 14 perempuan, 17-28 November 2014 di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. Secara lebih spesifik pameran unik ini memberi topik pameran biografi kesenian. Memang ”benda-benda” yang dipamerkan bukan ”hanya” karya seni, tetapi segala sesuatu, termasuk aktivitas sehari-hari, yang berkaitan dengan biografi kesenian seseorang. Terminologi ini ”berusaha” memecahkan kebekuan pengertian seniman, pengurus seni, dan pencinta seni.

Kurator pameran, Anunsiata Srisabda, kemudian memilih para seniman seperti Ully Sigar Rusady (musisi), Heyi Ma’mun (perupa), Sugiyati Anirun (aktor), Ine Arini (tari), Yvonne de Fretes (penyair), Sammaria Simandjuntak (sineas), Tiarma Sirait (art fashion), Moel Soenarko (penyulam), Marintan Sirait (body movement), Ken Atik Djatmiko (tekstil), Anne Nurfarina (drawing), Herra Pahlasari (manajemen seni), Attina Nuraini (perupa), dan Yunis Kartika (visual art). Apa yang bisa dipamerkan dari keberagaman profesi ini?

Paling menarik apa yang dilakukan Herra Pahlasari selaku pengelola manajemen kesenian. Sejak mendirikan s.14, semacam ruang presentasi karya-karya seniman di Bandung, Herra berusaha memecahkan batas-batas antara ruang domestik di rumahnya dan ruang ekspresi para pengunjung s.14. Ruang tamu adalah juga ruang pameran, ruang keluarga menjadi ruang diskusi, garasi menjadi tempat workshop dan perpustakaan. Peleburan ruang-ruang ini sejak semula menjadi mimpi Herra, ketika ia ingin menghancurkan menara gading seni dengan masyarakat.

Seluruh aktivitas di dalam s.14 itulah yang kemudian dipresentasikan Herra dalam Apa Kabar Ibu? #2. Di situ ada foto keluarga, video, perpustakaan, dan segala macam benda di rumah tinggal, termasuk tembok yang penuh corat-coret. Herra memberinya tajuk ”Berbagi Ruang Berbagi Gagasan”, di mana Anda bisa mencorat-coret sekehendak hati di tembok ruang pamer.

Menarik juga apa yang dipamerkan musisi balada Ully Sigar Rusady. Selain selendang yang menjadi ciri khasnya pada setiap momen menyanyi, Ully membawa serta kotak gitar yang penuh ditempeli stiker dari berbagai bandar udara di Indonesia. Penempelan itu sungguh jelas mengabarkan balada Ully yang mencintai perjalanan ke berbagai daerah Nusantara sambil membawa pesan-pesan pelestarian lingkungan.

Kotak gitar mewakili sebagian biografi kesenimanan Ully. Keseniman itu tumbuh seiring dengan perjalanannya menyusuri jejak kota-kota, sembari menembangkan kecintaan kepada Tanah Air.

Kegelisahan

Perupa Yunis Kartika gelisah bukan karena keinginan menemukan bahasa yang tepat untuk mewujudkan karyanya, tetapi melihat kenyataan betapa beban ledakan jumlah bayi itu ditumpukan kepada para perempuan. Pada karya berjudul ”Nina Bobo, Anakku Akan Jadi Apa?” ia menghamparkan sosok para bayi di lantai Galeri Nasional Indonesia. Sementara di tembok tergantung seorang ibu yang sedang menggendong bayi. Perempuan itu gelisah dan terus mengurai angka-angka statistik. Bahwa setiap tahun setidaknya lahir 4,5 juta bayi di Indonesia. Angka yang fantastis! Beban itu seolah ditanggung sendirian oleh perempuan. Tak henti ia bertanya, ”Akan jadi apa bayi-bayi itu kelak, jika kondisi bangsa terus-menerus begini?”

Sementara penulis Yvonne de Fretes dengan mesin ketik manual di mejanya menulis dalam ”Sajak dan Wanita”, begini: ”…kita memang wanita negeri ini/ku tak ingin mencatat jumlah cinta/yang kita pasrahkan di sini/pun tak menggugat/ruang-ruang yang kadang mendadak bisu/ambang yang didesak kesenyapan/kecuali ingin menembus kegelisahan/yang sama kita pahami/meraih apa pun yang tampak di depan sana//.

Kegelisahan yang serupa bukan? Perempuan senantiasa ditempatkan pada bilik yang terkunci rapat oleh dominasi nilai, yang sebagian besar ditentukan oleh maskulinitas. Sekat-sekat yang ingin dipecahkan Herra, jelas dibentuk oleh berbagai aturan berbau maskulin. Bahwa ruang domistik haruslah menjadi keniscayaan, di mana akses publik dibatasi. Herra memberontaki nilai itu dengan mendirikan ruang s.14, yang kemudian menghancurkan aturan-aturan maskulin tadi.

Selain berbicara tentang biografi kesenian, pameran ini juga menyodorkan ruang kebebasan kepada para perempuan untuk mendobrak kesehariannya yang beku, keseharian yang diawasi dan dibatasi ruang-ruang domestik secara ketat. Pembebasan itulah yang kemudian mendorong para perempuan untuk ”memublikasi” ruang domestik sebagai bentuk ”perlawanan”. Perlawanan terhadap dominasi maskulinitas yang meletakkan perempuan dalam posisi lemah, tak berdaya, bahkan tak memiliki harapan masa depan....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar