Minggu, 30 November 2014

Menyoal E-voting

                                                     Menyoal E-voting

Ikhsan Darmawan  ;   Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia
KORAN SINDO,  29 November 2014

                                                                                                                       


Belum lama ini penulis beruntung memiliki kesempatan turun ke lapangan di satu tempat, menggali informasi perihal topik yang sedang hangat dibicarakan saat ini, yaitu e-voting.

Tempat yang dimaksud adalah Boyolali, salah satu kabupaten di Jawa Tengah. Boyolali menarik untuk diteliti karena di sana pada 2013 lalu ada penerapan metode e-voting dalam pelaksanaan pemilihan kepala desa (pilkades). Boyolali adalah satu dari tiga daerah di Indonesia yang sudah bersentuhan dengan e-voting selain Jembrana dan Musi Rawas.

Di Boyolali, pelaksanaan pilkades memang masih menggabungkan model elektronik dan manual. Selama setahun lalu, ada delapan dari total 260 desa yang pilkadesnya dengan evoting. Sisanya dilakukan dengan cara manual. Tulisan ini tidak berpretensi untuk membahas apakah evoting bisa diterapkan dalam pemilukada serentak pada 2015 seperti kebanyakan dibahas di media massa akhir-akhir ini. Tulisan ini hanya ingin mengangkat secara singkat tentang pilkades di Boyolali dengan e-voting.

Pada saat pertama kali menginjakkan kaki di Boyolali, penulis yakin bahwa penerapan teknologi elektronik dalam pilkades di Boyolali berkaitan dengan kemajuan yang ada di daerah tersebut. Namun, kesimpulan itu sahih di awal saja karena selama di Boyolali kebetulan penulis tinggal di wilayah perkotaannya.

Baru setelah berkeliling ke desa-desa di Boyolali dan melihat kondisi masyarakat dan pembangunan fisik di sana kemudian di benak penulis timbul beberapa pertanyaan. Mengapa Boyolali yang memiliki luas 1.015 km2 dan kondisi alam kombinasi dataran rendah dan sebagian berbukit itu diadakan pilkades dengan e-voting?

Kedua, apakah masyarakat Boyolali yang menurut data BPS Boyolali 2008 mayoritas (258.202 orang atau 32%) tamat SD dan 75.302 orang atau7,9% diantaranya berusia di atas 65 tahun itu siap sekaligus percaya pada e-voting? Apa saja kelebihan serta kekurangan dari pilkades diBoyolali dengan evoting dibandingkan dengan model manual?

Awal mula penerapan evoting dalam Pilkades di Boyolali adalah tahun 2012, ketika BPPT mengadakan dialog nasional tentang pemilu elektronik. Saat itu banyak kepala daerah yang hadir dan ada dua kepala daerah yang ketika ditanya oleh BPPT kemudian menyatakan siap melaksanakan pilkades dengan evoting, yakni Bupati Boyolali dan Bupati Musi Rawas.

 Menurut pengakuan Bupati Boyolali, Seno Samodro, pilkades dengan e-voting di Boyolali dilatarbelakangi oleh pengalaman kepala daerah itu selama 13 (tiga belas) tahun berada di Prancis. Di sana hal yang berbau elektronik dalam kegiatan seharihari dan khususnya kegiatan politik adalah hal yang biasa dan beliau juga melihat bahwa penggunaan metode e-voting bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan di daerahnya.

Sebagai tindak lanjutnya kemudian pemerintah Kabupaten Boyolali mengundang salah satu universitas di Jawa Tengah untuk menawarkan proposal mesin dan peranti lunak e-voting. Akan tetapi, dikarenakan tawaran angka yang terlampau tinggi niat bekerja sama itu tidak dilanjutkan.

Pemerintah Boyolali lantas memilih untuk menggunakan model yang dimiliki oleh BPPT dikarenakan hanya mengeluarkan biaya untuk pelatihan untuk panitia, peranti lunak e-voting yang akan digunakan, dan membeli sendiri perangkat keras (beberapa unit monitor layar sentuh, termal printer, dan smartcard reader) sesuai arahan spesifikasi yang ditentukan oleh BPPT.

Pertanyaan berikutnya, dari ratusan desa di Boyolali, desa mana saja yang dipilih untuk menghelat pilkades e-voting dan apa dasar pertimbangannya? Desa yang dipilih adalah Kebongulo, Kebonbimo, Genting, Karangnongko, Trayu, Sambi, Gondongslamet, dan Dologan. Pertimbangannya adalah keterwakilan sebagian dengan kombinasi dua prinsip.

Pertama, satu desa satu kecamatan. Kedua, dipilih gabungan antara daerah perkotaan dan daerah yang wilayahnya jauh dari kota. Bahkan, akhirnya untuk memperbanyak uji coba di daerah yang jauh dari kota, secara keseluruhan mayoritas (5 dari 8) desa berada jauh dari perkotaan.

Berikutnya, apakah memang masyarakat Boyolali, terutama yang pendidikannya menengah ke bawah dan yang berusia lanjut (diatas 65 tahun), bisa dan percaya dengan e-voting? Awalnya, sempat ada kekhawatiran seperti itu. Namun hal itu sudah diantisipasi sebelumnya dengan menyelenggarakan berkali-kali sosialisasi kepada masyarakat tentang cara pelaksanaan pilkades dengan cara e-voting.

Yang menarik, di samping sosialisasi sebelum hari H, pada hari H di sekitar TPS juga ada sosialisasi untuk para calon pemilih yang belum tahu dan tidak dapat hadir dalam sosialisasi sebelumnya. Sosialisasi itu yang kemudian menekan angka kebisaan dan mendorong kepercayaan masyarakat umumnya dan pemilih berpendidikan menengah ke bawah dan berusia renta pada khususnya.

Secara umum masyarakat Boyolali bisa dan lebih senang menggunakan metode e-voting ketimbang cara manual karena kelebihan-kelebihannya. Hal itu terlihat setidaknya dari tingkat partisipasi masyarakat dengan metode e-voting yang ratarata di atas 70%. Apa saja kelebihan dari metode e-voting? Pertama, metode e-voting tidak sulit digunakan.

 Pemilih menggunakan smart card yang dimasukkan ke dalam card-reader lalu setelah itu memilih calon kepala desa di layar sentuh. Setelah selesai memilih, pemilih mengambil print out pilihannya dan memasukkan kertas print out itu ke dalam kotak yang sudah disiapkan. Kedua, metode e-voting lebih cepat dalam perhitungan dan dapat mengurangi terjadinya ketegangan antara calon dan tim sukses.

Dari ditutupnya TPS ke akhir perhitungan hanya memakan waktu sekitar 15 sampai 30 menit. Bandingkan dengan cara manual yang bisa berjam-jam, bahkan dibeberapa desa perhitungan baru selesai esok sore dari hari pemilihan. Metode e-voting dalam pilkades lebih mengurangi ketegangan antarcalon dan atau tim sukses karena tidak ada ribut-ribut soal keabsahan coblosan karena perhitungan dikerjakan oleh mesin dan tinggal direkapitulasi per kotak suara atau bilik saja.

Ketiga, berbeda dengan model manual yang sekali memakai kertas tidak dapat dipakai lagi, dengan e-voting perangkat kerasnya dapat digunakan berkali-kali. Bahkan selama delapan kali Pilkades e-voting, perangkat yang digunakan adalah perangkat yang sama. Di samping kelebihan, sejauh ini juga masih ada juga kelemahannya yang bisa dijadikan input untuk perbaikan ke depan.

Kelemahan utamanya, secara teknis bilik memilih terlalu pendek (hanya sekitar 30 cm) sehingga mengurangi kerahasiaan pemilih. Dengan bilik yang pendek dan pilihan yang hanya sedikit (dua atau tiga calon), orang lain di luar pemilih bisa lebih tepat menduga apa pilihan pemilih saat itu. Dalam metode mencoblos, bilik yang pendek relatif tidak merupakan masalah karena gerakan tangan pemilih mengarah ke pilihan mana tidak mudah diprediksi.

Sebagai penutup, apa yang terjadi di Boyolali adalah segelintir usaha baik dari daerah untuk memperbaiki hal yang baik dalam hal kepemiluan baik di tingkat lokal maupun lesson learned untuk pemilu nasional. Karenanya, wajib untuk diapresiasi setinggi-tingginya dan bukan tidak mungkin dijadikan pertimbangan untuk dilakukan juga oleh daerah-daerah lain di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar