Jumat, 28 November 2014

Menyongsong Suksesi Partai Golkar

                          Menyongsong Suksesi Partai Golkar

Romanus Ndau Lendong  ;   Kader Partai Golkar
MEDIA INDONESIA,  27 November 2014

                                                                                                                       


KEBERADAAN Partai Golkar dalam pentas politik nasional terus mengalami kemerosotan. Setelah sukses meraih posisi puncak di Pemilu 2004 di bawah kepemimpinan Akbar Tanjung, selanjutnya posisi partai itu terus merosot. Pada Pemilu 2009, perolehan kursi DPR RI sebanyak 106 dan pada 2014 tinggal 91. Penurunan akan terus terjadi kalau Golkar tidak cermat memilih pemimpin baru dalam musyawarah nasional (munas) nanti.

Sialnya, desakan perlunya suksesi kepemimpinan dikhawatirkan gagal oleh meluasnya manuver Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie (Ical) untuk kembali berkuasa.Jelas, itu langkah mundur karena berpotensi membuat partai itu terus terdegradasi. Niat Ical juga memicu perlawanan serius dari generasi muda yang mendesak pembaruan mendasar di partai itu.

Tiga persoalan

Secara politik, Ical memang memiliki hak untuk kembali mencalonkan diri sebagai pemimpin Golkar lima tahun ke depan. Namun, sosok dewasa dan arif tentu tidak melihat hak di atas segala-galanya. Di atas hak ada etika. Ical perlu wawas diri dan tampil sebagai negarawan yang mengutamakan kepentingan yang lebih besar ketimbang terusmenerus meraih kekuasaan tetapi miskin prestasi. Kader Golkar yang hari-hari menggebu mendukung pencalonan Ical juga hendaknya berpikir ulang terkait dengan tiga persoalan serius yang menandai kepemimpinan Ical selama ini.

Pertama, persoalan integritas. Demi meyakinkan peserta Munas Riau 2009, Ical menjanjikan untuk membangun gedung 20 lantai dan menyediakan dana abadi Rp1 triliun. Janji tersebut sempat mengobarkan optimisme bahwa Ical akan menjadi energi yang mengakselerasi kemajuan Golkar. Akan tetapi, sampai akhir jabatannya, janji tersebut tidak pernah terealisasi. Soal itu memantik pergunjingan luas sekaligus membuyarkan respek kader terhadap Ical.

Ingkar janji tersebut merupakan persoalan serius sebagai indikasi rendahnya integritas Ical. Jelas, itu masalah serius sebab Ical gagal tampil sebagai teladan. Padahal, pemimpin yang baik dan sukses harus didukung integritas terpuji yang diukur dari konsistensi antara perkataan dan tindakan. Tanpa integritas, politik tidak lebih dari rangkaian kebohongan yang membuat rakyat semakin risih dan jijik dengan perilaku elite.

Kedua, miskin prestasi. Catur sukses yang digadang-gadang Ical, yakni sukses konsolidasi, sukses kaderisasi, sukses demokrasi dan pembangunan, serta sukses Pemilu 2014 ternyata `jauh panggang dari api'. Kegagalan tersebut menjadi sempurna karena Golkar juga tidak mengajukan capres/cawapres dalam Pemilihan Presiden 2014.

Ketiga, antidemokrasi. Dalam berbagai kesempatan Ical selalu mengingatkan kadernya tentang transformasi Golkar dari partai massa menjadi partai kader. Ide-ide, gagasan, dan inovasi merupakan jantung dari partai kader. Itu berarti penguasaan ide-ide, gagasan, dan inovasi yang memadai seharusnya menjadi determinasi bagi proses rekrutmen kader.

Akan tetapi, gagasan tersebut hanya indah di atas kertas. Rekrutmen kader justru masih tradisional, feodalistik, dan transaksional. Faktor senioritas, kedekatan dengan elite, dan kepemilikan kapital justru terus mendominasi. Suksesi politik di partai itu dirasakan semakin mahal. Akibatnya, kader Golkar yang sukses meraih posisi strategis ditanggapi sinis karena semata-mata didukung faktor kapital tetapi miskin secara intelektual dan moral.

Sikap antidemokrasi yang didemonstrasikan Ical semakin telanjang semenjak Pemilihan Presiden 2014. Kader-kader yang mendukung Jokowi-JK seperti Nusron Wahid, Agus Gumiwang Kartasasmita, dan Poempida Hidayatullah dipecat.Ical juga terkesan semena-mena dan antidialog dengan memberhentikan kader-kader yang bersikap kritis seperti Yoris Raweyai (dipecat dari ketua AMPG) dan Zainuddin Amali, Ketua DPD Jatim (karena mendukung pilkada langsung). Sikap antidemokrasi dan main pecat tersebut kini menyandera semua DPD I dan DPD II sehingga dengan terpaksa memberikan surat pernyataan dukungan bagi pencalonan kembali Ical.

Stabilisator KMP?

Hal yang mengejutkan ialah akhir-akhir ini muncul penilaian bahwa Ical sukses karena tampil sebagai pemimpin di Koalisi Merah Putih (KMP). Itu jelas ironi karena soal tersebut tidak tercantum dalam catur sukses. `Keberhasilan' di KMP jelas tidak memadai untuk mengompensasi kegagalan Pemilu 2014. Sama sekali tidak ada urgensi untuk menjaga stabilitas KMP sebab tidak memiliki dampak signifikan bagi cita-cita kemenangan Golkar di masa depan.

Pertama, persepsi publik tentang KMP amat negatif. Sulit diingkari bahwa KMP tampil sebagai antagonis terhadap Jokowi-JK. Hal itu jelas terlihat dari manuver dan perilaku politik KMP yang terkesan kurang sportif sehingga enggan memberikan pengakuan terhadap Jokowi-JK. Kalau pun kemudian elite KMP seperti Prabowo Subianto, Hatta Rajasa, dan Ical bertemu dengan Jokowi-JK, semangat tersebut belum ditindaklanjuti kader-kader KMP di Senayan. Ambisi sapu bersih untuk posisi-posisi strategis di parlemen ialah wujud dari antagonisme tersebut.

Kedua, pilihan politik rakyat tidak ditentukan kemampuan mendominasi posisi-posisi strategis di Senayan. Apalagi rakyat terlanjur sinis dengan debat-debat parlemen yang lebih digerakkan nafsu kekuasaan ketimbang ekspresi kepedulian terhadap perbaikan nasib rakyat. Itu berarti, tampilnya Ical sebagai pemimpin sekaligus stabilisator KMP jelas tidak berkorelasi positif dengan upaya perbaikan citra Golkar sebagai kekuatan politik yang senantiasa terlibat langsung dan berkarya secara konkret untuk rakyat. Mudah dipahami jika banyak pihak khawatir dengan nasib Golkar apabila kembali dipimpin Ical.

Tantangan Golkar di masa depan semakin berat sehingga mendesak untuk dipikirkan secara matang bagaimana menyikapinya. Suksesi merupakan tuntutan mendesak. Partai itu sangat kaya dengan kader-kader muda yang berwawasan luas dan berintegritas tinggi. Airlangga Hartarto, Hajriyanto Y Tohari, Agus Gumiwang Kartasasmita, Priyo Budi Santoso ialah beberapa nama yang sedang muncul ke publik. Meski kurang populer dan terkesan kurang percaya diri, jika diberi kesempatan dan dukungan penuh, yakinlah nama-nama tersebut akan mampu membuat Golkar bisa kembali hadir sebagai kekuatan politik yang amat pantas diperhitungkan di masa depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar