Sabtu, 29 November 2014

Merdeka adalah Pernyataan Budaya

                         Merdeka adalah Pernyataan Budaya

Sri-Edi Swasono ;   Guru Besar UI; Ketua Umum Majelis Luhur Tamansiswa
KOMPAS,  28 November 2014

                                                                                                                       


TUNTUTAN kemerdekaan mentransformasi diri sebagai tudingan terhadap Majelis Hakim di Pengadilan Den Haag (1928): ”…lebih baik Indonesia tenggelam ke dasar lautan daripada menjadi embel-embel bangsa lain…”.
Joan Robinson (1962), ekonom Cambridge, mengatakan: ”…ilmu ekonomi sebenarnya berakar pada nasionalisme… mazhab klasik menjagoi perdagangan bebas karena menguntungkan bagi Inggris, bukan karena bermanfaat bagi seluruh dunia….”

Sementara Leah Greenfeld (2001), ekonom Harvard, mengatakan: ”…pertumbuhan berkesinambungan perekonomian modern ternyata tidak dengan sendirinya berlangsung berkelanjutan, pertumbuhan hanya akan berkelanjutan jika didorong dan ditopang oleh nasionalisme....”

Widjojo Soejono (2012): kewaspadaan (vigilance) adalah hanya kemerdekaan.

Pada 17 Agustus 1945 kita memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Pernyataan kemerdekaan tak lain suatu pernyataan budaya, budaya untuk menegakkan onafhankelijkheid—melepaskan diri dari ketergantungan, tak lagi berlindung dari belas kasihan penjajahan, keberanian melepaskan diri dari ketertundukan sebagai koelie di negeri sendiri, menegaskan diri sebagai tuan di negeri sendiri, suatu pernyataan budaya meninggalkan underdog mentality-nya kaum inlander.

Kesadaran-kedaulatan berdaulat, mandiri, berharkat martabat, berkehidupan cerdas (tak sekadar berotak cerdas), tangguh, digdaya, dan mandraguna merupakan tuntutan budaya yang harus dipenuhi sebagai bangsa merdeka. Barangkali kita gagal unlearning untuk memenuhi tuntutan budaya itu. Kita alpa tak segera menggariskan strategi budaya sebagai bangsa merdeka. Kita lengah-budaya menerima liberalisme dan kapitalisme.

Kita terjerumus mengejar-ngejar to have more, lupa mengejar to be more. Kita terjerumus mengejar ”nilai tambah ekonomi”. Pembangunan nasional harusnya mengejar pula ”nilai tambah sosial-kultural” agar mampu meraih makna to be more. Akibatnya hasil utama pembangunan adalah pertumbuhan produk domestik bruto (PDB), itu pun cuma 6 persen. Beginilah jika pembangunan lebih mengutamakan ”daulat-pasar”-nya liberalisme dan kapitalisme, bukan mengutamakan ”daulat-rakyat”.

Dengan pertumbuhan PDB sekadarnya itu, kita sebaliknya banyak kehilangan kedaulatan nasional: kita tak berdaulat dalam pangan, bibit, obat dasar, teknik industri, ekspor-impor, energi, teknologi, transportasi, kelautan, pertahanan (mesiu), tata guna bumi/air/kekayaan alam, bahkan kita tak berdaulat dalam legitasi nasional. Bambang Ismawan (15/10/2014) sempat mencemaskan 60 persen penguasaan industri penting di tangan asing. Bagaimana keterjajahan ini bisa terjadi? Apa yang sebenarnya kita ajarkan di kelas-kelas ratusan fakultas ekonomi di Indonesia? Berapa banyak lagi kedaulatan nasional akan terenggut oleh keterjajahan akademis ini?

Koreksi kelemahan budaya

Keterjajahan baru ini seharusnya menumbuhkan perlawanan, bukan kepasrahan, selama nasionalisme masih di kandung badan. Seharusnya kita tak perlu cemas sebagaimana dicemaskan Wakil Bupati Sleman (17/10/2014): ”…jangan heran orang-orang Singapura nanti berjualan buah di Sleman… jangan kaget orang-orang Malaysia berjualan di pasar tradisional kita….” Kita harus selekasnya koreksi kelengahan-budaya ini dengan mengakhiri servilisme diri.

Kita tidak anti asing, tetapi kita tidak boleh membiarkan dan harus menolak ekonomi asing mendominasi ekonomi nasional. Globalisasi bukan ajang penyerahan kedaulatan. Masyarakat Ekonomi ASEAN harus tetap merupakan forum kerja sama, bukan forum persaingan, apalagi pengangkangan dan ajang perampokan predatorik aset dan kepentingan nasional kita.

Seharusnyalah kita mampu mewujudkan ”pembangunan Indonesia”, bukan sekadar ”pembangunan di Indonesia”. Kita sendiri harus mampu menjadi aktor-aktor proaktif pembangunan nasional, bukan sekadar menjadi penonton. Para pemimpin kita tidak seharusnya tiba-tiba saja kagum kepada investor asing seolah-olah investor asing adalah Deus ex machina—dewa penolong, lalu lupa tanggung jawab untuk mandiri dan menyelamatkan penderitaan rakyat.

Kita mengibar-ngibarkan bendera ekstravaganza Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang asal-usulnya karya rekaan mancanegara, yang bukan karya anak negeri melalui Bappenas. Di situlah Indonesia ”menari atas kendang orang lain”. Di MP3EI ada puncak pimpinan (presiden, wakil presiden, dan ketua harian), ada pula badan koordinasi, ada komite (KP3EI yang didirikan 20/5/2011), dan ada keanggotaannya yang berisi hampir semua anggota kabinet, ada badan pelaksana, ada tim kerja wilayah, dan seterusnya.

Namun, hingga kini kita belum menyaksikan hasil menakjubkan MP3EI, kecuali perkembangan infrastruktur secara rutin-rutin saja selama 2011-2014. Barangkali ini justru merupakan berkah karena MP3EI menawarkan kegiatan dan sarana strategis pembangunan nasional kepada investor-investor asing, menjadikan kita malah bisa tergantung atau tergadai dalam sistem pengelolaan asing. Amat terasa, berkat ke-inlander-an kita, investor asing diposisikan sebagai Deus ex machina—dewa penolong bagi Indonesia.

Kita beruntung bahwa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla telah bersumpah setia pada Doktrin Trisakti sehingga MP3EI gaya baru yang apa pun tak membuat Indonesia jadi ajang bancaan dan jarahan asing, kita bisa menjadi tuan di negeri sendiri. Tidak boleh lagi ada menteri yang manufacturing hope, tetapi harus bisa manufacturing miracles.

Semangat kerja sama

Nasionalisme dan rasa berkedaulatan harus menjadi panduan bagi birokrasi Indonesia menghadapi globalisasi. Dalam pertemuan KTT Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di pinggiran Beijing baru-baru ini, suasana batin APEC tercemari semangat kompetisi ekonomi, di mana seorang kepala negara sempat tergelincir lidah, melenceng dari mindset kerja sama, menggunakan istilah ”bersaing”, mengucapkan perkataan fair competition dalam APEC yang sebenarnya forum kerja sama.

Berdasar titik tolak di atas, globalisasi harus kita hadapi melalui pendekatan beraliansi dalam skema kerja sama pula, baik substansi maupun mekanismenya. Kita harus proaktif ikut berperan dalam PBB, WTO, APEC, Masyarakat Ekonomi ASEAN, dan lain-lain, yang pada hakikatnya masing-masing merupakan ”forum kerja sama”—bukan ”forum bersaing”, semua paket kerja sama harus disetujui in good faith oleh semua pihak yang bekerja sama.

Prinsip kerja sama harus saling mengamankan konstitusi, kedaulatan dan kepentingan nasional setiap negara. Dalam kerja sama ekonomi internasional, proteksi dan subsidi tidak perlu diha¬ramkan. Keduanya harus tetap merupakan pilihan sebagai stimulus dan motivasi melaksanakan pembangunan nasional kita.

Persaingan global yang tidak ramah harus ditangkal melalui semangat kebersamaan. Sebaliknya kerja sama global harus lebih ditonjolkan demi meredam persaingan yang saling merugikan. Kerja sama bukanlah suatu konspirasi. Kerja sama adalah upaya bersama untuk dukung-mendukung bergotong royong demi mencari manfaat bersama dan bukan untuk mencari kelemahan atau mengintip kelengahan pihak lain, tidak untuk menunggangi dan merampok pihak lain yang lebih lemah dan lengah.

Nasionalisme mengutamakan kepentingan nasional tanpa mengabaikan tanggung jawab global.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar