Sabtu, 29 November 2014

Mufakat untuk Kebudayaan

                                     Mufakat untuk Kebudayaan

Radhar Panca Dahana ;   Budayawan
KOMPAS,  28 November 2014

                                                                                                                       


SETIAP pagi dini sekali, setelah siuman dari tidurnya, sebelum ia melakukan kegiatan, bahkan shalat sebagaimana diajarkan ayah dan ustaznya, Tuan Fulan akan keluar rumahnya, memasuki taman kecil di depan, berjongkok, membungkuk, dan bersujud untuk mencium tanah. Tuan ini tidak begitu tahu persis kapan ia mulai kegiatan itu, tetapi jelas sudah sangat lama, mungkin sejak ia akil balig.

Seperti dorongan tak tertahan, Tuan yang berasal dari sebuah pulau purba di timur negeri ini merasakan tanah sebagai bagian ”tak terhindar” dari dirinya, diri kemanusiaannya. Dengan menyentuh semua yang paling murni dari kehidupan: tanah pagi, udara bersih, dan embun sebagai H2O termurni yang dihasilkan alam. Jika itu berkesesuaian dengan cerita para tetua di desanya, bahwa ia keturunan akhir salah satu nenek moyang warga adat setempat yang muncul dari tanah, laut (air), dan udara, Tuan Fulan tak begitu peduli.

Dalam pengertian kita, manusia modern, Tuan Fulan mewakili jutaan dan miliaran manusia di muka bumi ini, sebagaimana juga Anda yang jika memeriksa diri memiliki kegiatan serupa. Kegiatan yang secara personal berisi sebuah pegangan atau acuan abstrak dan idealistis bernama: nilai (value). Inilah dasar awal kesadaran manusia mengetahui diri dan hidupnya cukup berharga untuk dipertahankan menghadapi segala tantangan zaman; manusia perlu menjaga bukan hanya keberadaan, melainkan juga kemuliaan.

Apa yang terjadi pada Tuan Fulan—juga Anda—sebenarnya sebuah langkah pertama dalam upaya manusia secara kolektif membangun apa yang kita sebut kemudian sebagai kebudayaan. Kegiatan rutin yang kemudian jadi tradisi atau adat (keduanya berasal dari bahasa asing, tetapi maknanya kongruen), yang jika dilakukan secara kolektif, dari sebuah masyarakat atau komunitas akan menciptakan tingkat kedua dari proses pembudayaan: norma (norms). Sebuah tingkat, sebagaimana yang pertama, tak membutuhkan bahkan belum muncul penilaian sosial (social judgement) apakah tradisi normatif itu bersifat negatif (destruktif) atau positif (konstruktif). Bisa salah satu, bisa keduanya.

Baru di tingkat kedua ini saja, kita, warga dari sebuah bangsa dan sebuah negara, dapat meninjau diri sendiri—sebagai individu, komunitas, dan seterusnya—apakah ia berada dalam sebuah norma—yang merupakan mufakat (konsensus) secara sadar maupun bawah-sadar—dengan bentuk dan dampak yang membangun (positif) atau merusak (negatif)? Ketika kita, misalnya, mengambil dua buah lembar kertas dari laci simpanan kertas kantor kita (milik perusahaan atau negara) untuk katakanlah menulis surat pribadi atau membungkus makanan, apa yang terasa signifikan dalam diri kita? Sebuah kewajaran normal (yang secara etimologis berakar pada norms) karena dilakukan hampir seluruh orang tanpa perasaan bersalah, atau sadar betapapun itu hanya dua lembar kertas sebenarnya ia contoh nyata perilaku yang koruptif?

Maka mari kita jadikan dunia sekeliling cermin reflektif untuk memahami realitas diri kita sendiri? Bagaimana kita dan ribuan orang lain bersepeda motor di lalu lintas padat Ibu Kota, mengantre tiket sepak bola, berebut proyek yang ditawarkan pemerintah, berkompetisi di lapangan olahraga, bersaing dengan toko/pedagang yang punya komoditas serupa dengan dagangan kita. Apakah secara normatif Anda melakukan tindakan yang tampaknya secara kolektif lumrah, alamiah—sehingga tak menerbitkan rasa bersalah atau ”dosa”—padahal sesungguhnya dalam norma lain keliru, a-sosial, bahkan kejahatan?

Berbudaya satu, Indonesia            

Sebuah kebudayaan pada intinya sebuah kerja dari agregat-agregat tradisi atau adat yang dilakukan manusia, baik di tingkat personal, komunal, hingga nasional. Kerja kebudayaan yang semula hanya bermaksud untuk kebertahanan (survivality) dari hidup makhluk bernama manusia, menjadi niat untuk memuliakan (honor, dignity) ketika mereka, gerombolan (crowd) yang kemudian menjadi masyarakat (society) itu meninggikan level kebudayaannya dari norma sektoral yang mereka tradisikan menjadi sebuah kumpulan kebenaran dan kebaikan bernama moralitas. Sebuah acuan abstrak-idealistis yang dimufakatkan sejumlah gerombolan normatif (normative crowds) untuk terciptanya kerja sama, harmoni, atau sebuah keteraturan hidup (order), di mana kecenderungan individual atau kelompok/sektarian tak ganggu keseluruhan.

Di tingkat ketiga mufakat maya (abstractive consensus) inilah sebuah kebudayaan pada tingkat awal tercipta dalam diri sebuah masyarakat atau bangsa. Inilah argumen kunci, bagaimana bangunan sebuah bangsa tak akan tercipta tanpa fondasi kebudayaan yang menegakkan tiang-tiangnya. Dalam kasus negeri ini, betapapun saya kerap menyatakan Sumpah Pemuda 1928 adalah sebuah pernyataan kebudayaan, ketimbang maklumat politik, tetap saja akan terasa tak sempurna karena ia mengabsensi frase krusial dan vital: ”berbudaya satu, budaya Indonesia”.

Frase vital inilah yang akan memberi signifikansi atau penjelasan kuat apa makna, posisi, dan peran dari tiga frase sebelumnya. Dan harus kita akui bersama, setelah hampir 70 tahun negeri ini merdeka dengan fait accompli berupa proklamasi 1945, kita belum pernah berhasil menunaikan PR atau tugas penting yang jauh lebih tua dari kemerdekaan itu sendiri: memufakatkan apa yang kita bayangkan (baca: harapkan) tentang kebudayaan (nasional) Indonesia (KNI). Karena sesungguhnya, dari komprehensi kolektif yang adekuat tentang KNI itulah tersimpan jawaban-jawaban krusial dan fundamental dari persoalan-persoalan yang mengguncang dasar-dasar kebangsaan dan kenegaraan kita di tengah kerumitan zaman mutakhir ini.

Kita menyadari, pemerintah—di semua sektornya—sebagai penyelenggara negara, dengan pergantian pimpinan, kabinet atau lembaganya yang aneka rupa, ternyata senantiasa lalai mengerjakan PR kebangsaan ini. Secara sadar kita pun menyesalkan aparatus sipil, termasuk kaum intelektual, rohaniwan, hingga para seniman, juga tak merasa kebutuhan ini hal emerjensial dalam realitas hidup kita kini.

Terlebih generasi kita saat ini, di mana tingkat dan fasilitas hidup sudah jauh meningkat ketimbang—setidaknya—para pendiri bangsa, baik dalam kecukupan ekonomis, kesehatan, kekuatan daya pikir dan emosi, maupun limpahan data yang berjuta kali lipat dari apa yang bisa diakses oleh bapak-ibu bangsa kita dahulu, ternyata belum juga berhasil membuahkan karya kebudayaan terbaiknya: gagasan. Sebuah nebula abstrak yang sebenarnya menjadi ruh dari kebudayaan di tiga tingkatan di atas (plus dua tingkatan sesudahnya, etika dan estetika, di mana sebuah kebudayaan bermetamorfosa menjadi (per)adab(an)), yang laiknya menjadi warisan (legacy) penting lain pada generasi-generasi mendatang, di samping warisan material kita yang memalukan.

Warisan gagasan kita

Bagaimana tidak memalukan jika dalam segi material kita hanya mewarisi artefak dalam monumen-monumen rapuh dan jiplakan, berupa gedung pencakar langit, jalan raya, jembatan, hingga tarian, puisi, atau kebiasaan hingga kejahatan sebagai produk-produk budaya mutakhir yang sama sekali tak merefleksikan harta karun budaya yang ditinggalkan nenek moyang kita di 600 suku bangsa negeri ini. Bahkan, dengan bangga kita memasang reklame di jidat kebudayaan kita, nama-nama yang diproduksi secara masif dan global oleh kebudayaan lain, notabene kontinental, baik oksidental atau oriental.

Terlebih sumber daya material yang dimiliki alam negeri ini, dengan pendaman waktu jutaan dan miliaran tahun, yang ternyata hanya dalam hitungan dekade menjadi kerusakan tak terperbaiki, limbah, dan bencana karena kerakusan kontinental kita. Inikah bentuk pertanggungjawaban generasi kita pada anak cucu, meninggalkan tak hanya peninggalan natural dan nurtural yang apkir bahkan secara sistemik merusak? Menciptakan warisan beban yang demikian beratnya, sehingga membuat anak cucu sangat kewalahan dan akhirnya terdesak untuk menerima kenyataan eksistensialnya hanya jadi korban dari zaman yang lebih kejam dari semua jenis kolonialisme masa lalu?

Rasa prihatin terhadap semua masalah fundamental, rasa bersalah pada generasi pendahulu dan penerus itulah yang mendorong Mufakat Budaya Indonesia (MBI), tergerak untuk menunaikan tugas sederhana tetapi besar itu, memufakatkan di antara para penggerak dan pekerja sebuah gagasan tentang lantai fondasi dari kebangsaan dan kenegaraan kita: kebudayaan nasional Indonesia. Majemuk kecil yang berimplikasi besar dan luas ini diharapkan dapat menjadi sekadar warisan idea(listis) yang mungkin menjadi jalan setapak bagi generasi berikut dalam menghadapi rimba hidup yang kembali pada hukum-hukum purbanya yang primitif.

Betapapun mungkin tidak cukup representatif bagi khazanah pemikiran, modern, tradisional hingga spiritual, 150 cendekiawan, budayawan, tokoh spiritual, dan tetua adat akan berkumpul dan berkeringat untuk mencapai mufakat pada 28-30 November 2014 tentang tema besar di atas bersama elaborasi tematiknya. Ini temu akbar kedua di mana Deklarasi Cikini 2009 yang dihasilkan temu akbar pertama (diikuti 80-an peserta) jadi landasan gagasan di mana ternyatakan di dalamnya: kebudayaan nasional Indonesia berbasis realitas historis, geografis, hingga arkeologis sebagai kebudayaan maritim.

Apakah 150 peserta dari berbagai kalangan di tengah kebebasan preferensial hingga di tingkat pemikiran dan klaim kebenaran ini mampu bermufakat? Inilah sebuah ujian laboratoris bagi kebudayaan kita, kebudayaan yang konon menjadi faktor tunggal kita berbangga dan merasa berdaulat, di tengah semua sektor yang melulu jadi pecundang bahkan di level regional kecil, seperti ASEAN.

Apa pun yang dapat dihasilkan, sebuah langkah dari upaya besar yang mesti berlanjut ke masa depan telah kita tapakkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar