Minggu, 30 November 2014

Seni, Budaya, Kaum Muda, dan Budhi (2)

                  Seni, Budaya, Kaum Muda, dan Budhi (2)

Sys NS  ;   Pendiri Mufakat Budaya Indonesia, Seniman
KORAN SINDO,  29 November 2014

                                                                                                                       


Secara umum ingin saya katakan bahwa dalam perspektif kaum muda seni dan budaya merupakan media ekspresi yang mewakili semangat pembebasan terhadap berbagai aturan atau nilai yang dipandang tidak pas dan tidak cocok lagi dengan kehendak zaman.

Di sisi lain, masih dalam perspektif kaum muda, seni dan budaya merupakan media aktualisasi diri yang mengekspresikan dinamika serta kebebasan mengusung gagasan-gagasan baru. Karena itu, seni dan budaya harus memenuhi kriteria universal, yaitu kreatif, komunikatif, dinamis, bermutu, mewakili perasaan dan pikiran mayoritas penikmatnya, dan mampu menjadi media kontrol sosial yang efektif.

Apa pun bentuk dan jenisnya, seni dan budaya merupakan media efektif untuk menyuarakan pembaruan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan demikian, setiap seniman dan kaum muda haruslah mencerminkan identitas para demokrat. Yaitu orang-orang yang menjunjung tinggi persamaan dan kesamaan, serta selalu menghormati perbedaan.

Selebihnya, karena kita tinggal di Indonesia, kita pun harus pandai memuliakan pluralitas alias keberbagaian. Bagi saya, di tangan kaum muda, seni dan budaya juga mesti mencerminkan religiositas alias nilai-nilai agamais, kebangsaan, dan kerakyatan. Dengan begitu, karya seni dapat memadukan pertimbangan artistik, estetik, dan etik.

Sebagai pekerja budaya, dari kerja teater, media massa, hiburan, manajemen pergelaran, hingga pemikir dan pekerja politik, saya merasa bersyukur dapat mengalami secara penuh perjalanan kebudayaan dalam tiga fase politik terpenting bangsa Indonesia: Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi.

Ini sebuah rasa syukur yang tidak berlebihan, tapi memang karena saya mendapat pelajaran banyak dari perjalanan hidup yang setidaknya menjadi saksi dari ekspresi-ekspresi kultural di semua elemen dan lapisan kehidupan negeri ini. Mulai pengamen, seniman, broadcaster, pengamat yang cuma “ngamat-ngamati“, para maestro kondang hingga presiden yang nyeni.

Dari pengalaman itulah saya merasa paham, mafhum, dan akhirnya yakin bahwa kebudayaan kita sesungguhnya tidak pernah mandek, berhenti; tapi ia terus berjalan, berproses dan mengembangkan (bentuk maupun kualitas) dirinya. Bagaimanaia diukur, dalam acuan estetik, artistik, statistik dan sebagainya, itu bukan urusan atau bidang saya. Saya hanya pelaku sekaligus saksi.

Dan saya bersuka ria karena itu. Saat peralihan kekuasaan dari Orla ke Orba, tepatnya ketika Soeharto menjadi pejabat presiden pada 1967 hingga menjadi penguasa di paruh awal 70-an, saya merasakan dengan sangat bagaimana kegairahan budaya dan kesenian begitu kuat saat itu.

Muncul inspirasi-inspirasi baru, gagasan artistik yang inovatif hingga percobaan atau eksperimen-eksperiman kultural yang menggetarkan. Kitaingat bagaimana masa itu melahirkan Rendra, Danarto, Arifin C Noer, Teguh Karya dalam teater. Lalu Djadug Djajakusuma, Syuman Djaya, Ami Prijono melahirkan warna-warna baru dalam perfilman Indonesia.

Begitu pun dalam dunia tari yang melahirkan Sardono W Kusumo hingga Retno Maruti, hingga dunia sastra tergetar oleh karya-karya Budi Darma, Iwan Simatupang, Putu Wijaya, dan banyak lainnya. Hingga empat puluh tahun kemudian kita pun tahu, masih nama-namadiatasyangmenjadi referensi utama dari dunia seni atau artistik kita.

Artinya, empat puluh tahun kemudian ternyata kita gagal melahirkan karya dan seniman-seniman yang memiliki maqom atau pencapaian artistik yang setara. Bahkan bisa dibilang merosot, drastis bahkan. Mengapa? Apa yang terjadi dengan para seniman dan para pekerja budaya kita lainnya?

Pertanyaan itu sebenarnya paralel juga dengan kesangsian dan kecemasan akan terjadinya pula kemerosotan kehidupan berbangsa kita di semua level praktisnya. Termasuk dalam kehidupan politik, bisnis (ekonomi), hingga hidup beragama atau akademis kita. Saat ini kita mengalami kerancuan, atau semacam kekacauan acuan dan orientasi, di hampir semua lapangan kehidupan kita.

Hal-hal yang dulu dianggap sakral, luhur atau mulia, kini seperti menjadi sesuatu yang sangat biasa, artinya dapat ditinggalkan atau tak perlu dipedulikan lagi. Lalu orang menyeberang jalan sembarangan, berkendaraan tanpa mengindahkan rambu dan marka jalan, sekolah hanya untuk kedok menutupi tindakan kriminal, menjadi pejabat hanya untuk menipu rakyatnya sendiri, jadi bagian dari parlemen hanya menggunakan konstituen sebagai arsenal pemenuhan hedonis saja, menjadi pedagang cuma untuk menguras dompet publik sampai pada simpanan kebutuhan primernya.

Apa sebenarnya yang telah terjadi? Saya melihat sederhana saja: kebudayaan telah melupakan kata dasar utamanya: budhi. Kita semua telah kehilangan “budhi”, satu hal yang mampu mengolah kendali semua kecenderungan menyimpang kita serta mengutamakan apa yang kita sebut baik dan benar.

Maka, saya amat sangat berharap agar masalah “budhi” ini harus menjadi mata pelajaran utama sekolah di negeri tercinta, Indonesia. Saya sebagai salah satu pendiri Mufakat Budaya Indonesia selalu berdoa semoga para pendiri lain, seniman, budayawan, sejarawan, politisi, ilmuwan, cendekiawan, akademisi, birokrat, dan pengamat bisa menjadikan “kegelisahan” itu sebagai penyemangat.

 “Budhi” inilah materi dalam Temu Akbar II, setelah Temu Akbar I dengan Deklarasi Cikini 2009 yang melahirkan “rekomendasi” untuk penyelenggara Negara Kesatuan Republik Indonesia. Amin.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar