Selasa, 25 November 2014

Setelah Harga BBM Naik

                                          Setelah Harga BBM Naik

Firmanzah  ;   Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
KORAN SINDO,  24 November 2014

                                                                                                                       


Pilihan sulit telah ditempuh pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) atas pengelolaan subsidi bahan bakar minyak (BBM). Tepat pukul 00.00 WIB, 18 November 2014 lalu, pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi masing-masing untuk premium 30,7% dari Rp6.500 menjadi Rp8.500 dan untuk solar 36,3% dari Rp5.500 menjadi Rp7.500. Presiden Jokowi dalam pidatonya menyampaikan, pemerintah telah memutuskan untuk melakukan pengalihan subsidi BBM dari sektor konsumtif ke sektor-sektorproduktif, khususnya untuk membangun sektor infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan.

Per akhir Oktober, realisasi penyaluran BBM bersubsidi telah mencapai 39,07 juta kiloliter yang artinya masih tersisa 7 juta kiloliter dari kuota 46 juta kiloliter yang ditetapkan dalam APBN 2014. Kenaikan harga BBM bersubsidi ini tentunya memberi dampak pada beberapa indikator perekonomian seperti inflasi dan tekanan terhadap pertumbuhan ekonomi.

Kenaikan harga dasar BBM bersubsidi diperkirakan menyumbang inflasi di kisaran 2% sehingga pada akhir 2014 inflasi tahunan akan berada di level 7,3% (sebelumnya perkiraan 5,3% sebelum harga BBM dinaikkan). Dengan profil risiko inflasi tersebut, proyeksi pertumbuhan ekonomi 2014 diperkirakan melambat di level 5,1% atau lebih rendah dari angka patokan APBN-P 2014 sebesar 5,5%.

Sepanjang kuartal I-III tahun 2014, ekonomi nasional memang sedang mengalami perlambatan. Tercatat pada kuartal III 2014, pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 5,01% atau menurun dibandingkan kuartal I dan II yang masingmasing sebesar 5,21% dan 5,12%. Selepas kenaikan harga BBM bersubsidi, Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan (BI Rate ) sebesar 25 basis poin ke level 7,75%.

Hal ini dilakukan sebagai bagian dari paket kebijakan moneter dalam memitigasi dampak tekanan inflasi akibat kenaikan harga BBM bersubsidi. Kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin ini menurut BI sebagai sinyal antisipasi terhadap risiko-risiko seperti inflasi, defisit neraca berjalan, serta risiko fiskal.

Atau dengan kata lain, kenaikan BI Rate digunakan untuk memberi keyakinan kepada pasar atas pengendalian potensi risiko yang akan dihadapi dalam beberapa waktu ke depan. Kebijakan penaikan harga BBM bersubsidi tentunya akan berimbas pada sejumlah sektor, khususnya sektor rumah tangga (miskin dan rentan miskin) serta industri, terutama UMKM.

Untuk mengantisipasi pelemahan daya beli masyarakat, khususnya kelompok masyarakat miskin yang mencapai 28 juta orang dan 70 juta orang rentan miskin akibat kenaikan harga BBM, pemerintah telah mempersiapkan Kartu Kesejahteraan Sosial, Kartu Indonesia Sehat, dan Kartu Indonesia Pintar. Pemerintahan Jokowi-JK juga akan memberikan kompensasi Rp400.000 per rumah tangga untuk bulan November dan Desember bagi 15,5 juta rumah tangga sasaran.

Program conditional cash transfer itu diharapkan dapat menjadi bantalan dalam mengantisipasi dampak kenaikan harga BBM bersubsidi pada sejumlah barang kebutuhan pokok masyarakat. Khusus untuk sektor industri, terutama UMKM, pemerintah perlu melakukan sejumlah kebijakan dalam menopang kesinambungan usaha.

Hal ini mengingat UMKM merupakan sektor strategis dengan penyerapan tenaga kerja terbesar mencapai 101 juta orang atau 97% dari total tenaga kerja nasional dan terdapat 56,5 juta unit usaha atau 98,9% dari total unit usaha nasional. Keberadaan UMKM yang strategis juga dapat dilihat dari kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional yang mencapai 56%.

Kenaikan harga BBM bersubsidi akan memberi dampak pada kenaikan sejumlah faktor produksi UMKM, sementara di sisi lain daya beli masyarakat berpotensi menurun. Beban biaya produksi mulai dari bahan baku, tenaga kerja, peralatan hingga operasional tentunya akan mendorong peningkatan beban biaya secara umum. Hal ini belum lagi mengikutkan penambahan biaya di lini distribusi akibat kenaikan ongkos transportasi.

Untuk itu pemerintah perlu menempuh sejumlah kebijakan, khususnya untuk menjaga kesinambungan usaha sektor UMKM. Pertama, mengalokasikan bantuan modal kerja bagi sektor UMKM dengan bunga murah (soft loan) yang disalurkan langsung melalui perbankan. Ini akan membantu UMKM di tengah kenaikan suku bunga acuan.

Bantuan modal kerja ini diharapkan dapat memberi bantalan bagi kenaikan beban produksi akibat kenaikan harga BBM. Kedua, memberikan insentif fiskal seperti pengurangan pajak bagi sektor UMKM. Pemberian insentif ini tentunya akan mengurangi struktur biaya produksi pada sektor UMKM.

Ketiga, melakukan pendampingan dan bantuan teknis khususnya bagi UMKM yang berorientasi ekspor, memproduksi barang-barang yang bernilai tambah tinggi, dan yang menyerap tenaga kerja besar. Keempat, memfasilitasi program kemitraan baik langsung maupun tidak langsung antara pelaku UMKM dan usaha besar dalam konteks saling menguntungkan dan saling memperkuat.

Terakhir, yang tak kalah penting, adalah memberi jaminan bagi kesinambungan usaha UMKM agar dapat mengakses baik sektor keuangan maupun pasar yang lebih besar pada tataran ASEAN, Asia, dan global.

Dengan sejumlah upaya tersebut, kita berharap sektor UMKM dapat terus tumbuh sebagai salah satu penyangga perekonomian nasional di tengah tekanan inflasi setelah kenaikan harga BBM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar