Jumat, 28 November 2014

Standar Nasional Bukan Ujian Nasional

                    Standar Nasional Bukan Ujian Nasional

Itje Chodidjah  ;   Praktisi Pendidikan; Pelatih Guru Internasional
MEDIA INDONESIA,  24 November 2014

                                                                                                                       


TARGET utama pendidikan formal ialah anak didik yang proses penyelenggaraan tidak dapat terlepas dari berbagai unsur, seperti fasilitas sekolah, guru, buku, dan sebagainya. Evaluasi terhadap layanan dari berbagai unsur terkait itu harus dilakukan. Layanan yang dimaksud ialah terpenuhi sarana prasarana belajar, tersedia kualitas pendidik, dan proses pendidikan itu sendiri agar anak didik siap untuk dapat berperan di zamannya.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab IV Pasal 11 ayat (1) menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.

Proses belajar mengajar yang bermutu ialah serangkaian kegiatan bermakna dan ditumpukan pada tujuan terukur yang bermuara pada kurikulum.Bukan bahan ajar yang diakhiri dengan tes atau ujian. Evaluasi terhadap proses pembelajaran dilakukan secara berkesinambungan dan hasilnya membantu proses perbaikan belajar mengajar. Peningkatan kualitas kemampuan berpikir dan bertingkah laku harus terukur. Proses belajar mengajar yang berkualitas dan dibimbing pendidik yang terampil akan mampu menghasilkan penilaian terhadap anak didik lebih objektif dan mewakili kemampuannya.

Lalu, bisakah ujian nasional yang tidak dibarengi standar pendidikan lainnya menjadi standar kemampuan anak didik? Standar apakah yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh pemerintah? Dua pertanyaan penting itu perlu dikaji secara saksama berdasarkan fakta yang tersedia tentang seluruh kebutuhan standardisasi pendidikan.

Layanan pendidikan di sekolah bertumpu terlalu berat pada Ujian Nasional (UN) sejak 2004.Nilai UN yang jadi penentu kelulusan siswa membuat semua pihak mencari cara bagaimana mendongkrak nilai mereka. UN terkesan kuat sebagai standar kualitas siswa di setiap jenjang pendidikan dan nilai tinggi di akhir jenjang sekolah. Itu dianggap menjadi tolok ukur keberhasilan sekolah. Lalu, secara kumulatif dianggap keberhasilan pemerintah kota atau kabupaten dalam membina pendidikan. Kemendikbud seolah-olah meyakini bahwa hasil ujian nasional ialah potret pendidikan nasional. Benarkah demikian? Pasti jawabnya tidak karena capaian anak selama proses pembelajaran satu periode jenjang pendidikan tidak menjadi pertimbangan utama dalam menilai. Padahal, itu cerminan kompetensi anak didik sebenarnya. UN juga menyempitkan pengembangan ragam kompetensi yang mungkin dikuasai anak.

UN seolah membuat pemerintah daerah dan pusat terlena dan lupa bahwa sebelum ujian nasional banyak unsur lain yang seharusnya distandarkan. Konteks pendidikan di Indonesia yang sangat beragam mengakibatkan berbagai perbedaan dalam penanganan pendidikan formal. Pemerintah wajib mewujudkan standar minimum berbagai aspek pendukung pembelajaran di pendidikan formal.
Sebelum memaksakan UN bagi siswa, seharusnya pemerintah mewujudkan terlebih dahulu sistem pelayanan standar secara nasional. PP No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan mengurai adanya delapan standar nasional pendidikan yaitu standar isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana prasarana, pengelolaan, pembia yaan, dan penilaian.

Sudahkah standardisasi selain UN diimplementasikan secara nyata dan merata? Sudahkah secara nasional semua kepala sekolah memenuhi standar yang diatur Permendiknas No 13 Tahun 2007? Apakah pengawas sekolah sebagai kepanjangan tangan dinas pendidikan secara nasional memiliki kompetensi standar?

Hasil uji kompetensi oleh pemerintah tahun lalu menunjukkan nilai rata-rata mereka berkisar 42.25 dari skala 100. Hasil Uji Kompetensi Guru juga rata-rata tidak mencapai angka 50. Bagaimana dengan standar minimum ruang kelas, materi ajar, fasilitas pendukung, dan pembiayaan? Sudah kah secara nasional merata atau memenuhi standar minimal? Siapakah yang menjamin efektivitas proses bela jar mengajar di kelas? Jika layanan pendidikan belum dipastikan standarnya, mengapa anak anak harus distandarkan melalui UN dan menjadi tameng untuk menyatakan keberhasilan proses pendidikan.

UN tidak adil bagi anak-anak yang secara geografis dan ekonomi kurang beruntung. Mereka diuji dengan alat uji yang sama dengan anak-anak yang tersaring di sekolah unggulan dengan fasilitas prima. Anak-anak itu rata-rata hanya mendapat kesempatan untuk memperoleh pendidikan di sekolah yang serbaterbatas, baik sarana dan prasarana, akses terhadap informasi ataupun kualitas, maupun kuantitas guru.

Beberapa contoh kasatmata sering kita saksikan seperti sekolah yang dua jenjang kelas diajar satu orang guru, sekolah dengan atap bocor, papan tulis pecah, dan jalan akses menuju sekolah yang sulit bagi anak.Ketimpangan sarana prasarana yang ada menunjukkan mencoloknya ketimpangan antara sekolah yang beruntung dan tidak. Bagaimana mungkin ujian nasional bisa disebut valid sebagai alat ukur dari hasil proses pembelajaran yang berbagai aspek pendukungnya terlalu berbeda.

Sejak 2006 pemerintah secara nasional memberlakukan standar isi melalui Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) bukan kurikulum nasional. SK dan KD diterjemahkan sendiri oleh sekolah menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang berbasis di sekolah. Pertanyaannya, jika kurikulum di tingkat sekolah, lalu apakah saat ini yang menjadi dasar penulisan soal-soal ujian nasional? SK dan KD yang berupa rangkaian kompetensi umum, bisakah ketercapaiannya secara nasional diukur melalui ujian pilihan ganda? Apakah ujian nasional dapat digunakan untuk menentukan ketercapaian tujuan pembelajaran?

Meskipun pemerintah seringkali mengatakan UN dapat dijadikan rujukan untuk melihat performasi siswa dan sekolah, tetapi secara psikologis ongkos yang harus dibayar sangat mahal karena proses belajar mengajar seperti mati rasa. Tujuan pendidikan menjadi manipulatif karena baik guru, siswa, orang tua, maupun birokrasi pendidikan bekerja dan belajar untuk tujuan yang sama, yaitu kelulusan yang diukur dari aspek kognitif. Artinya, pendidikan seperti kehilangan kegembiraannya karena para guru dan birokrasi pendidikan tidak memiliki keyakinan bahwa pendidikan ialah sebuah proses bukan bergantung pada hasil akhir. Jika dilihat dari aspek itu, diperlukan langkah-langkah yang konkret dan komprehensif untuk menyelamatkan proses pendidikan anak-anak kita.

Langkah-langkah

PP No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan ialah rujukan utama dalam meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Ke delapan standar pendidikan nasional harus dilihat sebagai sistem secara menyeluruh dan berkaitan. Kebijakan dan peraturan yang menyangkut standar kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan harus diwujudkan dengan monitor yang konsisten dari pemerintah pusat ataupun daerah.

Ketersediaan sarana prasarana minimum harus merata, begitu juga keadilan pembiayaan, serta pengelolaan. Proses belajar mengajar terstandar dan termonitor. Oleh karena itu, harus dipastikan guru mampu menyelenggarakan proses belajar mengajar. Mulai dari merancang sampai melakukan penilaian. Jika ke delapan standar sudah merata, mungkin ujian nasional dapat menjadi alat ukur kualitas sekolah bahkan pendidikan Indonesia.

Menstandarkan anak didik melalui UN sebelum menyediakan secara nyata layanan pendidikan dengan standar minimum yang merata ialah sebuah ketidakadilan. Meskipun terlihat utopis, pemenuhan standar pelayanan minimum harus memperoleh perhatian secara berkala dan berkelanjutan sehingga kebijakan pengukuran semacam UN juga seyogianya dilakukan setelah terpenuhi standar pelayanan minimum, seperti yang diinginkan UU kita. Semoga tim yang saat ini sedang diberi mandat oleh menteri untuk mengevaluasi kebijakan UN dapat bekerja secara terbuka dan objektif dalam melihat kemaslahatan UN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar