Senin, 29 Desember 2014

2015 Konsolidasi Kesadaran

2015 Konsolidasi Kesadaran

Asep Salahudin  ;   Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya
MEDIA INDONESIA,  27 Desember 2014

                                                                                                                       


BETUL apa yang dibilang Heraclitus, waktu mengalir tak ubahnya air. Panta rhei kai uden menei. “Semuanya mengalir dan tidak ada sesuatu pun yang tinggal tetap.“ Filsuf yang dalam tulisan-tulisannya banyak mencela Homerus, Arkhilokhos, Hesiodos, Phythagoras, Xenophanes dan Hekatios tentu tidak sedang bermain kata-kata tapi mendedah kenyataan tentang hakikat waktu yang berada di hadapan setiap kita.Waktu yang menyatu dan menjadi bagian dari pengalaman keseharian walaupun sering kali terlupakan keberadaannya.Waktu sebagai sesuatu yang bersifat substansi yang berdiri sendiri (Newton), relasi antara berbagai entitas (Einstein) dan hal yang amat penting (Bunge).

Tak terasa kita berada di penghujung 2014. Sebentar lagi memasuki fajar baru 2015. Tahun baru dengan beribu kemungkinan dan kesimpulan akhir yang tidak mustahil jauh dari perkiraan. Ada banyak persoalan yang belum selesai, tidak sedikit juga ihwal yang kita anggap telah dikerjakan dengan tuntas.

Penghujung tahun mengandaikan kita melakukan renungan baik dalam konteks personal, sosial, atau kebangsaan. Renungan yang diharapkan menjadi pintu masuk untuk meraih `kesadaran' yang dapat mengantarkan kita bisa menemukan wujudiah eksistensialnya, menjadi paripurna.

Saya menjadi paham betapa pentingnya `kesadaran' itu, sehingga tema inilah yang tempo hari menjadi hal yang pertama kali dipromosikan para nabi dan kaum sufi (manusia suci). Tema itu juga yang mendominasi pemikiran para filsuf sepanjang masa.

Nabi menjangkarkan kesadaran itu pada kekuatan haluan ilahiah berupa agama dengan semangat pencarian kebenaran yang tak mengenal batas (hanif) dan kepasrahan total kepada Sang Kuasa (Islam), kaum pemikir melandaskannya pada kekuatan akal (Descartes), keteguhan memegang moralitas (Kant), cinta kasih (Levinas), kebersamaan (Martin Buber) atau pada pengalaman menggetarkan ketika manusia bisa bersatu dengan Tuhannya, manunggaling Kaulo Gusti (Syekh Siti Jennar).

Hanya dalam kesadaran, manusia berhak menahbiskan dirinya sebagai manusia. Dalam kesadaran manusia dinobatkan sebagai makhluk berpikir (animal rationale), makhluk berbahasa (animal loquens), makhluk petanda (animal symbolicum) kata Ernst Cassirer, atau makhluk yang berkehendak kata Mains de Biran.

Kesadaran yang salah satunya dapat kita raih ketika kita kuasa merenungkan makna peralihan waktu, dalam pergantian tahun. Kata Muhammad SAW, “Tidak terbit fajar suatu hari, kecuali dia berseru, “Putra putri Adam, aku waktu, aku ciptaan baru, yang menjadi saksi usahamu. Gunakan aku karena aku tidak akan kembali lagi sampai hari kiamat“. Dalam firman Tuhan disebutnya, “Waktu itu datang tiba-tiba, Tidak bisa dimajukan, tak pula mampu diundurkan“.

Melampaui tahun politik

Tentu momen penting tahun 2014 yang tidak terlupakan dalam aras kebangsaan ialah hiruk-pikuk penyelenggaraan pileg dan pilpres. Ada banyak ramalan tentang akan terjadinya anarkisme dalam pesta demokrasi itu. Namun, sebagai bangsa, kita telah menunjukkan kedewasaan. Semua bisa berlangsung damai tanpa gejolak yang berarti.

Tentu ada pemenang dan ada yang belum dapat kesempatan. Yang menang kita harapkan tidak jumawa dan yang kalah bisa menghikmati kekalahannya. Dalam sebuah pertandingan tidak mungkin menang semuanya, dan mustahil kalah seluruhnya.

Politik zero sum game: permainan menang kalah mutlak dengan mengoperasikan tujuan menghalalkan segala cara sekaligus mengamini Machieveli' “Mereka yang kalah menjadi lebih vokal daripada para calon pemenang“ bukan hanya tidak perlu, melainkan juga harus lekas disingkirkan dari iklim perpolitikan kita.

Pemenang harus membuktikan seluruh janji politiknya selama kampanye, harus memberikan kepastian bahwa mereka bekerja untuk khalayak. Jokowi dan JK tidak sekadar dicatat pernah menjadi presiden dan wakil presiden tapi harus tampil sebagai `negarawan', m enjadi pemimpin dari dua ratus juta lebih penduduk negeri kepulauan. Kekeliruan pemimpin sebelumnya yang hanya sibuk curhat dan pencitraan harus dihentikan dengan cara menunjukkan keseriusan bekerja.

Mereka yang kalah tentu masih banyak kiprah yang dapat diperankan untuk bersama-sama memajukan negeri ini sambil tetap merawat harapan `kemenangan' di hari depan. Suksesi kepemimpinan haruslah dilakukan melalui cara-cara konstitusional, lewat pemilihan umum. Biar kelak rakyat dengan kearifannya sendiri menjatuhkan pilihan siapa yang layak menjadi pemimpin mereka. Mereka punya catatan sendiri tentang setiap tokoh yang tengah berkontestasi.

Politik perkauman

Harus juga dicatat dan diharapkan bahwa hal itu tidak terjadi di tahun-tahun mendatang. Tahun 2014 ditandai dengan menjamurnya kelompok keagamaan berhaluan puritan yang mangaksentuasikan keyakinannya di ruang publik bukan hanya melakukan amar maruf nahyil munkar dalam perspektifnya sendiri namun juga melakukan `nikah siri' dengan partai politik.

Tentu yang paling kentara dan mendapat liputan media ialah artikulasi politik keagamaan di DKI yang dikomandoi Front Pembela Islam pimpinan Habieb Rizeq yang mendesak di batalkannya pelantikan Gubernur Ahok dan kemudian berujung pada klaim gubernur tandingan.

Garis keagamaan model FPI seperti itu dalam konteks Islam Nusantara bukan hanya tidak relevan melainkan juga sejatinya berseberangan dengan nilai nilai universal agama itu sendiri yang sangat menjunjung tinggi keragaman, memuliakan sikap lapang, dan memberikan penghargaan tinggi terhadap perbedaan pilihan mazhab dan agama.

Para penyebar Islam pertama di bumi Nusantara telah memberikan teladan cukup elok bagaimana beragama tanpa harus mencaci maki, melakukan penghayatan tanpa menganggap liyan keliru bahkan jauh lebih dari itu dengan kreatif memuncul kan wajah agama yang bisa beradaptasi dengan budaya lokal yang dalam bahasa antropologi disebut akulturasi.

Manusia pergerakan juga telah menampilkan contoh elok, agama yang mereka yakini justru di jadikan modal sosial untuk se makin mengukuhkan nasional isme. Keindonesiaan dan agama tidak mereka pertentangkan dalam garis dikoto mik tapi justru di carikan jalan keluarnya dalam wujud `titik temu' yang kita sebut Pancasila.

Sejarah mencatat bagaimana SDI, SI, Muhamadiyah, Nahdlatul Ulama, Persis, mereka pada masa pergerakan memosisikan agama sebagai kekuatan ideologis untuk mengusir kaum penjajah.

Dan setelah kemerdekaan itu diproklamasikan Bung Karno dan Hatta semua ormas dan tokoh agama itu bahu-membahu satu sama lain dengan caranya masingmasing bekerja untuk mempercepat terwujudnya negara kesejahteraan.
Soekarno menyampaikan pidatonya pada 1 Juni 1945 sangat menarik, “Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita, saya pun adalah orang Islam --maaf beribu-ribu maaf, keislaman jauh belum sempurna--tetapi kalau Saudara-Saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, Tuan-tuan akan dapati tak lain, tidak bukan, hati Islam. Dan hati Islam Bung Karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama yaitu dengan jalan pembicaraan atau pun permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan rakyat.“

Agenda 2015

Kekeliruan-kekeliruan di 2014 tidak terulang lagi. Tahun 2015 ditekadkan menjadi tahun-tahun yang jauh lebih bagus. Tahun yang menjadi awal pembuktian bahwa kita sebagai bangsa memiliki martabat luhur baik di bidang sosial, politik, ekonomi, atau kebudayaan.

Di bawah kepemimpinan Joko Widodo-Jusuf Kalla, sudah saatnya bekerja, bekerja, dan bekerja. Program unggulan yang meliputi kepastian kehadiran negara sebagai pelayan, mewujudkan kemandirian, memperteguh kebinekaan, meningkatkan kualitas dan produktivitas rakyat, membangun dari pinggiran, revolusi mental, memberikan kepastian hukum serta mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim bukan hanya wacana tapi harus lekas dibuktikan dalam kehidupan nyata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar