Selasa, 30 Desember 2014

Bencana

Bencana

Putu Setia   ;   Pengarang, Wartawan Senior Tempo
TEMPO.CO, 27 Desember 2014

                                                                                                                       


Bencana sering datang di akhir tahun. Bisa dimaklumi. Musim hujan memang di bulan-bulan akhir tahun dan berlanjut ke awal tahun. Hujan yang ditunggu para petani menjadi pangkal bencana. Ada tanah longsor, seperti di Banjarnegara. Penyebabnya, konspirasi antara hujan dan kostur tebing yang tak banyak pohon karena penduduk bertanam kentang. Ada banjir di berbagai kota yang, menurut salah seorang penyiar televisi-dengan mimik meyakinkan-disebabkan oleh hujan. Bukan karena rupiah melemah.

Itulah komentar saya kepada Romo Imam soal bencana. "Apakah tsunami yang dahsyat di Aceh karena hujan pula?" tanya Romo. Saya gelagapan disanggah. Saya jawab: "Bukan hujan sih, tetapi terjadi di akhir tahun, sehari setelah Natal, sepuluh tahun lalu. Sekarang diperingati dengan rasa syukur yang dalam. Sayang, Presiden Jokowi batal ke sana."

Romo Imam tersenyum: "Ya, sebaiknya Presiden jangan datang, supaya Pak Jusuf Kalla tak salah tingkah. Tak lazim ada dua matahari di satu tempat, apalagi saat mendung. Jusuf Kalla sebagai wakil presiden banyak berperan di saat-saat awal pemulihan Aceh. Kini sebagai wakil presiden pula, beliau pantas memimpin rasa syukur setelah Aceh berhasil bangkit."

Jalan pikiran Romo ini cenderung tak konsisten. Tadinya mau diskusi soal bencana di akhir tahun, tiba-tiba soal peringatan satu dasawarsa tsunami Aceh. "Lalu lumpur Lapindo yang kini mengancam lagi warga Sidoarjo apa ada kaitannya dengan akhir tahun dan hujan?" Nah, kan sudah berganti tema lagi, tak fokus Romo ini. "Ya, ya, Romo, karena hujan deras. Tanggul jebol lumpur pun meluber menggenangi rumah-rumah penduduk."

Romo batuk sesaat. "Tanpa hujan pun tanggul Lapindo pasti jebol. Betul ada pompa yang mengalirkan lumpur cair ke Kali Porong, tetapi penduduk mempermainkan pompa itu agar lumpur tetap meluber dan menjebol tanggul. Penduduk sudah tak tahan lagi, delapan tahun tak menerima ganti rugi yang dijanjikan."

Waduh, ini soal apa lagi, pikir saya. "Romo, sekarang Presiden Jokowi sudah mengambil alih dengan memberi talangan. Lapindo sudah tak punya uang, tetapi juga tidak menyebut bangkrut," kata saya. Jawaban spontan ini membuat Romo panas: "Bangkrut bagaimana? Bosnya mondar-mandir dengan jet pribadi dan seperti tak pernah bersalah, terus mengkritik pemerintah. Kalau bertanggung jawab, jual asetlah."

Wah, saya harus betul-betul diam. "Pernah menonton Perjuangan Suku Naga yang dipentaskan Bengkel Teater Rendra?" Pertanyaan Romo ini membuat saya hampir pingsan. Kaget, kenapa sampai ke Rendra. Saya menggeleng. "Bencana dan keberuntungan adalah sukma yang tak terpisahkan. Lumpur Lapindo mengancam lagi dan itu bencana bagi rakyat. Jika Jokowi diam, itu juga bencana buat pemerintahannya yang bisa disebut tak peduli pada wong cilik. Tapi keberuntungan bagi bos Lapindo yang tak mengeluarkan duit lagi."

Ini lucu dan seperti dipaksakan, tapi saya takut tertawa. Romo melanjutkan, kali ini agak kalem: "Sekarang bencana belum berakhir meski kita berharap tak lagi datang. Puncak musim hujan terjadi akhir bulan Januari sampai Februari. Bagi yang percaya kalender Cina, Imlek pada pertengahan Februari dan harus hujan supaya ada keberuntungan. Mudah-mudahan Jakarta dan daerah aliran Begawan Solo tidak banjir bandang. Tapi jika itu terjadi, para pejabat kita pasti punya pembenaran dengan mencari kambing hitam."

"Romo yakin akan ada kambing hitam," tanya saya. "Kan tahun depan memang Shio Kambing," jawab Romo enteng. Ah, Romo kena bencana, tak bermutu, mati angin di ujung tahun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar