Rabu, 31 Desember 2014

Berhenti Tanyakan “Bagaimana Perasaan Anda?”

Berhenti Tanyakan “Bagaimana Perasaan Anda?”

Amalia Nurul Muthmainnah   ;   Mahasiswa Ilmu Komunikasi

Universitas Airlangga Surabaya

JAWA POS, 29 Desember 2014

                                                                                                                       


BARU saja tangis negeri ini reda karena longsor Banjarnegara, kini giliran bencana banjir di berbagai daerah yang minta perhatian. Bukan hanya bencana alam, Minggu (28/12) kita pun dikejutkan hilangnya pesawat AirAsia QZ8501. Media, selaku penyiar informasi, lantas berlomba-lomba menyuguhkan berita teraktual dari tanah bencana. Bahasannya pun tak jauh-jauh dari skala bencana beserta kerusakannya, analisis ilmiah pakar perihal penyebab bencana, dan jumlah korban dengan kondisi mereka yang memprihatinkan. Yang kemudian menimbulkan pertanyaan, setelah menjejali publik dengan berita semacam itu, lalu apa?

Sebagai konsumen media, pemberitaan bencana kerap menghanyutkan kita pada perasaan iba, simpati, takut, dan perasaan-perasaan lain yang berbasis pada kemanusiaan. Selama ini kita pun menganggap perasaan tersebut wajar. Manusiawi. Justru, kita akan merasa ”tidak berperikemanusiaan” bila tidak terlarut dalam perasaan semacam itu. Kenyataannya, kita terlarut dalam emosi sedemikian rupa tak sekadar karena realitasnya memang demikian. Dengan lihainya media meracik pemberitaan bencana yang kaya akan nilai kesedihan untuk menggedor rasa simpati kita. Sebab, mereka tahu, pemberitaan semacam itulah yang akan memiliki nilai jual tinggi!

Eksploitasi Nestapa

Sedari dulu bencana selalu menjadi a perfect media event. Sebab, bencana adalah paket komplet nilai-nilai berita. Di antaranya aktualitas, menyangkut hajat hidup orang banyak, serta adanya proksimitas (kedekatan). Singkatnya, meminjam pernyataan Lukmantoro (2007), sebagai komoditas, berita-berita bencana memiliki keunggulan untuk terus-menerus diperdagangkan.

Sayangnya, nilai-nilai berita tersebut lalu menjadikan berita bencana identik dengan kesedihan. Di media cetak dan online, teras berita kerap diawali deskripsi mendetail kondisi korban bencana di pengungsian. Berita televisi bahkan lebih gila lagi. Lewat permainan angle kamera serta iringan musik sendu, sisi traumatis dan dramatis bencana dijadikan semakin kuat. Korban lantas digambarkan hanya sebagai sosok yang tak berdaya. Coba saja perhatikan berita televisi, judul yang dipakai sering mengandung kata ”nestapa” ataupun ”derita”. Yang kemudian judul tersebut dilanggengkan dengan pertanyaan reporter seputar ”bagaimana perasaan Anda?”.

Ini miris. Sedih kala menghadapi musibah adalah keniscayaan. Namun, perlukah kesedihan itu terus dilanggengkan? Bukankah membangun motivasi justru lebih penting? Lagi pula, pemberitaan semacam itu hanya akan berujung munculnya wacana bahwa pemerintah kita gagal memitigasi bencana. Yang sayangnya, wacana tersebut kemudian dengan sendirinya kalah lewat wacana tandingan bahwa bencana adalah takdir Tuhan yang tak dapat dihindari.

Lagi-lagi, yang perlu dipertanyakan, lalu apa? Pemberitaan semacam itu toh tak banyak mengakomodasi kebutuhan korban bencana –selain membuat publik bersimpati dan berdonasi lewat wadah donatur yang ”secara ajaib” disediakan televisi itu sendiri. Selama ini kita selalu menggaungkan idiom Jas Merah, Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah. Namun faktanya, kita cepat melupakan bencana. Setelah menghegemoni publik lewat berita bencana yang sarat kesedihan, dogma ”berita ini sudah tidak seksi lagi” kemudian membuat kita tak peduli dengan hal-hal pascabencana. Tak menaruh perhatian dengan rehabilitasi seusai bencana serta apa yang perlu dipersiapkan dalam menghadapi bencana di kemudian hari. Padahal, hal semacam inilah yang sebenarnya penting.

Bangun Resiliensi

Jepang mungkin bisa menjadi kiblat kita perihal jurnalisme bencana. Berbeda dengan di sini, menampilkan korban bencana justru merupakan aib bagi orang Jepang. Berita-berita bencananya miskin drama. Mereka lebih fokus untuk terus berpikir ke depan. Sisi inilah yang kita perlukan. Meski memang jurnalisme bencana Jepang juga tak lepas dari kritik. Jurnalisme mereka cenderung bersifat sunshine journalism, yang memberitakan ”baik-baiknya saja” dan menutupi fakta-fakta negatif yang juga perlu diketahui publik. Namun, sisi membangun resiliensi itu yang perlu ditiru media kita.

Seharusnya, setelah menyatakan premis mengenai dahsyatnya bencana yang terjadi, penting pula disampaikan, menjadi korban bencana bukan akhir dunia. Media harus mampu membuat berita yang tidak membuat publik takut dan lari dari bencana. Seperti yang ditulis dalam buku Disaster Through A Different Lens terbitan United Nations, journalists do more than just break the news. Media perlu mengajak publik mengenal bencana dan belajar darinya. Jadikan ruang diskusi terkait bencana yang biasanya berat menjadi lebih populer. Bukan sekadar menanyakan bagaimana perasaan Anda, bagaimana kondisi di pengungsian, atau apakah Anda memiliki firasat sebelumnya.

Jurnalis yang diterjunkan ke tanah bencana harus berbekal amunisi perihal kondisi daerah bencana sehingga tak gelagapan dalam membuat berita. Jurnalis juga harus paham situasi sosial-budaya daerah tersebut sehingga tahu perlakuan yang diperlukan untuk meningkatkan resiliensi masyarakatnya.

Sebagai suatu industri, sah-sah saja bila media, terutama media televisi, mengutamakan berita yang berpotensi rating-nya tinggi. Namun, pola pemberitaan bencana selama ini tetap perlu diubah. Sebab, sebagai the first, the most important, bahkan kadang the only one information, media yang akan membentuk pengetahuan publik tentang bencana. Agar di masa mendatang kita lebih siap dan sigap dalam menghadapi bencana. Agar ke depannya kita tak sekadar menjadi generasi ”saya turut prihatin” atau ”bukan urusan saya” setiap kali bencana terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar