Rabu, 31 Desember 2014

Berkubang Lama di Dalam Urusan Remeh

Berkubang Lama di Dalam Urusan Remeh

AS Laksana   ;   Sastrawan, Pengarang, Kritikus Sastra yang dikenal aktif menulis di berbagai media cetak nasional di Indonesia

JAWA POS, 28 Desember 2014

                                                                                                                       


TIDAK ada hal yang bisa diperdebatkan tentang iman seseorang kecuali kita berniat membuat kericuhan. Setiap pemeluk agama akan meyakini bahwa ajaran agamanya yang paling benar. Kita tahu akan hal itu. Namun, apa boleh buat, kita hidup di bumi yang sama dengan orang-orang yang berbeda keyakinan. Kita bertetangga dan bersahabat baik dengan mereka. Mestinya ada hal-hal yang bisa dibicarakan, dengan cara lebih rileks, tentang bagaimana hidup di dunia –dan mendiami satu wilayah geografis tertentu– bersama orang-orang lain yang memiliki keyakinan berbeda dari keyakinan kita.

Anda akan merasa pedih bahwa untuk masalah yang remeh, contoh paling aktual adalah ucapan selamat Natal, kita harus ribut berkepanjangan. Pada setiap akhir tahun, ada saja yang menyeret kita ke pusaran perdebatan mengenai haram-halal bagi seorang muslim untuk menyampaikan ucapan selamat Natal kepada teman-teman Nasraninya. Anda bisa menyebut itu sebagai perdebatan yang mubazir, terutama karena kita tidak pernah bisa membuat keputusan tegas berkenaan dengan topik tersebut.

Di tempat-tempat lain orang-orang sibuk memainkan sepak bola dengan cara yang bagus, menulis cerita-cerita yang bagus, membuat film yang bagus, menciptakan musik yang bagus, mengeluarkan pemikiran-pemikiran cemerlang, mengembangkan pengetahuan dan sains serta teknologi melampaui apa-apa yang sudah dicapai sebelumnya. Di sini kita masih memberikan waktu yang terlampau panjang untuk urusan selamat Natal dan terus berkutat dengan urusan tersebut tanpa tahu kapan bisa berhenti.

Anda memiliki teman-teman sekantor yang beragama Nasrani, teman dekat yang beragama Hindu, Buddha, dan lain-lain. Yang terbanyak tentu saja Islam karena negara ini dihuni oleh mayoritas penduduk beragama Islam. Saya juga demikian. Kebanyakan teman saya beragama Islam, kemudian Nasrani. Jika nasib saya baik, saya akan bisa menambah teman dari kalangan Hindu, Buddha, Konghucu, Yahudi, dan aliran kepercayaan apa pun.

Di negara ini teman-teman yang beragama Nasrani dan lain-lain akan menyampaikan selamat menjalankan ibadah puasa setiap menjelang Ramadan dan mengucapkan selamat Idul Fitri saat Ramadan berakhir. Dan karena hidup adalah saling memberi dan menerima, pada hari Natal orang menyampaikan ucapan selamat merayakan hari Natal kepada teman-teman Nasrani. Sebetulnya, selain Lebaran, hanya perayaan Natal yang disambut sangat meriah oleh para pedagang. Mereka menghias toko dengan pohon terang serta menghadirkan Sinterklas di pusat-pusat perbelanjaan dan tempat-tempat hiburan. Mereka juga menggantung hiasan ketupat di mana-mana pada hari raya Idul Fitri. Ada satu lagi yang disambut meriah oleh para pedagang di luar dua hari raya tersebut, yakni tahun baru Imlek.

Para pedagang itu tidak sedang melakukan islamisasi ketika mereka menggantung ketupat hiasan menjelang hari raya Idul Fitri. Mereka juga tidak sedang melakukan kristenisasi dengan menampilkan pohon terang dan menghadirkan Sinterklas. Dan ketika mereka menghias toko saat menyambut tahun baru Imlek, itu tidak berarti mereka sedang berupaya mengubah orang-orang dari berbagai suku lain menjadi orang Tionghoa. Anda tahu, memutihkan kulit dan menyipitkan mata adalah hal yang sulit –terutama bagi orang-orang melarat yang tidak punya uang untuk membayar jasa pemutihan kulit dan penyipitan mata.

Setiap umat beragama memiliki iman yang membenarkan bahwa hanya kalangan mereka yang akan diselamatkan dan berhak mendapatkan tempat terbaik di akhirat nanti. Orang Islam meyakini bahwa hanya kaum muslim yang akan masuk surga. Orang Nasrani meyakini bahwa hanya pengikut Kristus yang akan masuk surga. Orang-orang dari agama lain mungkin juga begitu.

Dalam The Divine Comedy karya monumental Dante Alighieri, yang menceritakan perjalanannya dari jurang yang sangat dalam bernama neraka, lalu ke tempat penyucian, dan kemudian naik ke surga, dia menceritakan pemandangan yang dijumpai dan siapa saja yang dilihat di tempat-tempat itu. Dipandu oleh penyair Virgil, mula-mula dia tiba di sebuah Limbo, sebuah perbatasan antara neraka dan surga, atau kurang lebih semacam asrama bagi bayi-bayi yang meninggal sebelum dibaptis. Mereka tidak berdosa sehingga tidak mungkin dibuang ke neraka, tetapi belum resmi menjadi pengikut Kristus. Limbo juga merupakan tempat bagi orang-orang baik, para pemikir, dan para pahlawan yang hidup sebelum Kristus sehingga mereka tidak sempat diselamatkan. Ia juga merupakan tempat orang-orang baik dari agama lain.

Di dalam Limbo itu Dante melihat, antara lain, para filsuf Yunani. Misalnya, Socrates, Aristoteles, Plato, Bapak Kedokteran Hippocrates, dan orang yang dianggap Bapak Kedokteran Modern Ibnu Sina. Para pendahulu Kristus, yakni Adam, Nuh, Musa, Ibrahim, Jakob dan istrinya, Rachel, serta 12 anaknya, juga berada di tempat tersebut. Tetapi, mereka diangkat dari tempat gelap ke tempat terang. Dan kelak mereka akan diselamatkan oleh Yesus.

Selain mereka, Dante melihat Sultan Salahuddin al-Ayyubi, khalifah yang memimpin pasukan Islam dalam Perang Salib ketiga, panglima perang yang lembut hati dan melindungi 100.000 orang Kristen untuk merayakan Natal dengan damai di Jerusalem, kota suci yang berhasil direbutnya setelah 88 tahun berada di bawah kekuasaan Kristen. Salahuddin juga menolong Raja Richard Berhati Singa ketika musuh besarnya itu dalam situasi sulit karena kudanya terbunuh dalam pertempuran. Ketika Richard sakit, Salahuddin mengirim dokter-dokternya dan dia sendiri menyamar sebagai dokter untuk bisa menjenguk dan mengetahui perkembangannya.

Nama Salahuddin sangat terkenal di dunia Barat dan dihormati karena sikap kesatria yang dia tunjukkan. Dua ratus tahun kemudian Dante menyebut namanya, dengan rasa hormat, dalam karya besarnya ini. Salahuddin orang baik, namun dia beragama lain. Karena itu, dia ditempatkan di Limbo.

Gambaran Dante tentang neraka (inferno) dan tempat penyucian (purgatorio) dan surga (paradiso) adalah sebuah imajinasi yang mewakili pandangan dunia tentang kehidupan setelah kematian sebagaimana diyakini oleh gereja abad pertengahan. Saya pikir Mahatma Gandhi, Gus Dur, Sunan Kalijaga, dan Siddharta Gautama juga merupakan para penghuni Limbo jika kita mengikuti imajinasi Dante. Tidak apa-apa.

Apa yang bakal terjadi setelah kematian adalah hal yang tidak bisa kita perdebatkan dan hanya membutuhkan sedikit kesabaran bagi kita untuk membuktikan. Kita semua akan meninggal dunia pada saatnya dan di hari itulah kita akan membuktikan seperti apa sesungguhnya yang bakal terjadi. Mungkin kita hanya butuh waktu 10 tahun, 20 tahun, 30 tahun, atau 50 tahun lagi untuk menemui kematian. Tidak terlalu lama.

Masalah kita hari ini adalah bagaimana mengupayakan kehidupan di muka bumi sebaik mungkin. Jika mengucapkan selamat Natal adalah haram bagi umat Islam, umumkan saja haram. Jika boleh, umumkan boleh. Anda bisa mengikuti keputusan tersebut atau tidak mengikuti; itu sikap pribadi. Anda boleh diam saja pada hari Natal meski menteri agama menyatakan boleh mengucapkan itu. Tidak ada yang akan menyalahkan sikap pribadi Anda. Teman Nasrani Anda tidak akan menagih ucapan selamat jika Anda tidak mengucapkannya. Mereka akan tetap merayakan Natal dengan rasa bahagia dan itu rasa bahagia yang tidak ada hubungannya dengan kepercayaan orang lain di luar agama mereka.

Satu urusan menjadi beres jika ada ketegasan semacam itu. Tapi, siapa atau institusi apa yang otoritatif untuk membuat keputusan? Kita nyaris tidak bisa memercayai institusi apa pun di negeri ini kecuali pemerintah membuktikan diri bahwa ia bisa menjalankan urusan-urusannya secara baik dan mampu meningkatkan kualitas hidup seluruh warga negara.

Kita bisa menghargai keputusan orang untuk tidak mengucapkan selamat Natal –karena alasan keimanan atau apa pun. Namun, saya merasa sedih kepada orang-orang yang bisa dengan enteng sekali menyerukan kepada publik bahwa mengucapkan selamat Natal adalah haram, seolah-olah mereka tidak tersentuh oleh rasa belas kasih dan tidak memiliki sedikit saja empati kepada orang-orang lain di luar diri mereka. Menyampaikan ucapan selamat adalah ekspresi persahabatan. Ia merupakan salah satu wujud riil dari toleransi dan paling mudah dijalankan, namun itu pun diharamkan.

Dalam situasi hari ini, kita tidak akan pernah tahu kapan perdebatan sepele macam itu berakhir. Namun, saya percaya bahwa ketika mutu kehidupan di negeri ini meningkat dan pemerintah benar-benar dirasakan manfaatnya bagi seluruh warga negara, kita akan jemu sendiri memperdebatkan hal-hal remeh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar