Kamis, 25 Desember 2014

Domain Simbolik dan Orang Kreatif

Diskusi LMI-Kompas “Generasi Kreatif dan Kemandirian Kaum Muda Indonesia”

Domain Simbolik dan Orang Kreatif

KOMPAS,  24 Desember 2014

                                                                                                                       


DISKUSI mengenai generasi kreatif dan kemandirian kaum muda Indonesia ini penting mengisi euforia kita tentang pemerintahan baru yang punya pikiran besar tentang revolusi mental serta perhatian pada industri kreatif.

Sumpah Pemuda adalah sebentuk kreativitas ketika generasi 1920-an melakukan pembongkaran dengan cara kreatif, creative destruction. Konsep sosiologis tentang generasi, menurut Ron Eyerman, mengandung arti lebih dari sekadar orang-orang yang terlahir pada masa hampir sama. Konsep itu menyatakan sebuah kesamaan pengalaman sehingga menciptakan sebuah dasar bagi cara pandang yang sama, orientasi tujuan yang sama, dan bisa mempersatukan para pelaku meskipun tidak saling bertemu.

Bagi Karl Mannheim, sebuah generasi membentuk identitas kolektifnya dari sekumpulan pengalaman yang sama, yang melahirkan sebuah identitas dalam cara merespons, dan rasa keterikatan tertentu dalam suatu cara ketika semua anggotanya bergerak dan terbentuk oleh kesamaan pengalaman mereka.

Dengan pengertian generasi seperti ini, yang dituju bukan sekadar individu kreatif, orang per orang, melainkan satu generasi yang bersifat kolektif memberi respons kreatif terhadap tantangan zaman. Pengertian ini penting karena sering kita terjebak pada semacam kekaguman terhadap orang-orang tertentu yang berdarah-darah merangkak dari bawah tiba-tiba menjadi seorang menteri lalu kita rayakan.

Dalam film Laskar Pelangi, misalnya, banyak orang tertuju pada tokoh yang bisa masuk sekolah Eropa dan seterusnya. Namun, yang justru paling mengesankan dari cerita itu adalah seorang anak amat cerdas yang terpaksa meninggalkan dunia sekolah karena orangtuanya meninggal dan harus menanggung beban orangtuanya. Entah berapa banyak orang yang, secara potensial cukup kreatif sebenarnya, dalam perkembangannya tercecer dan tak jadi apa-apa. Kita tidak bisa membangun kreativitas hanya atas dasar peristiwa kebetulan orang per orang. Kita ingin bahwa satu sistem memungkinkan suatu generasi yang punya pengalaman bersama dan respons kreatif terhadap lingkungannya.

Kreativitas adalah suatu proses yang melaluinya domain simbolik dalam kebudayaan berubah: nyanyian baru, ide baru, mesin baru, dan seterusnya. Kreativitas dihasilkan oleh interaksi suatu sistem yang terdiri dari tiga elemen, yaitu domain simbolik, bidang pendukung, dan orang kreatif.

Domain simbolik, biasanya disebut budaya, berisi seperangkat aturan, prosedur, pengetahuan, dan informasi simbolik (meme) sebagai titik tolak sekaligus titik ubah dari kreativitas. Bidang pendukung meliputi segala orang, institusi, dan jaringan yang bertindak sebagai penjaga pintu yang mendukung, menyaring, dan memvalidasi setiap inovasi untuk bisa masuk dan membawa perubahan dalam domain budaya. Orang kreatif membawa kebaruan dalam domain simbolik.

Renaisans dan Firenze

Sebuah contoh paling kreatif dalam sejarah renaisans Eropa memberi pengalaman bagaimana bekerjanya ketiga elemen itu. Seluruh sejarah renaisans Eropa boleh dibilang terjadi di Firenze, Italia, dalam kurun 1400-1425, saat renovasi menyeluruh dan perancangan kubah bagi Basilika Santa Maria Novella di kota itu. Sedemikian hebat Firenze yang melahirkan karya paling kreatif dan paling canggih itu sehingga, ketika Nazi dalam Perang Dunia Kedua memerintahkan jenderalnya membumihanguskan Firenze, sang jenderal desersi. Katanya, ”Lebih baik saya dihukum Nazi ketimbang menghancurkan Firenze sebab terlalu banyak keindahan yang musnah dari muka bumi ini apabila Firenze dibumihanguskan.”

Bagaimana kreativitas bekerja di sana? Selama 80 tahun gereja ini kosong melompong tanpa kubah sebab tak satu orang pun pada masa itu yang kreatif menawarkan suatu proposal meyakinkan yang menjamin sistem konstruksi yang mampu menahan dari kemungkinan robohnya bangunan secara menyeluruh.

Pada awal 1400-an mulai ada gerakan di Roma dan Firenze menggali kembali tradisi warisan Yunani dan Romawi. Termasuk dalam hal ini seorang arsitek yang mempelajari teknik arsitektur Romawi Purba. Teknik arsitektur Romawi Purba yang ditemukan itu kemudian dia gabung dengan teknologi gotik termaju di zamannya. Ia mengajukan proposal kepada gereja, yang sebelumnya menolak banyak proposal lain, dan gereja mengabulkannya serta memberi ia kesempatan membangun kubah untuk Basilika Satna Maria Novella itu.

Jaringan institusi (gereja, pemodal, pemerintahan kota) mendukung kreativitas Firenze itu. Pembangunan hampir setengah abad pintu barat dan utara Basi- lika Santa Maria Novella dimulai dengan sayembara. Domain pemangku kepentingan tata kota, Dewan Kota, membuka sayembara untuk pembuatan rancangan pintu itu. Begitu sayembara dibuka, muncul hampir semua pendekar seni kreatif di zaman itu dan yang keluar sebagai pemenang adalah Lorenzo Ghiberti. Berbeda dengan pesaingnya dalam sayembara itu yang menggali sistem bangunan Romawi Purba, Ghiberti mencari tahu bagaimana membuat patung pada masa Romawi Purba. Setelah menemukannya, ia mengembangkan temuan itu dengan ilmu baru dan merancang pintu barat dan pintu utara sedemikian rupa.

Sejarah mencatat bahwa karya-karya seni kreatif berkembang di Firenze waktu itu karena gereja tak saja mengambil satu desain dari seorang arsitek, tetapi secara cermat ikut mengontrol dengan memilih bahan dan jenis patungnya. Para pengusaha yang sedang tumbuh di Firenze waktu itu memberi ruang bagi karya kreatif dengan menyediakan hadiah bagi orang kreatif, serta ikut mengoleksi karya kreatif itu sehingga semua jadi satu kehidupan yang tumbuh bersama-sama. Jaringan kurator dan jaringan pengkritik seni dikembangkan.

Pelajaran yang bisa dipetik dari kasus Firenze ini adalah adanya dukungan bagi orang-orang yang menemukan cara-cara baru, ilmu-ilmu baru, untuk membentuk konstruksi.

Sandek dan poros maritim

Kita mempunyai sejumlah kearifan tradisional, tetapi kita tidak pernah mencoba mereartikulasikannya secara baru untuk mampu kompetitif dan menjawab tantangan zaman. Sering kita bicara mengenai kearifan tradisional, tetapi sering pula berhenti di dalam arkaisme itu sendiri. Yang diperlukan bukan historisisme, bukan mengagumi Majapahit atau Sriwijaya.

Kita tahu bahwa perahu nirmotor tercepat sepanjang sejarah umat manusia adalah perahu sandek dari Mandar. Kita tentu tak ingin memuja terus-menerus dan memfosilkan sandek di dalam mesin waktu bahwa seolah-olah kita hanya memuja sandek sebagai perahu nirmotor tercepat di muka bumi. Yang ingin dilakukan di dalam proses menemukan kembali domain simbol baru adalah bagaimana teknik perkapalan bernama sandek diteliti dikembangkan jadi satu ilmu baru sehingga tersedia cara baru memasuki apa yang disebut dengan poros maritim dunia itu.

Bakat genetik orang Indonesia dalam karya kreatif tidak perlu diragukan. Kita ditakdirkan sebagai sebuah bangsa dengan variasi genetik luar biasa. Bangsa Indonesia memiliki multiple intelegensia yang menakjubkan. Barangkali jika Howard Gardner bicara tentang tujuh jenis intelegensia, bibit-bibitnya yang luar biasa tersua di Indonesia. Kalau begitu, di mana masalahnya, mengapa orang kreatif di Indonesia tidak menemukan proses perwujudan eksistensialnya?

Barangkali masalahnya ada dalam sistem pendidikan kita. Kita terlalu menekankan pembelajaran yang sifatnya kelas, yang mengukur semua manusia atas satu jenis kecerdasan tertentu. Dulu orang dikatakan pintar apabila nilai Matematika dan IPA-nya tinggi. Kalau ingin beradab, masuk jurusan IPA. Kalau kurang dari itu, masuk IPS. Kalau masih kurang, masuk jurusan Bahasa. Ternyata kita temukan sekarang bahwa setiap intelegensia, kalau dikembangkan secara baik dalam edukasi, akan memberi kontribusi yang sama terhadap total faktor produktivitas kita. Devisa Brasil dan Argentina sekarang banyak disumbangkan oleh ekspor para pemain sepak bola.

Mestinya setiap jenis intelegensia dikembangkan sedemikian rupa sehingga bisa melahirkan orang-orang dengan karakter sendiri-sendiri dan menjadi kreatif dalam bidang intelegensia masing-masing. Karena itu, ke depan kurikulum di sekolah dibatasi saja dengan memberi ruang bagi pilihan yang berbasis personal preferences.

Dengan begitu, setiap orang punya ruang mengenali dirinya dan, dengan itu, dia betul-betul bisa mengembangkan kreativitas sesuai dengan preferensi intelegensianya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar