Kamis, 25 Desember 2014

Krisis Politik Thailand Belum Akan Berakhir

Laporan Akhir Tahun Internasional

Krisis Politik Thailand Belum Akan Berakhir

Anonim  ;  Wartawan Kompas
KOMPAS,  24 Desember 2014

                                                                                                                       


MONARKI Thailand terancam. Terlebih setelah munculnya pengumuman Puteri Srirasmi, istri putra mahkota Kerajaan Thailand Maha Vajiralongkorn, telah melepas status kerajaannya setelah beberapa kerabatnya ditangkap karena skandal korupsi. Itu berarti Putra Mahkota Maha Vajiralongkorn telah menceraikan istrinya, Puteri Srirasmi.

Pengumuman istana itu makin menambah kecemasan dan ketidakpastian di kalangan publik terhadap masa depan monarki, tidak hanya bagi generasi sekarang ini, tetapi juga generasi berikutnya. Kegelisahan warga Thailand tersebut diungkap pakar Thailand dari Universitas Osaka, Jepang, Pavin Chachavalpongpun.

Sementara itu, berita soal perceraian dan Puteri Srirasmi melepas status kerajaan itu sangat mengejutkan kalangan elite Thailand.

Kegelisahan rakyat Thailand makin menumpuk, terlebih krisis politik Thailand belum berakhir. Di level elite dan akar rumput, mereka terbelah sangat dalam dan sempat berada di tepi jurang perang saudara. Untuk ”menyelesaikan” konflik di antara mereka, junta militer pun akhirnya turun tangan, mengambil alih kekuasaan di Thailand pada 22 Mei lalu.

Mantan Kepala Staf Angkatan Darat Thailand Jenderal Prayuth Chan-ocha menduduki posisi perdana menteri menggantikan Niwatthamrong Boonsongpaisan, yang sebelumnya juga menggantikan Yingluck Shinawatra yang dilengserkan.

Keberadaan Prayuth sebagai Perdana Menteri Thailand mendapat restu Raja Thailand Bhumibol Adulyadej. Junta militer tersebut menepis kemungkinan digelarnya pemilu sebelum Oktober 2015 dan bertekad membenahi politik Thailand dengan mereformasi semua bidang pemerintahan.

Prayuth juga dikenal sebagai sosok penentang mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra yang kini berada di pengasingannya di Dubai, Uni Emirat Arab.

Prayuth mengatakan, junta terpaksa mengambil alih pemerintahan karena tak ingin kondisi negara semakin terpuruk akibat krisis politik yang terus berkelanjutan. Kedua kubu, baik kubu pendukung Yingluck (adik Thaksin) maupun kubu anti pemerintah yang digerakkan Suthep Thaugsubhan, pemimpin Komite Reformasi Demokratik Rakyat (PDRC), terus bertikai. Massa demonstran anti pemerintah sempat berdemonstrasi selama lebih dari enam bulan dan menelan korban 23 jiwa.

Belum bisa mengakhiri

Noel Kasem, warga Thailand, mengatakan, ketika junta militer mengambil alih kekuasaan setelah kekisruhan politik antara pengikut Yingluck dan PDRC itu, semuanya berjalan menjadi baik. ”Namun, setelah berjalan sekian lama, saya masih belum melihat bahwa junta benar-benar bisa mengakhiri perpecahan kedua kubu. Mereka masih seperti menunggu dan melihat situasi,” kata Noel.

Setelah militer meninggalkan kekuasaan seperti janji mereka, menurut Noel, kedua kelompok tersebut pasti akan bertarung kembali. Korupsi juga masih menjadi masalah besar. ”Orang miskin masih tetap miskin. Junta militer tidak akan dapat melakukan hal yang baik di masa yang sangat singkat ini. Rasanya seperti tak ada harapan untuk Thailand. Kebencian antara kelompok pro pemerintah dan anti pemerintah sudah sangat dalam. Mereka saling membenci satu sama lain. Saya hanya berharap tak ada pertumpahan darah lagi,” kata Noel.

Untuk menyudahi kekisruhan politik di Thailand yang telah berjalan cukup lama, Prof Thitinan Pongsudhirak, Direktur Institut Keamanan dan Studi Internasional-Fakultas Ilmu Politik Universitas Chulalongkorn Bangkok, Thailand, mengatakan bahwa Thailand memerlukan ”jalan ketiga”.

Menurut Pongsudhirak, Prayuth hingga saat ini tak terlihat ingin berbagi kekuasaan dengan pendukung kudeta ataupun dengan pengikut Thaksin. Warga Thailand yang semula terbelah menjadi kubu pro Thaksin dan kubu oposisi anti Thaksin kini terbagi menjadi kelompok ”Dengan Kita atau Melawan Kita (Junta)”. Ini merupakan karakteristik politik Thailand yang selalu mudah terbelah.

Harus ada jalan ketiga yang mengoperasikan prinsip-prinsip demokrasi, kekuasaan yang segan melakukan penyalahgunaan dan manipulasi.

Keinginan kuat untuk mendepak kroni Thaksin, seperti Yingluck dan penggantinya, Boonsongpaisan, bisa memicu perang sipil. Bagi Thaksin, jalan ketiga artinya harus berhadapan dengan kudeta dan PDRC yang melawan penyalahgunaan kekuasaan dan politik uang yang dilakukan Thaksin dan mesin partainya yang mencari kendaraan elektoral agar dapat memenangi pemilihan umum.

”Rezim di bawah Prayuth dan Dewan Nasional untuk Perdamaian dan Ketertiban (NCPO) tak terlihat akan membagi kekuasaannya. Jadi, jalan ketiga sangat diperlukan. Politik Thailand sepertinya tak ke mana-mana, tetapi siapa pun yang ingin lepas dari perpecahan harus melakukan kompromi dan ini langkah konkret untuk Thailand,” kata Pongsudhirak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar