Kamis, 25 Desember 2014

Melahirkan Generasi Kreatif

Generasi Kreatif dan Kemandirian Kaum Muda Indonesia

Melahirkan Generasi Kreatif

KOMPAS,  24 Desember 2014

                                                                                                                       


DI dalam buku The World is Flat, Thomas L Friedman menggambarkan Tiongkok dan India sebagai dua negara yang mampu mengembangkan ekonomi kreatif, khususnya dalam bidang teknologi informasi. Dalam sekejap, Tiongkok dan India mampu menyaingi negara adidaya lain, seperti Amerika Serikat dan Rusia; juga Eropa.

Di sini letak keistimewaan ekonomi kreatif. Ia mampu membangun keseimbangan global dengan menjadi salah satu kekuatan dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi sebuah negara. Dunia yang makin datar akibat kecanggihan internet semakin memacu para pelaku ekonomi kreatif untuk bersaing dalam kancah global. Negara-negara lain terus berpacu untuk merebut pasar global dengan memajukan ekonomi kreatif.

Pertanyaannya, apa yang mesti dilakukan pemerintah dan masyarakat dalam rangka mendorong kelahiran generasi kreatif? Apa pentingya ekonomi kreatif bagi negeri ini?

Ekonomi kreatif mutlak diperlukan untuk membangun ketahanan sosial-ekonomi. Faktanya, hampir di setiap daerah di negeri ini mempunyai potensi ekonomi kreatif yang sangat luar biasa. Mereka mampu menghidupkan perekonomian daerah dengan segala keterbatasannya. Bahkan, kalau mau jujur, sebenarnya perekonomian nasional ditopang dengan tumbuhnya ekonomi kreatif. Hanya saja, para pelaku ekonomi kreatif belum mendapatkan perhatian serius dari pemerintah.

Selama bertahun-tahun sepertinya pemerintah belum melihat ekonomi kreatif sebagai bagian penting dalam menumbuhkan perekonomian nasional. Ironisnya, justru negara-negara lain yang mampu melihat potensi ekonomi kreatif di kalangan kaum muda. Banyak film kartun dan animasi yang lahir dari kaum muda kita, tetapi mereka jual ke negara lain. Lalu, karya tersebut diklaim negara lain. Padahal, karya tersebut adalah karya asli kaum muda kita.

Di samping itu, dalam jangka panjang, ekonomi kreatif dapat menjadi bagian dari ketahanan sosial-politik. Radikalisme dan ekstremisme yang tumbuh di negeri ini dapat diredam dengan memfasilitasi tumbuhnya ekonomi kreatif di kalangan muda.

Kalau melihat sejarah, kaum Muslim pada masa lalu sebenarnya juga sangat kreatif dalam melahirkan para pedagang, baik di kalangan NU maupun Muhammadiyah. Akibatnya, dua ormas besar ini menjadi lokomotif gerakan moderasi Islam, bukan hanya di Indonesia melainkan juga di dunia internasional. Tumbuhnya industri fashion, perbukuan, dan perbankan yang berlandaskan tumbuhnya kesadaran keagamaan sebenarnya sangat membantu untuk meredam infiltrasi radikalisme dan ekstremisme yang disebabkan peminggiran dan penindasan dalam sektor ekonomi dan politik.

Nalar kreatif

Karena itu, pemerintah perlu memperhatikan ekonomi kreatif dengan serius. Yang perlu digarisbawahi, untuk menumbuhkan ekonomi kreatif bukan hal yang mudah. Membutuhkan proses yang panjang. Dunia pendidikan semestinya menjadi salah satu pijakan untuk melahirkan generasi-generasi kreatif, yang nantinya menunjang tumbuhnya ekonomi kreatif di negeri ini.

Pasalnya, dunia pendidikan kita saat ini hanya mampu mengembangkan aspek kognisi. Adapun aspek metakognisi diabaikan. Konsekuensinya, kita melahirkan banyak sarjana, lulusan SMK dan D-3, tetapi mereka gamang saat melihat realitas kehidupan yang dinamis dan kompetitif, berbeda jauh dengan yang dipelajari di ruang kelas. Akhirnya, mereka pun menjadi pengangguran. Mereka gagap saat melihat realitas kehidupan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya selama belajar di sekolah dan kampus.

Kisah tentang lulusan sebuah universitas ternama dengan indeks prestasi kuliah yang cukup bagus, tetapi akhirnya depresi dan bunuh diri sangat mengentakkan kita semua. Kisah tersebut semestinya menjadi perhatian semua pihak, khususnya pemerintah dan kalangan akademisi. Ada yang salah dalam filosofi dan sistem pendidikan nasional.

Bahkan, ironisnya mereka yang tidak lulus sekolah dan kuliah justru lebih mampu berperan secara maksimal di tengah-tengah masyarakat. Itu artinya, alam raya yang luas ini dapat menjadi tempat untuk mengasah kepekaan sosial dan kreativitas. Tidak ada jaminan, mereka yang bersekolah dan kuliah akan mempunyai kreativitas yang mumpuni.

Kecenderungan yang berlebihan terhadap domain kognisi di dalam dunia pendidikan telah terbukti tidak memacu tumbuhnya kreativitas. Malah sebaliknya, seorang sarjana akan mengalami depresi, stres, bahkan bunuh diri. Akhirnya pendidikan menjadi beban yang menakutkan bagi kaum muda.

Maka dari itu, diperlukan sebuah rekonstruksi sistem pendidikan nasional. Mestinya kita mengembangkan metakognisi, yang di dalamnya sangat menekankan aspek empati terhadap yang lain, penalaran, regulasi diri, kepekaan/inisiatif, kreatif, dan adaptasi. Intinya, pendidikan harus dipahami sebagai proses belajar dan latihan yang tidak pernah berhenti. Setiap anak semestinya tidak hanya fokus pada buku dan diktat, tetapi mampu mengasah kemampuan membaca realitas kehidupan yang lebih luas.

Menurut James Heckman, sistem pendidikan kita saat ini hanya menekankan aspek kognitif dan lebih bersifat mekanistik. Maka dari itu, diperlukan perubahan yang mendasar agar pendidikan kita mampu mendorong regulasi diri, keterbukaan, dan kemampuan untuk terlibat dan empati dengan orang lain sehingga mampu merencanakan dan berbuat yang akan membukakan pintu untuk meraih pekerjaan dan hidupnya semakin produktif.

Mental ”driver”

Bukan hal yang aneh jika dunia pendidikan kita selama ini hanya mencetak tumbuhnya peserta didik yang bermental passenger, bukan driver. Mereka selama ini merasa nyaman, tidak kreatif, malas, dan tidak merasa ada tantangan di masa depan.

Sebagaimana halnya penumpang sebuah kendaraan, peserta didik kita tidak terbiasa dengan kreativitas dan mengendalikan diri. Akibatnya, bagaimana mau mengendalikan orang lain jika mengendalikan diri sendiri saja tidak mampu. Di sini mental passenger harus diubah menjadi mental driver.

Meminjam istilah Presiden Joko Widodo, dunia pendidikan harus mampu mendorong revolusi mental. Yaitu, mentalitas yang mampu membangkitkan kebanggaan terhadap negara, percaya diri, siap ambil risiko, gotong-royong, berani mengambil keputusan, dan mempunyai mimpi besar. Intinya setiap peserta didik mesti dilatih mandiri, menjadi driver, bukan passenger.

Seorang driver harus bergerak ke depan, menjadi pemimpin yang siap mengambil risiko dengan mengandalkan kreativitas nalar. Metakognisi menjadi kata kunci yang paling penting karena akan melahirkan peserta didik yang akan mempunyai kreativitas dan disempurnakan dengan kemandirian dan keberanian untuk mengambil risiko.

Jika kedua hal tersebut dimiliki generasi muda kita, kita optimistis dapat menyongsong era baru untuk bersaing di sektor ekonomi kreatif. Sekolah dan keluarga adalah dua entitas penting yang harus mendorong lahirnya generasi kreatif. Pada saatnya nanti, kita bisa berdiri tegak bersaing dengan negara-negara lain, seperti Tiongkok dan India, bahkan Amerika Serikat, Eropa, dan Rusia.

Niat pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang akan memberikan perhatian besar terhadap ekonomi kreatif harus didukung. Namun, langkah tersebut tidak mudah dan instan. Pemerintah mesti memperhatikan dunia pendidikan sebagai pintu masuk untuk melahirkan generasi kreatif. Tanpa itu, segala ide besar untuk meningkatkan ekonomi kreatif hanya akan menjadi gerakan parsial.

Negeri ini membutuhkan generasi muda kreatif untuk bersaing di kancah global. Hal tersebut tidak mustahil dicapai jika kita mulai dari sekarang secara bersama-sama dengan memberikan perhatian penuh terhadap ekonomi kreatif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar