Senin, 29 Desember 2014

Memperbaiki Nasib Anak Indonesia

Memperbaiki Nasib Anak Indonesia

Ali Khomsan  ;   Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat,
Fakultas Ekologi Manusia IPB
MEDIA INDONESIA,  27 Desember 2014

                                                                                                                       


JUMLAH anak pendek di Indonesia mencapai 37,2% dan penderita gizi kurang/ buruk 19,6%. Persoalan anak pendek sejatinya telah berlangsung lama. Hanya, kita baru tersadar sekarang. Masalah gizi yang kita hadapi dari dulu hingga kini mungkin memberikan kontribusi signifikan terhadap prestasi anak-anak bangsa.Memperhatikan data tantang kualitas SDM Indonesia sungguh miris. 

Banyak anak didik memiliki lower order thinking skills. Dengan mengacu kepada studi Trends in International Math and Science Survey (TIMSS) 2007, anak-anak Indonesia yang memiliki performa rendah dan di bawah rata-rata berjumlah 78%, Hong Kong 15%, Taiwan 14%, Singapura 12%, dan Korea 10%.

Ini cermin bahwa program-program gizi selama ini belum cukup untuk memperbaiki kualitas anak-anak Indonesia. Negara melakukan upaya-upaya perbaikan gizi dan kesehatan melalui pemberian makanan tambahan, fortifikasi bahan makanan, imunisasi, dan pemberian suplemen besi/vitamin A. Namun, di sisi lain, kita kurang hirau terhadap sumber daya nutrisi yang murah dan selalu tersedia yaitu air susu ibu (ASI) sehingga capaian ASI eksklusif masih relatif rendah. Selama ini instansi pemerintah ataupun swasta memberikan cuti melahirkan kepada kaum perempuan selama tiga bulan.Terkadang cuti tersebut diambil satu bulan sebelum melahirkan dan dua bulan sesudah melahirkan.

Kebijakan cuti yang selama ini diberlakukan sesungguhnya tidak mendukung upaya perbaikan kualitas hidup bangsa. Pakar gizi dan kesehatan telah menyepakati bahwa bayi harus diberi ASI eksklusif (ASI saja) selama enam bulan pada awal kehidupannya. Hal itu akan menjamin asupan nutrisi yang berkualitas dalam periode yang sangat penting ini.

Coba hitung berapa kerugian yang ditanggung perusahaan bila seorang perempuan cuti melahirkan enam bulan dan bandingkan dengan biaya yang harus dipikul rumah tangga karena harus membeli susu formula? Perhitungkan juga potensi kecerdasan yang hilang akibat seorang anak tidak mendapatkan ASI secara cukup.Negara yang menaruh perhatian terhadap kualitas SDM-nya tentu tidak akan ragu menetapkan kebijakan yang berpihak pada membaiknya tumbuh kembang anak.

Indonesia ialah negara dengan jumlah penduduk miskin sangat banyak. Penduduk miskin ini tidak seyogianya membelanjakan penghasilannya yang pas-pasan untuk membeli susu formula karena mereka telah dibekali Tuhan dengan ASI sebagai makanan bayi.

Perempuan di zaman praindustri ialah ibu-ibu rumah tangga yang bertanggung jawab mengelola urusan domestik keluarganya. Dalam perjalanannya dan seiring dengan semakin pesatnya pertumbuhan industri, kaum perempuan akhirnya memasuki dunia kerja profesional yang menuntut banyak curahan waktu dan tenaga. Cost yang harus diambil ialah hilangnya atau berkurangnya kesempatan untuk mengasuh anak-anaknya, termasuk hilangnya kesempatan untuk menyusui dengan ASI secara cukup.

Perempuan pekerja secara matematis mendapat beban yang lebih berat bila dibandingkan dengan kaum pria karena selain sebagai pekerja, kaum perempuan itu melaksanakan tugas-tugas domestik sebagai ibu rumah tangga. Tugas domestik tersebut hendaknya tidak dipangkas kebijakan kantor atau perusahaan. Oleh sebab itu, mari bersama-sama kita upayakan kebijakan cuti bagi perempuan yang mendukung perbaikan kualitas hidup bangsa.

Selain itu, suami harus mendorong istri untuk memberikan ASI eksklusif bagi bayinya. Istilah breastfeeding father baru-baru ini dimunculkan bukan sebagai bentuk kekenesan perempuan, melainkan lebih untuk menyadarkan kaum pria bahwa pemberian ASI untuk anak memang tugas perempuan, tetapi suami harus selalu memberi dukungan agar perempuan tidak gampang menyerah dalam memberikan makanan alamiah terbaik bagi bayinya.

Pemberian cuti yang hanya tiga bulan pascamelahirkan akan menyulitkan penerapan ASI eksklusif sehingga bayi tidak mendapatkan haknya yakni mendapatkan makanan alami yang melekat pada tubuh ibunya. Sangat penting disadari bahwa produksi ASI ditentukan frekuensi menyusui dan stres seorang ibu. Apabila ibu harus bekerja dengan meninggalkan bayi berusia tiga bulan di rumah, selama di kantor ibu mengalami kesulitan untuk mengeluarkan air susunya.

Semakin sering dia terkendala untuk mengeluarkan ASI, akan muncul gangguan produksi ASI. Pada akhirnya, jumlah ASI akan semakin sedikit dan akhirnya kering sebelum masa penyusuan dua tahun terpenuhi.
Kondisi stres akan mengakibatkan berkurangnya produksi ASI. Sumber stres bisa berasal dari banyak hal seperti perubahan jam bekerja dan adanya persoalan dengan atasan atau rekan sekerja.

Orang modern kini menghadapi sumber stres yang beraneka ragam karena tantangan hidup yang semakin berat. Ketika industrialisasi berkembang sebagai tanda kemajuan zaman, masyarakat harus menghadapi stres akibat polusi, stres akibat iklim udara yang semakin panas, dan stres emosional akibat pekerjaan atau sebabsebab lainnya. Bagi perempuan pekerja rendahan, stres semakin bertambah karena penghasilan yang tidak memadai sehingga mereka terlilit utang. Ini akan berdampak negatif bagi produksi ASI.

Agar kaum perempuan dapat menyusui anaknya dengan tenang dan mendayagunakan ASI-nya secara maksimal, sudah saatnya peraturan cuti bagi kaum perempuan diubah dari hanya 3 bulan menjadi 6 bulan. Perempuan perlu diberi kesempatan untuk membesarkan anaknya dengan baik. Maternal bonding dalam enam bulan awal kehidupan seorang anak sangat penting. Seorang bayi akan merasa aman dan nyaman dalam dekapan ibunya ketika dia disusui.

Di Finlandia, konon ibu yang mau menyusui bayinya mendapatkan reward dari pemerintah. Itu menunjukkan besarnya perhatian negara terhadap tumbuh kembang seorang anak. Indonesia tidak akan mampu memberi reward bagi perempuan yang menyusui anaknya, tetapi paling tidak kaum perempuan harus diberi kesempatan untuk dapat secara leluasa memberikan ASI bagi anaknya. Oleh sebab itu, harus ada komitmen dari pemerintah untuk memberikan cuti melahirkan sesuai kaidah ASI eksklusif yaitu enam bulan pascamelahirkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar