Selasa, 30 Desember 2014

Paus dan Seni

Paus dan Seni

Garin Nugroho   ;   Sutradara Film, Kolumnis “Udar Rasa” Kompas
KOMPAS, 28 Desember 2014

                                                                                                                       


”Jika Anda sahabat sejati seni, Anda sahabat kami.” Inilah pernyataan Paus Paulus VI yang tersohor kepada seniman dunia (1964) yang dikutip kembali oleh Paus Benediktus XVI—23 Oktober 2009 dalam merayakan 45 tahun peristiwa itu bersama 100 lebih seniman dunia di Kapel Sistine—Vatikan.

Menghadiri undangan Paus Benediktus di Kapel Sistine terasa menjadi ingatan unik untuk memaknai Natal dan Seni. Begitu banyak seniman dunia berkumpul dan bicara dengan latar beragam agama serta profesi seni, bahkan juga yang ateis: Andrea Bocelli, John David Mooney ataupun Bill Viola (seni instalasi), Zaha Hadid (arsitek Iran), Susana Tamoro (novelis Italia), Ciaron 0’Coigligh, Angela Hewitt (pianis Kanada), David Chipperfield (arsitek inggris), hingga Gustavos Aceves (perupa Meksiko).

Pesan-pesan Paus terasa hidup mengiringi lukisan pengadilan terakhir karya Michaelangelo, yang terlukis di atas kepala saya di langit-langit Kapel Sistine, saya masih teringat kutipan kecil pesan Paus itu: ”Seni sering kali memberi keterkejutan spiritual yang melahirkan rasa lapar pada kemanusiaan.”

Kalimat ”rasa lapar pada kemanusiaan” terasa muncul kembali pada hari-hari seputar Desember ketika atmosfer perayaan Natal dan Tahun Baru 2015 bermunculan. Sebuah pertanyaan sederhana muncul: ”Masihkah rasa lapar pada kemanusiaan menjadi dasar hidup berbangsa dewasa ini?”

Desember ini terasa menjadi perjalanan panjang dan melelahkan bagi saya, dari Palembang, Jember, Yogyakarta, Solo, hingga Turki. Meski melelahkan, melihat spirit anak-anak muda di berbagai pelosok negeri ini menunjukkan isyarat pesan Paus Benediktus lainnya. Saya kutip pendek: ”Seni bukanlah kebutuhan kedua atau ketiga, seni adalah kebutuhan kehidupan. Dostoevsky menyatakan bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa pengetahuan dan makan, tetapi kehidupan tanpa keindahan seni tidak akan panjang.”

Saya juga mencatat pengalaman lain dalam perjalanan panjang Desember ini. Di sebuah bandara saya bertemu seorang politikus yang dengan gegap gempita bicara tentang era politik baru yang menggugah massa dan media. Celakanya, pada akhirnya berbicara klise yang berulang selalu saya dengar: ”Kalau lapar tidak bisa kerja dan mikir, bagaimana mau berkarya idealis?”

Kata ”lapar” mengingatkan saya pada sebuah film yang bercerita tentang keluarga Inggris di lubang pengungsian saat diserbu tentara Jerman sewaktu Perang Dunia II. Adegannya sederhana, sang ayah menyuruh anaknya yang masih kecil dan kelaparan membaca buku sastra, sementara dentuman meriam menggetarkan lubang perlindungan itu. Sang ayah berucap: ”Baca buku itu, kalau kamu masih mau tetap berpikir saat lapar, maka saat kamu kenyang dan bisa makan apa saja, kamu akan merawat kehidupan ini, tidak memakan apa saja dengan rakus, buku itu membuatmu mengerti perasaan kecil manusia sekitarmu.”

Ingatan pada film itu selalu terbawa setiap minum kopi di sudut-sudut Eropa, ketika turis-turis Asia membanjiri bangunan heritage dan isinya yang membawa investasi ekonomi kota-kota dan warganya serta inspirasi bagi karya teater, film, hingga fashion yang memberi hidup Eropa. Saya berpikir, sekiranya adegan film tentang ayah yang menyuruh membaca sastra di saat lapar itu terjadi di Indonesia, mungkin kalimat sang ayah diganti: ”Kamu lapar, jangan baca sastra, bodoh itu. Robohkan bangunan tua yang tidak menghasilkan ekonomi, ganti dengan mal dan toko-toko, cepat... kerja.”

Adegan sederhana itu selalu membawa ingatan sejarah bahwa bangsa-bangsa yang beradab di tengah krisis besar ekonomi tidak hanya bicara ekonomi, tetapi juga menjaga kehidupan dengan seluruh aspeknya yang paling marjinal sekalipun: pengetahuan, teknologi, seni, hingga daya hidup pangan dan lingkungan. Mereka tidak saja menjaga ekonomi seni yang massal, bahkan heritage hingga seni alternatif sebagai gugatan kritis. Pada gilirannya, sesungguhnya mereka menjaga kebudayaan, yakni cara berpikir, bertindak, dan bereaksi terhadap dunia sekitar, tidak saja lewat membaca sejarah masa lampau, hari ini, tetapi juga masa depan.

Periode Desember ini, beruntung saya melihat pameran Ong Hari Wahyu yang penuh pitutur tanpa menuturi, melihat film Tabularasa hingga Cahaya dari Timur tentang spirit hidup atas kemanusiaan, karya instalasi Krisna Murti yang memberi inspirasi tentang kelahiran dan ego kemanusiaan, karya tari Helda- Ikj tentang lampu kota dan jalanan yang menyudutkan tubuh kemanusiaan, diskusi dengan Soenaryo, Hendro, hingga Franki Raden dan tamu beragam negara di selasar Soenaryo, bicara tentang dunia digital Indonesia yang penuh konsumtif terbesar dunia, tetapi massal dan banal, kehilangan ekspresi individu yang menjadi ciri kemanusiaan.

Pada karya mereka, saya merasakan: ”Rasa lapar pada kemanusiaan”. Terima kasih, sahabat-sahabat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar