Rabu, 31 Desember 2014

Saat AS Diguncang Protes Rasial

Laporan Akhir Tahun

Saat AS Diguncang Protes Rasial

KOMPAS, 29 Desember 2014

                                                                                                                       


SEORANG pria kulit hitam tampak berbicara dengan polisi. Sesaat kemudian polisi, dibantu rekan-rekannya, memiting leher pria itu hingga terjatuh di trotoar. Pria bertubuh tinggi besar itu berupaya memberontak, tetapi tak berdaya.
Badannya tertelungkup, kepalanya ditekan. Teriakannya, ”Saya tak bisa bernapas, saya tak bisa bernapas”, yang terdengar dalam video, terlihat tak digubris.

Penangkapan Eric Garner, pria kulit hitam itu, ditayangkan berulang-ulang di televisi dan membangkitkan kemarahan masyarakat Amerika Serikat. Puncaknya terjadi setelah juri utama pada 5 Desember menyatakan tak ada tuduhan pembunuhan terhadap polisi yang menangkap Garner.

Sontak masyarakat menggelar protes. Awalnya protes terjadi di New York, tempat Garner ditangkap gara-gara dituduh menjual rokok secara ilegal. Ribuan warga membanjiri pusat kota New York dan menyampaikan kekecewaan pada keputusan juri utama. Mereka berbaring di jalan-jalan utama, menjajarkan peti mati, dan meneriakkan yel- yel menirukan ucapan Garner sebelum meninggal, ”Saya tak bisa bernapas, saya tak bisa bernapas.”

Aksi itu meluas ke kota-kota lain, seperti Washington, Chicago, dan California. Sebagian mengambil cara damai. Namun, di tempat tertentu, seperti Berkeley, terjadi unjuk rasa yang berujung kekerasan. Lebih dari 200 orang ditahan.

Bagi AS, kerusuhan yang dipicu isu bernuansa rasial bukan barang baru. Hanya beberapa pekan sebelumnya, kerusuhan dan penjarahan terjadi di Ferguson, Missouri. Masyarakat yang marah merusak dan membakar toko setelah menjarah isinya. Kerusuhan terjadi karena juri membebaskan polisi kulit putih yang menembak Michael Brown (19) pada 9 Agustus lalu.

Prasangka masyarakat kian kuat karena insiden di New York dan Ferguson ini bukan satu-dua kali terjadi. Di tengah hangatnya protes yang meluas atas kematian Garner dan Brown, terjadi penembakan di Phoenix, Arizona, 5 Desember. Lagi-lagi korbannya pria kulit hitam, Rumain Brisbon (34).

Polisi yang menggelar operasi narkoba mengaku mengira Brisbon membawa senjata di sakunya. Padahal, pria ini tidak membawa senjata dan polisi hanya menemukan pil dalam saku celana Brisbon.

”Ini tragedi tanpa perasaan. Dia (Brisbon) tak bersenjata dan tidak mengancam siapa pun. Kami ingin penyelidikan hukum secara menyeluruh,” kata pengacara keluarga korban.

Ketika isu ini masih hangat, tiba-tiba saja tanpa didahului peringatan, Sabtu dini hari lalu, seorang pria kulit hitam dengan dingin menembak dua polisi yang sedang berpatroli di Brooklyn, New York. Polisi menduga kuat penembakan ini adalah balas dendam pelaku, Ismaaiyl Brinsley, atas kematian Eric Garner dan warga kulit hitam lain di tangan polisi. Indikasi ini didapat dari pernyataan pelaku dalam akun Instagram. ”Mereka mengambil dua dari kita... mari kita ambil dua,” tulis Brinsley.

Isu yang berulang

Jika dirunut ke belakang, terdapat banyak peristiwa yang menempatkan warga kulit putih berhadapan dengan kulit hitam dan berbuntut kerusuhan. Pada 1996, misalnya, terjadi kerusuhan di Florida akibat juri menyatakan polisi yang menembak Tyron Lewis dalam sebuah operasi lalu lintas tak bisa dituntut. Kerusuhan dengan alasan serupa terjadi di Cincinnati, Ohio, April 2001.

Media Amerika memberikan porsi cukup banyak dan lama pada peristiwa kematian warga kulit hitam oleh polisi kulit putih, berikut berbagai reaksi yang mengikutinya. Perdebatan tentang perlakuan aparat kepada masyarakat minoritas, khususnya warga kulit hitam, kembali ramai. Media sosial ikut berperan mengangkat isu.

”Terjadi pertemuan antara media sosial dan kekejaman,” kata Sharon Gordon, pengunjuk rasa di New York. ”Saya percaya untuk pertama kalinya kita akan mengalami perubahan,” katanya.

Presiden AS Barack Obama mengatakan, apa pun aksi warga AS sesungguhnya diperlukan, sepanjang hal itu dilakukan dengan damai. ”Kalau berubah menjadi kerusuhan malah tidak produktif,” kata presiden pertama AS yang berkulit hitam.

Menurut Obama, perubahan memerlukan waktu. Apa yang tengah dihadapi AS adalah masalah penting. Dia menggarisbawahi tingginya kecurigaan warga terhadap polisi kulit putih.

Obama, awal Desember, mengajukan anggaran 263 juta dollar AS khusus untuk mencegah terulangnya penganiayaan oleh polisi. Sebagian anggaran diusulkan untuk membeli 50.000 kamera kecil yang akan ditempelkan pada seragam polisi yang bertugas. Sisanya diperuntukkan membentuk gugus tugas yang akan menjembatani hubungan masyarakat umum dengan warga minoritas.

Jaksa Agung AS Eric Holder mengeluarkan ketentuan baru yang intinya melarang pemeriksaan identitas berdasarkan ras, agama, jender, dan orientasi seksual. Razia mendadak yang sering dilakukan, menurut Holder, tidak hanya keliru, tetapi juga salah langkah dan tidak efektif. Ia berjanji akan mengusut tuntas kematian Garner dan Brown.

Dari kepolisian, Kepala Polisi New York William Bratton menyatakan akan memperbaiki institusi yang dipimpinnya. Polisi diminta tak melakukan kekerasan saat menangkap tersangka. Bratton juga berjanji memperbaiki hubungan yang terkoyak antara warga mayoritas dan minoritas yang miskin.

Publik kini menunggu hasilnya kendati mungkin dengan perasaan berkecamuk curiga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar