Rabu, 31 Desember 2014

Saat Mengejar Tanggungjawab Rakyat

CATATAN DARI ISTANA

Saat Mengejar Tanggungjawab Rakyat

Wahyu Haryo dan Suhartono   ;   Wartawan Kompas

KOMPAS, 29 Desember 2014

                                                                                                                       


TIDAK mudah jalan yang ditempuh Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla memimpin negeri ini. Tak hanya saat bertarung dalam pemilu presiden dan wapres, tetapi juga setelah diumumkan sebagai pemenang oleh Komisi Pemilihan Umum. Jokowi-Kalla yang disokong kekuatan rakyat dengan atribut relawan harus menunggu putusan Mahkamah Konstitusi untuk memperkuat kemenangan itu.

Meskipun sudah dilantik MPR, Jokowi-Kalla masih harus melalui jalan berliku. Mengantongi 53,15 persen suara atau 70,9 juta suara pemilih dari total 134,9 juta suara tak cukup bagi pemerintahan Jokowi-Kalla melenggang. Berbagai rintangan terus menghadang, mulai dari partai-partai oposisi dari Koalisi Merah Putih yang mendominasi parlemen hingga posisi Jokowi-Kalla yang bukan elite partai di Koalisi Indonesia Hebat.

Meski demikian, saat harus memilih 43 menteri kabinet, Jokowi-Kalla juga tak harus meninggalkan dukungan rakyat. Di balik keharusan mengakomodasi kepentingan partai, kelompok pendukung, dan relawan di belakangnya, Jokowi-Kalla cukup cerdik. Sejumlah kelompok dilibatkan untuk menjaring awal nama calon menteri terbaik, punya integritas dan komitmen kerakyatan. Dari jumlah ribuan orang, selanjutnya terseleksi ratusan dan akhirnya menyusut tinggal puluhan orang.

Jokowi-Kalla juga mensyaratkan menteri tak lagi merangkap jabatan struktural partai dan institusi. Bahkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dilibatkan agar tak ada sosok yang terlibat dan terindikasi korupsi dan pelanggaran HAM. Akibatnya, calon menteri yang ditopang elite partai tergusur. Namun, sejauh mana hasil KPK dan PPATK benar-benar menyaring sosok menteri, tak ada yang tahu, termasuk Kalla.

”Sampai sekarang, saya tidak tahu hasil KPK dan PPATK seperti apa. Biarlah, itu, kan, hak prerogatif Presiden. Namun, yang kami sepakati, calon itu harus bersih dan punya integritas, selain mewakili daerah, jender, dan agama,” kata Kalla setelah terbentuknya kabinet. Jokowi pun hingga kini seperti tak mau menanggapi.

Yang jelas, Jokowi menjadikan ”tameng” KPK dan PPATK dari parpol dan kepentingan lain, termasuk Kalla. Sebab, calon-calon kuat Kalla pun tergusur, seperti Hamid Awaluddin. Dengan dasar klarifikasi KPK dan PPATK, Jokowi memilih Kabinet Kerja yang dianggap bersih dan berintegritas. Harapan yang demikian besar dari rakyat terhadap kabinetnya menjadi taruhan Jokowi mempertanggungjawabkan dukungan rakyat. Partisipasi masyarakat saat penjaringan awal jadi sebuah dukungan dan kepercayaan yang diyakini tak akan bisa dibendung saat memimpin.

Setelah terpilih, beberapa sosok dinilai kurang tepat di bidangnya, berbau kepentingan politik, bahkan dituding bermasalah. Jokowi-Kalla tak menggubrisnya meski dikritik. Kritik itu dianggap angin lalu karena keyakinan mereka pada partisipasi dan dukungan rakyat.

Butuh waktu

Kini, Kabinet Kerja sudah diumumkan. Slogan kerja, kerja, dan kerja dicanangkan. Baju putih yang digulung sudah dipakai. Pakaian batik yang identik dengan kesederhanaan juga sudah dibiasakan untuk acara formal kenegaraan, termasuk ke luar negeri, kecuali ke negeri yang dilanda dingin, seperti Korea Selatan. Efektivitas dan efisiensi birokrasi serta penghematan anggaran dijalankan. Namun, bukti harus diwujudkan dan bukan hanya instruksi.

Blusukan ke sejumlah pelosok daerah yang tercatat lebih dari 15 kali sejak dua bulan memimpin terus menjadi pertanyaan. Apakah itu memberikan hasil ataukah sekadar pencitraan. Rakyat bisa menerima Kartu Indonesia Pintar dan Indonesia Sehat, ditambah Program Sosial Keluarga Sejahtera yang mau tak mau serupa dengan program pemerintah sebelumnya, hanya beda jumlah dan cakupannya.

Perbaikan postur APBN akibat membengkaknya subsidi dengan mengalihkan subsidi sektor konsumtif ke produktif sudah mulai diterima meski awalnya berdampak pada kenaikan harga kebutuhan pokok dan transportasi yang membuat Jokowi-Kalla tak populer. Akan tetapi, karena keberanian Jokowi, yang didampingi Kalla dan menterinya, mengumumkan langsung di Istana Merdeka, akhirnya rakyat bisa menerima. Rakyat paham, dana hasil pengalihan memberi ruang fiskal yang ujung-ujungnya benar-benar untuk kesejahteraan rakyat lewat kesehatan, pendidikan, pembangunan infrastruktur, dan program sosial.

Apalagi saat penegakan hukum di laut dan pengamanan sumber daya, pemerintah lugas mengejar, menangkap, dan menenggelamkan kapal-kapal pencuri ikan asing sehingga ada harapan baru dari nelayan untuk masa depannya. Harapan nelayan juga membubung tak hanya saat Satuan Tugas Pemberantasan Illegal Fishing dibentuk, tetapi juga ketika Badan Keamanan Laut diwujudkan.

Di sektor pertanian, petani juga memiliki harapan besar karena selain infrastruktur irigasi rusak bertahap diperbaiki, distribusi pupuk dan pengadaan benih dibenahi, tenaga penyuluh pun ditambah. Demikian pula di sektor energi serta minyak dan gas ketika Tim Reformasi Tata Kelola Migas mulai membongkar permainan dan mafia impor minyak seraya memberi alternatif bahan bakar minyak yang tak mesti harus disubsidi.

Untuk mengimbangi pembebasan bersyarat Pollycarpus Budihari Priyanto yang kontroversial karena terkait tewasnya aktivis HAM Munir, Jokowi-Kalla menolak grasi terpidana mati narkoba dan memberi grasi aktivis agraria Eva Bande.

Optimisme Jokowi terlihat saat peringatan Hari Anti Korupsi Internasional di Yogyakarta, belum lama ini. ”Yang dikejar saat ini kepercayaan rakyat. Pemerintah harus memberikan kebijakan terbaiknya. Membangun kepercayaan perlu waktu. Namun, kalau (kepercayaan rakyat) itu dikejar, kemakmuran dan kesejahteraan bisa segera diraih,” tuturnya. Terwujudkah?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar