Senin, 29 Desember 2014

Sepuluh Tahun Tsunami : Kami Akan Selalu Mengenangnya

Sepuluh Tahun Tsunami :

Kami Akan Selalu Mengenangnya

Moazzam Malik  ;   Duta Besar Inggris untuk Indonesia
KORAN SINDO,  27 Desember 2014

                                                                                                                       


Tak terasa 10 tahun telah berlalu. Minggu pagi kelabu 26 Desember 2004 akan selalu dikenang oleh dunia. Hantaman gelombang Tsunami yang meluluhlantakkan Provinsi Aceh menggemparkan masyarakat internasional, tak terkecuali kami yang tinggal di Inggris.

Masih tergambar dengan jelas melalui liputan dan pemberitaan media tentang kondisi Aceh beberapa jam pascatsunami. Ratusan ribu korban jiwa berjatuhan, infrastruktur yang hancur sama rata dengan tanah, harta benda dan mata pencaharian yang punah-sungguh sebuah pemandangan yang memilukan! Siapa pun akan meneteskan air mata melihat, mendengar dan mengamati bagaimana terjangan gelombang tsunami memorak-porandakan provinsi yang terletak di bagian barat Indonesia itu.

Bantuan pun tiba. Dunia bersatu bahu-membahu membantu melewati masa tersulit yang dihadapi saudara-saudara kami di Aceh. Segera setelah akses dibuka untuk masyarakat internasional, Inggris mengirimkan tim tanggap darurat tiga hari setelah tsunami menghantam bumi Nanggroe. Total 13 pesawat dikerahkan Inggris untuk membawa bantuan vital yang mendesak ke Indonesia.

Jumlah bantuan 55 juta poundsterling dialokasikan untuk usaha tanggap darurat di Aceh melalui Departemen Pembangunan Internasional (DFID) yang mewakili Pemerintah Inggris dalam memimpin operasi ini. Setelah itu Inggris kembali menyetujui pendanaan lebih lanjut sebesar 59,2 juta poundsterling untuk proses rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh.

Tiga area yang kami fokuskan saat itu termasuk mata pencarian, manajemen keuangan, serta resolusi konflik. Bantuan kami disalurkan untuk sektor-sektor penting seperti persediaan makanan, pelayanan penyiaran, dan membangun perumahan baru bagi mereka yang kehilangan tempat tinggal.

Pendanaan tersebut juga dialokasikan untuk membantu pembangunan berbasis komunitas, pelayanan kesehatan mental dan menyediakan pembangunan kapasitas bagi sistem peradilan yang berhubungan dengan pelayanan perlindungan anak. Sejumlah menteri dan pejabat pemerintahan Inggris yang terlibat dalam program bantuan tsunami satu-persatu datang mengunjungi Aceh.

Mereka datang untuk memberikan bantuan moral dan mengevaluasi efektivitas dana bantuan yang dikucurkan, memastikan masyarakat Aceh mendapatkan bantuan yang sesuai guna memperbaiki kehidupannya pasca tsunami. Hampir sepuluh tahun yang lalu, saya yang menjabat sebagai Sekretaris Pribadi Bapak Hilary Benn, Menteri Pembangunan Internasional Inggris saat itu, menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di tanah Aceh.

Kami tiba di Aceh dengan pesawat militer Inggris membawa bantuan keperluan mendesak yang akan digunakan dan dibagikan oleh PBB. Kami mengunjung i area-area yang terkena dampak tsunami dan berbicara dengan para korban serta perwakilan-perwakilan PBB dan DFID di lapangan. Kami sering mengunjungi daerah-daerah yang terkena bencana dan melihat kehancuran.

Namun yang terjadi di Aceh sungguh mengejutkan, semua infrastruktur porak-poranda dan yang tersisa hanya puing-puing berserakan, menunjukkan betapa dahsyatnya hantaman tsunami. Dari Banda Aceh kami bertolak ke Medan dan bertemu dengan tim DFID Inggris dan mendiskusikan langkahlangkah selanjutnya serta menjadikan Medan sebagai pusat kendali operasi bantuan tsunami dari Inggris.

Proses rekonstruksi pun dimulai. Namun, masyarakat Aceh sadar bahwa situasi yang kondusif diperlukan guna kelancaran proses rekonstruksi pascatsunami dan konflik berkepanjangan di Aceh harus dihentikan, untuk sekarang dan selamanya. Selama kurang lebih tiga puluh tahun masyarakat Aceh hidup dalam ketakutan dan ketidaknyamanan.

Bencana tsunami semakin memperburuk kondisi kehidupan akan tetapi malapetaka ini juga menjadi pendorong kuat untuk menciptakan perdamaian. Inggris yang saat itu menjadi Presiden Uni Eropa kembali terlibat dalam proses perdamaian Aceh. Misi Pemantauan Aceh (Aceh Monitoring Mission) yang diprakarsai oleh Uni Eropa dan ASEAN dikirim ke Aceh sebagai mediator perjanjian perdamaian antara Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka.

Proses rekonstruksi pascatsunami dan rekonsiliasi antara kedua kubu yang bertikai berjalan beriringan, dengan berbagai pihak terlibat di dalamnya, bekerja sama, bernegosiasi dan mencari jalan yang terbaik dan mengedepankan persatuan dan kesatuan. Proses yang tidak mudah untuk dilalui tetapi sepadan dengan apa yang seharusnya dinikmati oleh masyarakat Aceh yaitu perdamaian dan kesejahteraan yang abadi.

Inilah yang diharapkan oleh seluruh pihak yang terlibat dalam proses perdamaian. Sepuluh tahun bagaikan sekejap mata namun dalam kurun waktu tersebut masyarakat Aceh semakin kuat berdiri, melewati trauma tsunami dan kekejaman konflik dengan hati yang lebih terbuka dalam kondisi damai serta berpartisipasi dalam pembangunan menuju Aceh yang adil dan makmur. Dunia tidak akan pernah lupa dengan Nanggroe Aceh Darussalam. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar