Rabu, 31 Desember 2014

Tahun Arogansi Politik

Tahun Arogansi Politik

Sukardi Rinakit   ;   Chairman Soegeng Sarjadi Syndicate

KOMPAS, 30 Desember 2014

                                                                                                                       


MALAM itu, ketika kami berdiri di depan sebuah hotel, Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan versi Muktamar Surabaya, Romahurmuziy, berkata bahwa para senior yang tak mau melepaskan kepemimpinan partai kepada generasi muda, dalam hal ini kubu Suryadharma Ali, pada akhirnya akan malu di depan publik.

”Menang ora kondang, kalah ngisin-ngisini (menang tidak terkenal, kalau kalah, malunya enggak ketolongan),” katanya.

Penulis tertawa mendengar itu. Tidak saja sudah lama tidak mendengar kata-kata mutiara tersebut, tetapi membenarkan pandangan tokoh muda PPP itu. Konflik internal di tubuh PPP telah ikut menebarkan pesimisme di tengah masyarakat bahwa partai politik tidak lebih dari sekadar perusahaan pribadi para pemimpinnya yang memberikan keuntungan pasti, yaitu hak-hak istimewa politik dan ekonomi.

Tidak mengherankan jika mereka enggan melepaskan kepemimpinan di tubuh partai. Mereka abai pada cita-cita bahwa berpartai adalah bekerja dengan hati untuk mewujudkan mimpi bersama membangun masyarakat adil dan makmur.

Sikap mereka yang ingin terus menguasai partai, jika tak boleh disebut mengangkangi, membuat karakter mereka terkesan arogan. Mungkin benar pandangan Daoed Joesoef (Kompas, 26/12) bahwa mereka telah terserang virus fulus secara akut sehingga nilai-nilai keutamaan dan kepemimpinannya hancur.

Selain PPP, konflik di tubuh Partai Golkar juga menyiratkan arogansi politik yang berkembang di partai beringin itu. Terpilihnya Aburizal Bakrie dalam musyawarah nasional di Bali secara aklamasi memicu keraguan masyarakat pada keabsahan kepemimpinannya.

Ini berkaitan dengan ”hilangnya” beberapa calon ketua umum, seperti Agung Laksono, Priyo Budi Santoso, dan Agus Gumiwang Kartasasmita, di Munas Bali. Apa pun alasannya, fakta itu mendelegitimasi hasil munas tersebut, dan sebaliknya, menggambarkan praktik arogansi politik.

Sehubungan dengan hal itu, apabila berita di media massa dianggap sebagai representasi masyarakat, Munas Ancol yang diselenggarakan kubu Agung Laksono lebih mendapatkan dukungan publik. Penyelenggaraannya yang demokratis menjadi kunci utama bahwa mereka tidak arogan dan melakukan kontestasi secara terbuka dan akuntabel.

Secara umum, saya ingin mengatakan bahwa 2014 merupakan tahun yang diwarnai dengan banyaknya perilaku arogansi di ranah politik. Bukan saja arogansi yang terjadi di tubuh PPP dan Golkar, melainkan juga di parlemen.

Penetapan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) beberapa hari sebelum pemilu legislatif dan tekanan agar pemilihan umum kepada daerah tidak dilakukan secara langsung merupakan praksis arogansi politik. Di luar itu, pernyataan awal Koalisi Merah Putih yang tidak mau menerima hasil pemilu presiden dan berkehendak melawan terus-menerus juga merupakan anggota himpunan arogansi politik.

Empat alasan

Sekurangnya ada empat alasan terjadinya arogansi politik. Pertama, berkaitan dengan berlakunya konglomerasi politik. Secara umum, partai politik di Tanah Air saat ini dikuasai para saudagar. Sistem pemilihan langsung yang membutuhkan banyak biaya membuat partai kehilangan ruang gerak idealismenya dan terjebak pada pragmatisme.

Dalam situasi seperti itu, para saudagar yang menguasai dana mencukupi lebih mudah masuk ke dalam lingkaran inti partai, bahkan langsung dipilih menjadi ketua umum. Ketika situasi tersebut terjadi, partai otomatis kehilangan nyawa perjuangan dan kemanusiaannya. Dia berubah menjadi sekadar alat politik yang bekerja demi kepentingan ketua umum dan para letnannya.

Kedua, berkaitan dengan patronase politik. Setelah partai berada di satu tangan, yaitu pengusaha yang politisi, kultur patronase secara otomatis berkembang. Ketergantungan pada dana dan restu politik dari ketua umum membuat kamar kelahiran politisi muda yang visioner terkunci.

Tidak mengherankan jika pada era Indonesia yang demokratis seperti sekarang belum lahir politisi dan pemimpin sekaliber Bung Karno muda, Bung Hatta muda, dan Bung Sjahrir muda. Ini disebabkan pendidikan dan pengaderan politik yang selama ini tidak berjalan.

Faktor ketiga dari terjadinya arogansi politik adalah penguasaan sumber daya politik. Politisi yang miskin nilai-nilai keutamaan berbangsa-bernegara, tetapi kaya uang cenderung memandang bahwa setiap kepala ada harganya. Tidak ada yang tidak bisa dibeli di bawah sinar matahari, baik itu media, jaringan dukungan, maupun suara rakyat.

Mereka juga mudah terjebak pada keglamoran iklan dan menganggap bahwa dengan iklan yang masif, semua dukungan politik otomatis sudah di tangan. Mereka terlalu percaya diri dan arogan.

Terakhir, arogansi politik disebabkan dukungan populi. Perolehan suara yang meningkat drastis dalam pemilu legislatif, antusiasme partai yang mengajak koalisi, dan hasil pemilu presiden yang berselisih tipis memicu darah arogansi bergolak.

Mereka percaya dukungan rakyat begitu dahsyat, apalagi disertai hiruk-pikuk yel-yel. Mereka tidak pernah berpikir bahwa itu bukanlah dukungan loyal, melainkan hanya pilihan politik sesaat mengikuti perilaku kerumunan.

Berkaca dari itu semua, arogansi politik memang tidak layak diteruskan. Karena, seperti kata Romahurmuziy, kalau menang ora kondang, kalah ngisin-ngisini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar