Kamis, 25 Desember 2014

Ubah Transformasi Arah Geopolitik Asia

Ubah Transformasi Arah Geopolitik Asia

Rene L Pattiradjawane  ;  Wartawan Senior Kompas
KOMPAS,  24 Desember 2014

                                                                                                                       


DALAM kurun lima tahun mendatang, kita tidak akan melihat ”kebangkitan Tiongkok yang damai” seperti pada awal abad ke-21. Selama lebih dari 35 tahun pengembangan teknologi dan 20 tahun peningkatan anggaran belanja pertahanan, kemampuan modernisasi maritim Tiongkok mulai menunjukkan perpecahan geopolitik Asia, memicu secara cepat persaingan yang disebut Tiongkok sebagai guojian xinxing daguo guanxi (bentuk baru hubungan negara-negara besar).

Gagasan rumusan para akademisi dan pemikir RRT tentang bentuk baru ini mengacu pada penataan hubungan bilateralnya dengan AS sebagai kekuatan dominan yang selama ini menyediakan payung keamanan kawasan Asia. Di sisi lain, konsep negara besar ini telah mengaburkan lingkup geopolitik Asia dan condong meningkatkan persaingan di kawasan.

Di sisi lain, pernyataan Panglima TNI Jenderal Moeldoko pekan ini tentang TNI menjadi ”Big Brother” di ASEAN adalah pernyataan tidak cerdas dalam membaca realita perubahan real politik Asia serta dampak masif atas perubahan geopolitik kawasan secara menyeluruh. Ketidakcerdasan ini setidaknya bertentangan dengan beberapa kenyataan. Pertama, globalisasi Asia menghadirkan distopia elemen-elemen geopolitik perubahan yang sangat cepat (lihat kolom ini, Kompas, 25/8).

Kedua, terintegrasinya Asia Tenggara ”merupakan benteng dan pangkalan yang paling kuat” menghadapi pengaruh dan intervensi luar kawasan seperti visi Jenderal Besar Soeharto dalam pidatonya 16 Agustus 1966, dan ini tidak berubah. Ketiga, politik bebas aktif kebijakan luar negeri RI mengharuskan terciptanya suasana kondusif digelarnya kerja sama secara maksimum, termasuk kerja sama militer dan pertahanan.

Keempat, sentralitas dalam konektivitas kemaritiman Nusantara merupakan pilihan kemandirian strategis Presiden Joko Widodo dalam politik Poros Maritim Dunia. Kemandirian strategis harus menjadi jangkar dalam kesetimbangan struktur kekuatan di kawasan, termasuk mengantisipasi perubahan hubungan negara besar, seperti Tiongkok dan Amerika Serikat.

Strategi kepentingan nasional banyak negara Asia dan geopolitik kawasan tahun 2015 berubah drastis karena beberapa faktor. Pertama, arsitektur keamanan Asia akan mencari bentuk baru dalam gagasan berbagai aliansi ekonomi dan militer.

Kembalinya kekuatan politik dalam negeri PM Shinzo Abe akan terus mendorong konsep Kontribusi Proaktif bagi Perdamaian dan berhadapan dengan Yazhou Xin Anquan Guan (Konsep Keamanan Baru Asia) gagasan Presiden Xi Jinping.

Kedua, nilai dan norma hukum internasional mencapai momentum dasar proyeksi klaim kedaulatan negara Asia, terutama klaim tumpang tindih di Laut Tiongkok Selatan. Arbitrase Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut (ITLOS) akan mentransformasi hubungan geopolitik kebekuan hubungan Tiongkok dan negara-negara Asia atas klaim kedaulatannya.

Ketiga, perubahan geopolitik akan mendorong aliansi ekonomi dan militer menuju kesetimbangan dinamis dalam interdepedensi corak baru perebutan lingkup pengaruh, berpotensi menihilkan eksistensi stabilitas kawasan. Dalam konteks ini, Indonesia harus merefleksikan kepemimpinan kuat menjalankan kohesi ASEAN bukan sebagai ”Big Brother”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar