Kamis, 29 Januari 2015

Berani Berjuang, Berani Menang! Belajar dari Kemenangan Elektoral Partai Kiri Radikal Syriza di Yunani

Berani Berjuang, Berani Menang! Belajar dari Kemenangan Elektoral Partai Kiri Radikal Syriza

di Yunani

Muhammad Ridha  ;  Anggota Partai Rakyat Pekerja (PRP)
INDOPROGRESS, 28 Januari 2015

                                                                                                                                     
                                                

PADA hari Minggu kemarin, 25 Januari 2015, rakyat Yunani melakukan Pemilu untuk menentukan siapa yang harus memegang tampuk kekuasaan nasional. Pemilu ini begitu menarik untuk diperhatikan secara seksama, karena untuk pertama kali kekuatan politik kiri (radikal, ya radikal kawan-kawan) berpeluang besar untuk membangun pemerintahan nasional di Yunani. Sampai dengan tulisan ini dibuat, exit polls pemilu setidaknya telah menunjukan bahwa Syriza memperoleh lebih dari 36 persen suara dari 76 persen pemilih. Suatu prosentase yang sangat besar jika kita menilik bagaimana kecenderungan partai-partai kiri baru di pemilu Eropa yang cenderung selalu menjadi minoritas.

Harus diakui bahwa Syriza sebenarnya sangat terinspirasi oleh gelombang gerakan ‘Sosialisme Abad 21’ di tanah Bolivarian Amerika Latin. Namun kita tidak dapat mengabaikan capaian historis dari Syriza itu sendiri. Kemenangan Syriza, tepat berada di jantung terdalam kapitalisme global, yakni di Eropa. Artikulasi politik Syriza juga meresonansikan perlawanan popular rakyat yang terjadi secara mengglobal pasca krisis 2008, yang ditandai dengan perlawanan lapangan Tahrir di Mesir beserta “musim Semi Arab’-nya; Occupy Wall Street sampai dengan perlawanan rakyat Turki di Taman Gezi. Syriza adalah salah satu elemen aktif yang ikut serta dalam gerakan lapangan Syntagma, yang secara lantang menyerukan perlawanan sengit terhadap kediktatoran troika (Bank Sentral Uni Eropa, IMF, dan Komisi Uni Eropa) yang telah mengantarkan implementasi kebijakan pengetatan (austerity) melalui utang. Utang dari Troika ini sendiri adalah bagian dari agenda neoliberalisme yang telah menyebabkan Negara Yunani kehilangan kapasitasnya untuk menyediakan kebutuhan sosial mendasar bagi warga negaranya.

Memunculkan Syriza, bagi saya pribadi, adalah merevitalisasi kembali makna ‘harapan’ (hope) yang selalu menjadi komodititas politik yang hidup dalam rangka mobilisasi suara mendukung kepentingan kelas yang berkuasa dalam setiap momen elektoral. Kita mungkin tidak akan lupa bagaimana figur seperti Obama di AS dan juga (bahkan!) Jokowi di Indonesia, yang memanipulasi kosakata ‘harapan’ sebagai instrumen penarik rakyat yang selama ini selalu dipinggirkan dan dilemahkan dalam proses politik yang ada. Syriza berada di tingkat yang lain, karena ia bukanlah figur personal melainkan sebuah ekspresi politik dari gerakan rakyat melawan neoliberalisme. Disinilah kita menemukan ‘harapan’ yang sepenuhnya berbeda, karena melalui Syriza kita pada dasarnya tengah berharap terhadap mereka yang berlawan dan berjuang untuk memenuhi dan menggenapi harapan mereka sendiri. Suatu hal yang sepenuhnya asing dengan ‘harapan palsu’ ala Obama dan (sekali lagi) Jokowi, yang pada dasarnya menitipkan harapan ke figur tanpa menjamin apapun mengenai penguatan kapasitas politik rakyat. Disinilah Syriza menjadi simbol kemenangan dan perubahan yang riil dari rakyat.

Siapa Syriza?

Kemunculan Syriza (Συνασπισμός Ριζοσπαστικής Αριστεράς, Synaspismós Rizospastikís Aristerás, Koalisi Kiri Radikal) diawali sebagai inisiatif front kiri luas yang ada di Yunani. keberadaan front luas ini tidak dapat dilepaskan dari konfigurasi kiri yang rumit di Yunani itu sendiri. Semenjak tahun 1968, kiri Yunani terbagi dalam dua kutub. Kutub yang pertama berasal dari Partai Komunis Yunani (Κομμουνιστικό Κόμμα Ελλάδας, Kommounistikó Kómma Elládas, KKE), yang mengalami dua perpecahan besar: yang pertama pada tahun 1968 pada masa kediktatoran militer, yang menyebabkan berdirinya Partai Komunis Yunani (Interior), yang memiliki tendensi eurocommunism. Perpecahan yang kedua terjadi pada tahun 1991 setelah keruntuhan Soviet.

Syriza sendiri berada dalam gerakan kiri kutub kedua. Kutub ini merupakan hasil dari perpecahan yang terjadi dalam Partai Komunis Yunani (Interior) yang terjadi pada tahun 1987. Pecahan sayap kanan membentuk Synaspismos –yang artinya Koalisi Kiri dan Kemajuan dan kemudian berganti nama menjadi Koalisi Kiri dan Gerakan- pada tahun 1991. Sedang yang sayap kiri membentuk Kiri Komunis Ekologis Pembaruan (Ανανεωτική Κομμουνιστική Οικολογική Αριστερά, AKOA). Synaspismos menjadi elemen yang keanggotaannya paling banyak mengisi tubuh politik Syriza. Alexis Tsipras, yang merupakan pemimpin utama dari Syriza, berasal dari formasi Synaspismos.

Walau begitu, setidaknya terdapat 13 organisasi kiri yang menjadi penyusun Syiriza selain Synaspismos. Misalnya Organisasi Komunis Yunani (Κομμουνιστική Οργάνωση Ελλάδας, Kommounistikí Orgánosi Elládas, KOE) yang merupakan salah satu organisasi Maois terbesar di Yunani; terdapat pula Pekerja Kiri Internasionalis (Internationalist Worker Tendency, Διεθνιστική Εργατική Αριστερά, DEA) yang berasal dari tradisi Trotskyis. Sebagai front politik elektoral yang berdiri pada 2004, awal mula keterlibatan Syriza dalam pemilu Yunani dapat dikatakan cukup sukses. Mereka mampu melampaui batas parlemen (parliamentary threshold) 3 persen dan mendapatkan kursi di sana.

Yang menarik untuk diperhatikan adalah bagaimana kompleksitas serta diversitas tendensi kiri dalam Syriza menciptakan kuatnya perjuangan internal. Tendensi kiri (revolusioner) dan kanan (reformis) menciptakan dinamika demokratis yang penting bagi Syriza sebagai organisasi. Walau begitu, pertarungan internal justru memungkinkan untuk memenangkan tendensi kiri secara lebih hegemonik dalam tubuh Syriza. Sebagai contoh, walau Synaspismos berawal dari tendensi sayap kanan eurocommunism, namun semenjak berdirinya Syriza kepemimpinan Synaspismos dipaksa untuk mengadopsi banyak program kiri revolusioner semasa pembentukan awal agenda politiknya (Budgen and Kouvelakis, 2015). Sayap kanan Synaspismos kehilangan kendali dalam partai pada tahun 2006. Hal ini tentu saja menjadi inspirasi yang krusial bagi kita dalam memahami pentingnya pertarungan demokratis bagi pemenangan agenda politik revolusioner.

Tidak heran jika Syriza masih memegang teguh garis politik anti-kapitalis. Garis inilah yang membedakan Syriza dirinya dengan partai sosial demokrasi seperti PASOK, yang sempat menjadi ekspresi dari politik kiri (tengah) yang dominan di Yunani. Syriza juga secara sadar mengakui bahwa mereka adalah formasi kiri Yunani kontemporer yang merepresentasikan partai perjuangan kelas. Garis politik inilah yang membuat Syriza mudah membangun relasi dengan gerakan sosial yang ada. (Budgen and Kouvelakis, 2015) menyebutkan ada dua tingkatan yang membuat Syriza mampu membangun relasi organik dengan gerakan sosial: pertama, karena begitu dinamisnya sayap pemuda Syriza membuat mereka mampu berhubungan gerakan anti-globalisasi dan anti rasis. Hal ini menyebabkan Syriza sanggup membangun pengaruh di kalangan muda, khususnya di kalangan mahasiswa dan pelajar. Karakter gerakan muda Syriza ini banyak dipengaruhi oleh ideologi radikalisme, dan mayoritas mereka mengidentifikasikan diri dengan Marxisme, khususnya aliran Althusserianisme. Sedang yang kedua, peranan penting dari gerakan buruh yang mempengaruhi dinamika Synaspismos pada tahun 2000an, menjadi jangkar bagi sayap kiri partai. Walau banyak yang berasal dari KKE (Partai Komunis Yunani), sayap kiri ini memiliki elemen kelas pekerja yang secara relatif memiliki posisi perjuangan kelas dan sangat kritis terhadap Uni Eropa.

Kedekatan Syriza dengan gerakan sosial memegang kunci bagi keberhasilan Syriza dalam mengintervensi politik elektoral Yunani. Pada pemilu 2009, Syriza hanya mampu untuk mendapatkan 5.04 persen dari total suara pemilu legislatif. Akan tetapi keterlibatan aktif mereka dalam gerakan lapangan Syntagma menjadi titik kebangkitan yang penting bagi penancapan pengaruh Syriza dalam gerakan kelas pekerja yang sedang berlawan terhadap kapitalisme Yunani yang pada saat itu tengah dilanda krisis. Dalam momen inilah, Syriza menjadi artikulasi politik kelas pekerja Yunani. Hal ini kemudian berimplikasi pada meroketnya suara Syriza pada pemilu 2012, dimana mereka mampu meraih 16,8 persen dari total suara pemilih. Hal ini tentu saja menjadi kejutan bagi lanskap politik Yunani, dimana ekspresi perlawanan gerakan sosial tengah mendapatkan tempatnya dalam politik elektoral melalui Syriza.

Karena kebutuhan konsolidasi serta penguatan internal Syriza untuk memastikan kemenangan politik elektoral gerakan sosial, maka pada 2013 seluruh elemen kiri Syriza bersepakat untuk mempermanenkan front luas yang ada menjadi satu kesatuan partai politik. Akan tetapi proses penyatuan ini bukannya tanpa pertarungan yang rumit. Kecenderungan politik ideologis yang faksional harus tetap diperhatikan dalam proses penyatuan. Disinilah kemudian proses penyatuan juga menyediakan ruang bagi pembentukan faksi-faksi ideologis yang dimungkinkan untuk bertarung dalam ruang demokratis internal Syriza. Setidaknya ada tiga faksi ideologis yang ikut menyusun kepemimpinan komite sentral Syriza sekarang. Faksi pertama dan mayoritas adalah faksi moderat dengan Alexis Tsipras adalah bagian darinya. Faksi yang kedua adalah faksi Aliran Kiri (Left Current), yang dipimpin oleh tokoh Marxis senior Yunani, Panayiotis Lafazanis, yang mampu mengisi 30 persen kepemimpinan Komite sentral Syriza. Faksi ketiga yang paling sedikit adalah faksi Platform Komunis (Communist Plaform) yang memiliki relasi kuat dengan organisasi Trotskyis internasional, Tendensi Marxis Internasional (International Marxist Tendency, IMT), yang mana mereka mampu mendapatkan dua kursi dalam komite sentral.

Syriza sebagai Kiri Reformis?

Walau Syriza tidak melepaskan garis anti-kapitalisnya, namun dalam proses pemenangan mereka selama pemilu 2015, harus diakui bahwa Syriza tengah bergerak ke garis politik yang moderat. Kebijakan ekonomi-politik Syriza selama proses kampanye pemilu adalah kebijakan ekonomi Keynesian yang menekankan pada kebijakan stimulus yang mampu untuk menggerakan ekonomi riil Yunani. Syriza juga tidak berniat untuk keluar dari Zona Eropa. Itu sebabnya Syriza tetap berkomitmen untuk membayar kembali komitmen finansial mereka kepada Uni Eropa melalui renegosiasi utang. Ini adalah posisi, yang bagi banyak kiri radikal, dapat dinilai sebagai penerimaan bagi operasi hegemonik neoliberalisme di Eropa.

Moderasi inilah yang kemudian membuat partai kiri radikal lainnya di Yunani, seperti KKE dan Antarsya menolak untuk terlibat dalam setiap upaya ajakan Syriza untuk membangun koalisi pemerintahan Kiri Yunani. Khusus bagi KKE, Syriza bahkan dianggap sebagai pengkhianat rakyat Yunani karena ketidakberaniannya untuk menantang kepemimpinan Komisi Uni Eropa.

Walau terdapat kebenaran dari argumen tersebut, namun kita perlu untuk memahami kondisi perjuangan kelas yang sekarang berada dalam sejarah modern Yunani pasca krisis. Kebijakan pengetatan yang dilakukan oleh rezim kekuasaan sebelumnya telah banyak menghancurkan kapasitas organisasi gerakan sosial di Yunani. Pemogokan umum adalah hal yang lumrah terjadi di sana. Namun demikian. sebegitu besar dan massif aksi-aksi tersebut, mobilisasi di luar politik formal ini ternyata tidak banyak membawa perubahan bagi situasi gerakan rakyat itu sendiri. Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut, gerakan rakyat akan mengalami demoralisasi, yang dengannya mereka akan kehilangan vitalitas untuk melakukan perlawanan lebih lanjut.

Selain itu perjuangan untuk mendorong alternatif sosialis dalam kerangka politik, baik elektoral maupun bukan, membutuhkan syarat-syarat material yang mencukupi. Rooksby (2015), sebagai contoh, mencatat bagaimana kalangan Marxis yang mengritik Syriza berpendapat bahwa Syriza mengeksklusi program pengambilalihan kekuasaan melalui kekuatan dewan pekerja (Soviet). Namun, bagi Rooksby, argumen ini mengabaikan satu fakta penting bahwa institusi popular seperti itu tidak cukup dominan dalam dinamika perjuangan kelas di Yunani. Dalam hal inilah, upaya untuk merujuk perjuangan sekarang pada sepenuhnya dalam pengalaman Bolshevik justru menjadi sangat abstrak dan tidak mengakar.

Moderasi Syriza, menurut saya, memang adalah langkah yang sepenuhnya pragmatis, yang dilakukan Syriza untuk memastikan kemenangan politik elektoral. Selain itu, langkah ini menjadi sangat perlu dalam memenuhi kebutuhan segera dari rakyat Yunani yang secara terus-menerus diterpa oleh kebijakan kediktatoran finansial á la memoranda. 25 persen tenaga kerja produktif di Yunani adalah pengangguran. Tingkat pengangguran yang tinggi tentu saja membuat gerakan sosial kesulitan untuk melakukan mobilisasi yang aktif, karena pilihan yang mungkin bagi mereka yang tidak bekerja adalah bertahan hidup, bukan untuk ikut dalam demonstrasi melawan kebijakan pengetatan. Dengan mengambil langkah moderat, Syriza mampu untuk merasionalisasi tuntutannya sesuai dengan kebutuhan massa yang ada. Sekaligus juga untuk memperluas basis dukungan elektoral mereka dimana Syriza mampu meraih simpati siapapun yang telah disiksa oleh kebijakan pengetatan tersebut.

Walau begitu, bukan berarti tidak ada ancaman sama sekali dalam moderasi ini. Karena kebutuhan pragmatis untuk memastikan bahwa program politik dapat diimplementasikan, maka beberapa koridor prinsipil dianggap perlu diterabas. Tidak mengherankan ketika kemudian Syriza tereksklusi dari kekuatan kiri yang lain (yakni KKE dan Antarsya), maka agar terbentuk pemerintahan mayoritas dibangunlah koalisi dengan partai kanan tengah, Partai Yunani Independen, yang pada dasarnya adalah pecahan dari partai Demokrasi Baru yang hanya bersepakat pada titik mengenai pentingnya melakukan renegosiasi utang namun bertentangan sama sekali dalam isu-isu yang lain. Dapat dilihat bahwa momen moderasi ini justru memberikan ruang kesempatan dalam tubuh internal Syriza untuk berkapitulasi terhadap kekuatan kapital. Disinilah pragmatisme kemudian menjadi pedang bermata dua dalam organisasi politik Kiri

Untuk itu yang terpenting bagi moderasi Syriza bukan terletak pada moderasi itu sendiri, namun pada bagaimana langkah moderasi ini memungkinkan gerakan rakyat Yunani untuk berpartisipasi lebih jauh dalam proses politik yang selama ini didominasi oleh elit korup yang didukung oleh Komisi Uni Eropa. Dengan kata lain. kita perlu untuk melihat dinamika politik kekuasaan Syriza bukan hanya pada tingkatan ‘politik atas’, tapi juga bagaimana relasi ‘politik bawah’ Syriza terhadap gerakan sosial yang ada di Yunani. Walau Syriza mengambil jalur kebijakan Keynesian, namun proses politik yang mendasari kebijakan ini tetap dipertahankan agar tetap radikal. Mobilisasi dalam rangka partisipasi menjadi kata kunci penting dalam setiap implementasi yang coba dilakukan oleh Syriza kelak. Dalam hal ini ada ruang kontestasi terbuka yang menjadi penentu bagi apapun hasil dari proses politik ketika Syriza berkuasa nanti.

Penutup

Ilmuwan politik Leo Panitch menyebut Syriza sebagai artikulator modern dari perjuangan kelas sekarang di Eropa. Hal ini bukan tanpa alasan semenjak kemampuan Syriza bukan terletak pada sebatas pragmatisme untuk meraih kekuasaan, tapi juga mendorong bagaimana kekuasaan dapat secara operasional mendukung ideal-ideal gerakan rakyat tentang sosialisme dan demokrasi. Proses yang dilakukan juga penuh dengan resiko. Akan tetapi, sebagaimana Mao pernah mengingatkan, adalah wajib ain bagi setiap kaum revolusioner untuk melakukkan perjuangan yang beresiko demi kemenangan sosialisme.

Berani berjuang, berani menang!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar