Selasa, 27 Januari 2015

Demi Demokrasi, Indonesia, dan Kita Semua

Demi Demokrasi, Indonesia, dan Kita Semua

Rachland Nashidik  ;  Ketua Departemen HAM DPP Partai Demokrat
KORAN TEMPO, 27 Januari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Saya bukan pendukung Jokowi dan saya tidak pernah menyembunyikannya. Dalam pemilu yang lalu, saya menganjurkan agar orang tidak usah memilih dan memihak calon presiden mana pun. Yang penting, kita jaga dan bela demokrasi, the rule of law, agar tidak dilipat dan dimasukkan ke dalam laci oleh siapa pun yang menang.

Di mata saya, dalam cara berbeda, dua jago yang bertanding saat itu sama-sama bermasalah. Yang pertama karena dirinya sendiri, yang kedua karena tak mampu jadi dirinya sendiri.

Sekarang pemilu sudah lewat. Jokowi adalah Presiden RI. Di hati bisa saja ia diingkari tapi tidak pada kenyataan. Demi demokrasi, semua orang harus menerima. Dan setiap warga yang peduli berkepentingan agar Jokowi bisa memerintah dengan efektif. Bagaimanapun juga, setipis apa pun beda yang diakibatkan, seorang medioker masih lebih mending daripada seorang tiran.

Dan Jokowi adalah medioker, sebagian yang paling penting adalah karena pada kenyataannya dia tak punya kontrol sepenuhnya terhadap pemerintahannya sendiri. Dari awal, kita mendengar Megawati menganggapnya "pesuruh partai". Lebih serius daripada itu, Jokowi dipaksa untuk bergantung pada dukungan partai-partai terbesar dalam koalisinya karena sejak awal didorong untuk cuma membangun "koalisi terbatas". Promosinya adalah "non-transaksional", namun mungkin pikiran di belakangnya adalah semakin sedikit anggota koalisi semakin banyak kursi kabinet yang dapat dibagi.

Padahal, dalam presidensialisme dengan multipartai yang dijalankan Indonesia, prinsipnya koalisi untuk pilpres harus dibuat dengan menghitung keperluan kursi-kursi dukungan di DPR yang mencukupi pada pemerintah.

Urusan jadi panjang karena hal itu tidak diperhitungkan atau dengan sengaja dihindari. Koalisi Jokowi di DPR dengan sendirinya adalah minoritas. Tapi yang lebih merugikan: ketergantungan Jokowi kepada partai-partai utama dalam koalisinya telah dimanfaatkan oleh partai-partai itu untuk kepentingan-kepentingan oligarkis yang menyerang rasionalitas dan etika publik. Begitulah pada hari-hari ini kita terkejut karena sepenuhnya di luar ekspektasi bahwa ia melawan suara publik dalam memilih Jaksa Agung dan Kepala Polri, bahkan dalam janjinya memperkuat KPK.

Para pendukung Jokowi pun sadar akan hal itu. Yang konsekuen berani bilang bahwa "Jokowi mengecewakan". Yang menjaga gengsi mengatakan sambil sedikit malu bahwa "Jokowi jangan lebih buruk dari SBY"-membuat orang yang tahu falsifikasi Karl Popper tertawa geli di hadapan fakta-fakta kesalahannya pada hari-hari ini.

Apa pun, sekali lagi, setiap warga yang peduli perlu mendorong agar Jokowi jadi presiden yang efektif. Namun itu tak mungkin terjadi tanpa dua hal.

Satu, Jokowi harus mengambil langkah-langkah radikal terhadap koalisinya demi membangun posisi tawar yang lebih sejajar dan menggunakannya untuk menegosiasikan tujuan-tujuan politiknya. Faktanya di sini adalah, sebagai presiden ia bisa, tapi ada kemungkinan tak cakap atau tak berani melakukannya.

Dua, para moderat di barisan sini dan sana harus bekerja sama untuk mendukungnya, minimal untuk mencegahnya tergelincir oleh kesalahan-kesalahannya sendiri. Demi demokrasi, demi Indonesia, demi kita semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar