Jumat, 30 Januari 2015

Hak Impunitas Hukum

Hak Impunitas Hukum

Abdul Wahid  ;  Pengajar Program Pascasarjana Ilmu hukum Unisma, Malang
KORAN JAKARTA, 29 Januari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus saja digerogoti dan dilemahkan. Semakin banyak masyarakat entah direkayasa atau benar ramai-ramai mengadukan unsur pimpinan lembaga tersebut.

Tak heran bila Ketua KPK, Abraham Samad, minta perlindungan kepada Panglima Tentara Nasional Indonesia, Jenderal Moeldoko. Selain itu, KPK juga mengajukan perlindungan hukum (impunitas) kepada Presiden Joko Widodo.

KPK meminta Presiden Joko Widodo membuat peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) tentang impunitas atau kekebalan hukum untuk komisioner dan seluruh pegawai KPK. Tujuannya melindungi KPK dari kriminalisasi dan memperlancar proses pemberantasan korupsi.

Permintaan disampaikan Wakil Ketua KPK, Adnan Pandu Praja. Menurut dia, unsur pemimpin KPK sudah membahas soal impunitas ini.

Namun, belum diserahkan ke Presiden Jokowi. Perlukah impunitas tersebut? Permintaan tersebut tak dapat dilepaskan dari ekses penangkapan Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto, oleh Bareskrim Mabes Polri. Impunitas hanya berlaku selama bekerja di KPK. Impunitas diperlukan agar pemberantasan korupsi tidak terhambat (Koran Jakarta, 26 Januari 2015).

Usulan itu perlu dikritisi karena tidak ada dalam ketentuan perundangan. Setiap warga negara kedudukannya sama di depan hukum, tak ada perbedaan etnis, budaya, agama, pendidikan, atau jabatan. Semua harus diperlakukan sama di depan hukum.

“All human beings are born free and equal in dignity and rights. they are endowed with reason and conscience and should act towards one another in a spirit of brotherhood” (Pasal 1 Universal Declaration of Human Rights/UDHR).

Jadi, setiap orang dilahirkan merdeka dan memiliki martabat serta hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal budi dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam semangat persaudaraan.

Hak-hak yang sama seperti disebut UDHR merupakan pengakuan universal, tidak seorang pun boleh dibedakan, termasuk pejabat KPK atau aparat kepolisian bila kedapatan terlibat tindak pidana (straafbaarfeit). Pertanggungjawaban secara egaliter merupakan bentuk perlindungan keadaban yuridis. Tidak ada yang lebih superior di dalam hukum.

Konsekuensi

Konsekuensinya, tidak pada tempatnya seseorang memperoleh hak impunitas, meski dia pejabat sekalipun. Pasal 28 D Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 amendemen IV secara eksplisit menyebutkan setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan sama di hadapan hukum.

Kata “setiap” dalam konstitusi itu ditafsirkan oleh Zamroni (2013) sebagai pengakuan berbasis kesederajatan, tanpa diskriminasi. Jadi, segala bentuk pembedaan harus ditolak. Konstitusi berlaku bagi seluruh warga, baik orang biasa maupun penyelenggara peradilan.

Keduanya memunyai tempat yang sama untuk mendapatkan proteksi hukum. Kalau ada di antara keduanya yang berupaya membuat perbedaan, bisa menimbulkan kekacauan hukum.

KPK banyak mendapat apresiasi publik karena bekerja sangat baik dalam memberantas korupsi sekalipun menyangkut orang-orang kuat di lingkungan parpol, eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.

Perlakuan berbeda dari sisi hukum bisa menjadi arus balik. Presiden dan Wakil Presiden saja tetap dapat dijatuhkan atau di-impeach jika terbukti melanggar hukum, seperti makar, menerima gratifikasi, suap, korupsi, perbuatan tercela, dan sebagainya.

Artinya, keduanya bisa tidak memunyai hak impunitas dari kesalahan yang diperbuat. Perppu sebagaimana dimina KPK bisa ditafsirkan, lembaga tersebut tidak bisa salah dalam menjalankan tugas memberantas korupsi.

Jika pun sampai melakukan kesalahan karena sedang menjalankan tugas pemberantasan korupsi atau diberi hak privilitas impunitas, sepanjang sedang bertugas, aparat penegak hukum dari institusi peradilan mana pun tidak boleh mengganggu.

Kees Bertens menyatakan dalam pemikiran Romawi Kuno, kata ius-iurus (Latin: hak) hanya menunjukkan hukum dalam arti objektif.

Dengan kata lain, hak dilihat sebagai keseluruhan undang-undang, aturan-aturan, dan lembaga-lembaga yang mengatur kehidupan masyarakat demi kepentingan umum. Berdasarkan pemikiran Bertens itu, permintaan KPK atas hak impunitas, berlawanan dengan kepentingan umum.

Apalagi, KPK bekerja demi kepentingan umum. Itu sesuai dengan Pasal 5 huruf (d) Undang-undang Nomor 39 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di situ disebutkan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi berasaskan kepentingan umum.

Jika pun ada di antara koruptor yang keberatan dengan cara kerja KPK, tidak serta merta, lembaga tersebut harus minta negara menyediakan senjata baru (perppu) untuk melawannya. Ini justru menunjukkan dirinya tidak memunyai stamina prima.

Usulan KPK terhadap hak impunitas merupakan upaya memperoleh hak privasi atau eksklusif. Mereka tak ubahnya menempatkan diri sebagai subjek yang selalu benar.

Mereka merasa tidak mungkin melakukan tindakan yang menyimpang dari hukum selama menjabat. Presiden Jokowi tidak perlu meluluskan permohonan tersebut karena bisa mencederai hukum.

Asalkan KPK teguh menjaga kode etik profesinya dan tidak tergoda melakukan pelanggaran norma yuridis, sikap ini menjadi “impunitas” tersendiri. Jadi, tidak akan ada yang mengganggu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar