Jumat, 30 Januari 2015

Komunikasi Pejabat Negara

Komunikasi Pejabat Negara

Harliantara  ;  Dosen Fakultas Komunikasi dan Bisnis, Telkom University
KORAN JAKARTA, 28 Januari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam), Tedjo Edy Purdijatno, menyatakan pendukung KPK sebagai rakyat yang tidak jelas. Pernyataan tersebut menjadi blunder komunikasi bagi pemerintah yang dampaknya makin memperkeruh suasana. Para menteri yang duduk di Kabinet Kerja sebaiknya menata kembali komunikasi politiknya. Rivalitas antara Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menimbulkan kontraproduktif bangsa yang luar biasa. Energi bangsa habis sia-sia menghadapinya.

Publik juga tenggelam karena kegaduhan politik yang tidak perlu. Presiden Joko Widodo sebaiknya segera membentuk tim independen untuk mengatasi rivalitas kontraproduktif KPK-Polri dengan cara memperbaiki sinergi dan sistem komunikasi antardua lembaga tersebut. Para penyidik KPK, yang merupakan ujung tombak pemberantasan korupsi negeri ini, mulai terganggu dengan manuver politik.

Apalagi sebagian besar penyidik KPK adalah personel kepolisian sehingga sangat membutuhkan harmonisasi komunikasi dua institusi penegak hukum itu. Sejak Kabinet Kerja dibentuk telah mengalami beberapa kali kendala berkomunikasi politik. Utamanya bila harus mengelaborasi masalah pelik. Beberapa menteri menjadi bulan-bulanan media massa dan para pengamat politik.

Hal ini diperparah sikap menteri yang acap kali berpikir sektoral. Hingga kini gaya berkomunikasi Kabinet Kerja masih terkesan kaku, monoton, dan hanya berputar-putar dalam wacana itu-itu. Efeknya menimbulkan blunder dan kurang menstimulasi derajat kecerdasan eksponen bangsa. Olah komunikasi politik baik dengan rakyat, antarlembaga negara, media masa, maupun lainnya yang menempel pada Kabinet Kerja seharusnya segera di-up-grade.

Ironisnya inner circle Presiden Jokowi justru napak tilas cara-cara Orde Baru yang memosisikan Mensesneg dan Mensekab sebagai Jubir Presiden sehingga semuanya di-set-up kembali dalam gaya klemak-klemek, kaku, serta ketiadaan wacana-wacana segar. Solusi teknis utamanya dalam konteks mengatasi olah komunikasi politik bagi lembaga kepresidenan sebenarnya dapat ditutup dengan mengadakan jubir Presiden.

Tetapi eksistensi dan sepak terjang para jubir Presiden harus dirancang agar tidak bermasalah seperti era Gus Dur. Presiden Jokowi sebetulnya sangat memerlukan seorang jubir. Keberadaannya dapat membuka kebuntuhan komunikasi massa dari lembaga kepresidenan dalam menjalankan roda pemerintahan. Dia juga diperlukan untuk memperlancar pengomunikasian kebijakan pemerintah dalam skala besar dan frekuensi tinggi.

Selain itu, eksistensi jubir Presiden diharapkan dapat menerobos belantara komunikasi yang konkretnya berupa komplikasi sistem manajemen pemerintahan dan kebekuan komunikasi politik sebagai warisan pemerintahan lama. Efeknya hingga saat ini sulit tercipta sebuah sinergi antar-institusi seperti kasus Polri-KPK. Kkerja jubir harus kompatibel dengan spesifikasi gaya manajemen presiden. Jubir Presiden, utamanya di Amerika, mampu mencegah serta mengeleminasi dampak dis-influencing.

Jubir harus berusaha keras menghindarkan langkah-langkah lembaga kepresidenan dari kegagalan memberikan motivasi kebangsaan serta mencegah memburuknya komunikasi politik dengan rakyat. Pesan-pesan politik lembaga kepresidenan (dan wapres) sebagai pemimpin bangsa jangan sampai menimbulkan turbulensi. Publik berharap agar eksistensi jubir Presiden tidak sekadar tukang rias kebijakan presiden. Dia harus memahami metode dan operasional dari para juru bicara Gedung Putih.

Meskipun kondisi sosial politiknya sangat jauh berbeda, esensi Jubir Gedung Putih Amerika Serikat pranatanya sudah ideal. Kelembagaan, yudisial, dan hubungan timbal balik dengan media setempat sudah mapan. Apalagi didukung lembaga clearing house. Intrik Sementara itu, kondisi di Indonesia sering kali muncul turbulensi karena intrik politik para elite politisi, terutama merekayang berada di daerah abu-abu. Kelompok ini tidak memosisikan diri sebagai oposan sejati, tetapi sering mengkritik pemerintah habis-habisan.

Jubir Kepresidenan dilarang menaburkan public deceptions (kebohongan massa). Dia harus cerdas memosisikan diri dalam melayani komunikasi rakyat. Apa pun kondisinya, dia tidak boleh memutarbalikkan fakta. Juga tidak boleh ada gangguan relasional media masa dengan otoritas protokol istana yang biasanya cenderung membatasi ruang gerak pers. Jubir di sini boleh mengambil paradigma jubir Gedung Putih. Mereka memberi ruang bagi pers seluas-luasnya. Dengan begitu media bisa melakukan indepth reporting agar menghasilkan tulisan lebih lengkap, mendalam, dan analitis.

UU Kebebasan Informasi yang telah diaktifkan kembali oleh Kongres pada tahun 1966 juga mendukungnya. UU tersebut memberi hak kepada rakyat untuk mendapatkan informasi dari pemerintah federal. UU dilaksanakan The Freedom of Information Clearinghouse. Lembaga nirlaba tersebut menyediakan bantuan teknik dan hukum bagi individu, kelompok kepentingan, dan media massa yang ingin mendapat akses informasi dari pemerintah.

The Clearing House juga menyediakan bantuan advokasi di pengadilan untuk kasus tertentu untuk melawan dan memberantas public deceptions pejabat negara. Bagi insan pers sendiri, lembaga clearing house tersebut sangat mendukung profesi. Sebab praktisi ini dapat meminta dan menerima setiap dokumen, file, atau catatan lain yang dimiliki pemerintah federal. Mekanisme seperti inilah yang memungkinkan kasus-kasus besar, secara tidak langsung, terbongkar.

Salah satu kasus yang mencuat karena sinergi clearing house dengan pers adalah skandal Irangate era George Bush. Kandungan informasi jubir presiden sebaiknya tidak didominasi dengan format personality feature dan historical feature, yakni sebatas memperkenalkan wawasan serta pendapat presiden dalam framing “kecap cap jempol”. Informasi harus juga diimbangi dengan framing yang pahit-pahit juga. Selain itu, seorang jubir harus sering memberi patern explanatory atau backgrounder feature, yakni menjelaskan latar belakang suatu kebijakan atau peristiwa yang baru terjadi dan sudah diberitakan kulit-kulitnya.

Maka, dia harus mampu menerjemahkan dan mengelaborasi gagasan-gagasan presiden. Dia tidak perlu larut terlalu jauh untuk meladeni suara-suara lawan politik yang bernuansa polusi penuh intrik. Pakar komunikasi berkaliber dunia berkompetensi hebat pun tak mampu mengelaborasi ucapan-ucapan elite politisi negeri ini. Tugas jubir saat ini memang pelik, apalagi bila jika harus meladeni suara-suara oposisi dengan jalan memelintir dan men-fait accompli pernyataan Presiden. Saatnya Presiden Joko Widodo menunjuk seorang jubir guna menjadi kepanjangan pikiran dalam mencerahkan persepsi politik rakyat dan mengatasi kebekuan komunikasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar