Senin, 26 Januari 2015

KPK Sebagai Tapal Batas

KPK Sebagai Tapal Batas

Eko Prasetyo  ;   Aktivis Social Movement Institute
INDOPROGRESS, 26 Januari 2015

                                                                                                                                     
                                                

BERITA itu tak disangka isinya. Bambang Widjajanto ditangkap. Saat mengantar anaknya sekolah. Polisi gunakan senjata dan borgol. Wakil ketua KPK itu dijebloskan dalam mobil. Polisi ingin memplester mulut Bambang yang bertanya soal prosedur. Jeratan pasal padanya agak mengada-ada: membuat kesaksian bohong pada sidang Pilkada Kalimantan Tengah. Tentu ini berita buram dan lebih buram lagi sikap Jokowi. Pidatonya normatif dan tak memecahkan soal. Jokowi seperti boneka yang kata-katanya kering tak berdaya. Di ujung sana Megawati ulang tahun. Karangan bunga dan ucapan menyembur dari mulut para politisi. Seolah suasana memang bahagia dan baik-baik saja. Kita tahu sebenarnya pertarungan lagi berlangsung. Bukan sekedar KPK melawan Polisi, tapi akal sehat bertarung dengan kesewenang-wenangan. KPK hanya sebuah tombak yang menyobek tatanan status-quo.

Tatanan itu tak pernah solid tapi kompak. Para bandit berdasi itu sesungguhnya sedang mereorganisasi kejahatanya. Korupsi buah perbuatan yang membuat sistem politik selamanya tersandera. Baik oleh kekuatan cukong maupun pejabat korup. Sedari dulu mereka sudah bersekongkol: aturan diciptakan untuk melindungi kepentingan dan menambah amunisi. Lewat partai politik pipa penyaluran uang haram dialirkan. Jual beli perijinan hingga pengangkatan pejabat. Semuanya berbau duit yang dikelola oleh sindikat. Sindikat ini melakukan akumulasi atas uang haram itu. Dan para anggota komplotan ini bersarang di semua lini, diantaranya Kepolisian. Budi Gunawan bukan orang baru yang dikenai tuduhan ini. Jauh sebelumnya, beberapa Jendral kena tuduhan busuk: rekening gendut. Tak hanya dirinya tapi juga bupati, anggota DPRD hingga menteri. Seakan korupsi seperti sebuah keyakinan yang dianut oleh semua pejabat.

KPK melabrak itu semua. Komisioner ini tak banyak jumlahnya. Kini hanya empat orang. Dukungan riil yang mereka miliki adalah kepercayaan publik. Juga kesetiaan media dan jejaring maya. Tiap mereka diserang maka bantuan itu berdatangan. Demonstrasi hingga empati di hastag. Semuanya mau jadi perisai KPK. Tapi lawan KPK bukan komplotan yang bodoh dan naif. Kekuatan kelompok ini ada di mana-mana. Kini Polisi jadi senjata yang mau digunakan maksimal. Tanpa ragu mereka putuskan untuk tangkap Bambang. Metodenya makin brutal dan terang-terangan. Tak hanya itu massa anti KPK juga diecer dimana-mana. Massa tak jelas asal-usulnya itu teriak ndak karuan. Mirip seperti topan yang bergerak tanpa arah. Asalkan anti KPK dan jika perlu berani cetuskan tuntutan bubarkan KPK. Kini pertarungan memang harus dimulai dengan cara baru. Mendukung KPK itu benar tapi jauh lebih benar lagi adalah menghancurkan tatanan busuk ini.

Aparatus keamanan memang susah direformasi. Reformasi lebih mirip kosakata proyek. Institusi ini berdiri di atas sejarah hitam kekerasan. Warisan yang terus dipendam dan berbuah seperti sekarang. Polisi sudah memiliki otonomi dan kewenangan besar, tapi karena itu pula rentan untuk diintervensi. Pimpinanya mudah digusur oleh politisi yang punya tujuan bejat. Maka peran dwifungsi serdadu yang dulu mulai dicopiti kini mulai digunakan oleh Kepolisian. Lewat jalur patron dengan kesetiaan pada salah satu atau dua partai. Setidaknya situasi ini tercermin pada penunjukan Budi Gunawan beberapa haril lalu. Para bos partai yang mirip dengan pentolan mafia itu berusaha untuk berkelit dari kesangsian publik. Mereka mau Budi Gunawan jadi jangkar kepentingan mereka. Keinginan mereka bertemu dengan loyalitas para jendral kepolisian yang serupa jawara. Maka terjadilah kesepakatan haram: menjerat Bambang Widjajanto. Sebabnya sepele, KPK harus dipukul lebih dulu dengan menjebloskan komisionernya.

Cicak dan buaya jadi pengalaman berharga. Waktu itu SBY di tekan sana-sini. Keputusan lahir dari tanganya. Tapi berharap hal serupa rasanya percuma. Kita bukan hadapi aparat yang sedang khilaf. Kita sedang berbenturan dengan tembok kekuasaan korup, dimana susunan batu-batanya terdiri atas aparat dan birokrat. Politisi jadi semennya. Maka merapatkan barisan dengan korban jadi taktik penting. Rapatkan barisan tak hanya untuk selamatkan KPK, juga selamatkan sistem demokrasi ini, yang memberikan jaminan kebebasan bagi warga untuk hidup sesuai martabatnya dan memberi jaminan perlindungan dari kesewenang-wenangan aparat. Maka bukan hanya Budi Gunawan yang kita tuntut melainkan aparat siapapun yang telah melanggar keadilan publik. Jumlahnya banyak dan saksinya ada. Targetnya tak hanya melindungi KPK, tapi melucuti semua kekuatan politik yang berpotensi korup dan otoriter. Maka inilah kesempatan berharga untuk mengajak siapa saja menarik garis batas. Garis yang lugas antara mereka yang bersama komplotan bandit dan mereka yang memeranginya. Sudah lama batas itu rusak karena taktik reformis dan keinginan untuk percaya pada figur yang bawa janji perubahan. Saatnya kita sadar kalau yang kita hadapi adalah rombongan penjahat yang punya kostum dan boneka. Kita hanya punya kostum satu yakni keberanian untuk menuntut tanggung jawab dan kesungguhan untuk mengawal itu hingga akhir. Dan memang kita tak ingin ada dan jadi boneka.

Tuntutan tanggung jawab ini bukan soal perkara hukumnya. Mereka melakukan kejahatan secara sistematis. Tak hanya mencuri tapi mengakumulasi kekayaan. Jumlah yang membuat mereka semua bisa berperan seperti dewa: mempengaruhi, menekan dan mengarahkan. Kasta dewa yang berperangai keji itulah yang meletakkan mereka berada di titik batas yang berlawanan. Maka bukan sekedar menangkap mereka dan menuntut karena hukum mereka bisa beli: tapi saatnya untuk mengucilkan sekaligus merebut alat produksi yang mereka punya. Penanganan korupsi tak akan pernah efektif selama landasan produksi mereka tak direbut, dibagikan dan diratakan ke korban. Maka gema perlawanan itu sebaiknya meyentuh pada penyusunan proposal politik alternatif: membongkar dan menata ulang landasan produksi yang dimiliki oleh para cukong. Baik yang berada di lingkar kekuasaan maupun yang kini berada di lini pendukungnya. Garis tegas itu kini menemukan momentum berharga. Hingga batas-batas itu, jika mau dilugaskan, tak hanya KPK melawan Polisi, melainkan barisan progresif yang mau dikurung oleh kekuatan status quo. Satu-satunya harapan bukan lagi pada Jakowi tapi kekuatan rakyat yang terus berdiri di belakang KPK. Pupuk saja kekuatan itu terus-terusan hingga membuat KPK bukan sekedar lembaga penanganan korupsi, tapi sebuah tapal batas yang membedakan mereka dengan kita. Karena jadi tapal batas itulah maka tiap upaya yang mencoba menghancurkanya harus kita lawan dan bekuk. Sekali lagi, waktunya untuk tidak diam dan ragu!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar