Selasa, 27 Januari 2015

Menegakkan Kode Etik KPK

Menegakkan Kode Etik KPK

Thomas Koten  ;  Direktur Social Development Center
MEDIA INDONESIA, 27 Januari 2015

                                                                                                                                     
                                                

PUBLIK Indonesia dalam beberapa hari ini disuguhi berita berita menarik yang bertalian dengan persoalan-persoalan yang melilit Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Berita yang paling menarik ialah berita yang berhubungan dengan penangkapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto oleh penyidik Bareskrim Polri terkait kasus keterangan palsu Pilkada Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah.

Tingginya tensi pemberitaan penangkapan terhadap Bambang ini seperti menenggelamkan persoalan dugaan adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan Ketua KPK Abraham Samad yang hakikatnya tidak boleh dianggap selesai.Plt Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan Abraham Samad pernah bermanuver guna mewujudkan ambisi politiknya sebagai cawapres mendampingi capres Joko Widodo (Jokowi).

Dalam keterangan pers di Jalan Cemara 19, Jakarta, Hasto membeberkan adanya beberapa pertemuan antara Ab raham Samad dan elite partai pengusung Jokowi. Tujuannya untuk membahas keinginan yang bersangkutan sebagai cawapres mendampingi Jokowi pada Pilpres 2014. Dengan demikian, Hasto merekomendasikan KPK membentuk komite etik untuk mengusut dugaan pelanggaran yang dilakukan Abraham Samad. Rekomendasi itu pun disambut baik oleh sejumlah kalangan, (Media Indonesia, 23/1).

Kode etik pejabat hukum

Tanpa mendahului segala langkah yang diambil komite etik KPK atau pihak yang berwenang dalam mengusut dugaan tersebut secara tuntas, pertama-tama harus dikatakan bahwa sorotan yang dialamatkan kepada Abraham Samad ini tidak main-main karena dia ditengarai telah melakukan tindakan yang menyimpang jauh dari rel kepatutan yang bertautan dengan kode etik KPK.

Kode etik pimpinan KPK, seperti yang dipaparkan Media Indonesia (23/1) adalah (1) Dilarang menggunakan sumber daya publik untuk kepentingan pribadi atau golongan. (2) Memberitahukan kepada pimpinan lainnya mengenai pertemuan dengan pihak-pihak lain. (3) Membatasi pertemuan di ruang publik. (4) Menarik garis tegas tentang apa yang pantas dilakukan dengan apa yang tidak pantas dilakukan dan semua pelanggaran terhadap kode etik dikenai sanksi yang ditentukan komite etik.

Memang, jika Abraham Samad benar-benar melakukan manuver politik atau berpolitik saat masih menjabat Ketua KPK, jalan ini merupakan pelanggaran luar biasa atas etika pejabat publik, yakni melanggar kepantasan sebagai pemimpin KPK dan mengkhianati kode etik KPK. Bahwasanya berpolitik itu baik dan merupakan hak setiap individu di negeri ini. Namun, menjadi tidak pantas jika itu dilakukan pemimpin KPK, institusi yang harus steril dari politik.

Perlu digarisbawahi, KPK merupakan ujung tombak pemberantasan korupsi sekaligus penjaga gerbong moral publik sehingga ia harus benar-benar dikelola pihak-pihak yang tidak memiliki kepentingan pribadi dan kelompok. Jika tidak, kita sulit mengharapkan tegaknya supremasi hukum karena rontoknya kewibawaan KPK dan hancurnya citra lembaga yang hingga kini masih dipercaya publik dalam pemberantasan korupsi untuk menciptakan Indonesia yang lebih baik.

Benar atau tidaknya dugaan terhadap manuver politik Abraham Samad, semua itu tentu tidak melanggar undangundang, tetapi jika dikatakan dari sudut etika dan kode etik KPK, itu memiliki masalah serius. Bahwasanya, eksistensi sebuah jabatan strategis, seperti KPK, bukan hanya bersentuhan dengan hukum formal-pelanggaran undangundang, melainkan juga lebih berkaitan dengan etika karena di dalamnya berkorelasi dengan unsur kehormatan dan keteladanan.

Bagaimana bisa mengharapkan pancaran keteladanan dari komunitas KPK jika seorang pemimpinnya saja bertindak jauh dari keteladanan dan kehormatan?
Setidaknya, hal itu mengingatkan penulis pada ungkapan sang pencetus `kontrak sosial' JJ Rousseau (1712-1778), “Setiap warga negara akan merasa diri tidak putus-putusnya berada di bawah pengawasan publik. Sehingga, jika warga negara biasa saja tidak bisa lepas dari pantauan publik, bagaimana pula dengan pejabat negara yang seharusnya memosisikan diri sebagai panutan?“
Atau seperti kata filsuf Dennis F Thompson, “Para pejabat sesungguhnya merupakan representasi dari negara sehingga warga negara wajib mengontrol dan para pejabat negara harus mencitrakan adanya kode etik (code of ethics) atau etika jabatan di hadapan publik.“

Maka, pemimpin KPK harus berdiri di atas karakteristik jabatan publik yang masingmasing melahirkan tanggung jawab moral dan tindakantindakan etis sehingga siapa pun yang mengemban tugas sebagai pemimpin KPK harus mengarahkan seluruh tindakan dan tanggung jawab terhadap kebaikan umum (bonum commune).

Mereka harus selalu mengedepankan etika jabatan dengan berperilaku mana yang boleh dan pantas serta mana yang tidak boleh dan tidak pantas. Jika pemimpin KPK masih berjuang meraih ambisi politiknya, terciptalah budaya korup.

Mengapa? Bukankah tindakan politik untuk meraih kekuasaan meski dia sendiri sedang memegang jabatan publik tertentu merupakan salah satu bentuk keserakahan? Jadi, betapa mengerikan jika seorang Ketua KPK masih mencitrakan diri sebagai penyubur budaya korup. Pimpinan KPK, bahkan juga semua anggota KPK, sekali lagi harus mengetahui tujuan dirumuskannya kode etik KPK, yakni menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas KPK lewat pelaksanaan tugas, kewajiban, dan tanggung jawabnya kepada warga negara.

Menjaga citra

Pimpinan KPK harus menyadari bahwa posisi mereka ialah penjaga gerbong moral publik lewat tugas mulia dalam pemberantasan korupsi. Karena itu, segala perilaku mereka selalu mendapat perhatian dan sorotan publik. Sehingga, sekecil apa pun kesalahan mereka, akan selalu mendapat penilaian negatif dari publik.

Karena itu, bagi siapa pun yang telah memercayai KPK sebagai salah satu pilar hukum yang memegang simbol kekua tan etika dan norma-norma luhur yang tertanam dalam kode etik KPK pasti merasa tercedera hatinya dengan perilaku pemimpin yang mengusik nurani lewat pelanggaran kode etik KPK.

Keterusikan publik itu akan semakin diperparah jika Bambang Widjojanto akhirnya juga terbukti bersalah di pengadilan sesuai dengan dugaan di atas. Maka, persoalan kini ialah bagaimana KPK segera mengembalikan citra diri sebagai pendekar hukum yang benar-benar menegakkan hukum pemberantasan korupsi karena KPK-lah lembaga yang hingga kini masih dipercaya publik dalam pemberantasan korupsi. Maka, tatkala lembaga ini ternoda, hancurlah kepercayaan publik terhadap KPK dan punahlah harapan kita untuk pembangunan Indonesia yang lebih baik.

Dengan demikian, para spiritualis menganjurkan perlunya para penjaga gerbong moral publik dan para pejabat negara tidak henti-hentinya memelihara serta mengisi ruang batin dan ruang kesadaran dengan hal-hal yang baik sesuai de ngan nilai-nilai agama dan norma-norma masyarakat, sambil berusaha untuk terus memperbaiki perilakunya menjadi lebih baik. Kehor matan, keagungan, dan citra positif KPK ditentukan oleh sejauh mana penegakan kode etik yang dilakukan KPK serta perbaikan peri laku pimpinan dan anggota anggotanya.
Jika citra KPK semakin terkikis, bukan saja lembaga hukum ini tidak lagi dihormati, melainkan juga hidup dan kehidupan pimpinan serta anggota KPK sendiri akan semakin terpental jauh ke pinggiran eksistensi diri yang dalam bahasa teolog dinisbatkan dengan terpentalnya diri dari Tuhan sebagai orientasi akhir kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar