Sabtu, 31 Januari 2015

Mewujudkan Swasembada Pangan dan Kesejahteraan Petani

Mewujudkan Swasembada Pangan

dan Kesejahteraan Petani

Aunur Rofiq  ;  Sekjen DPP PPP; Praktisi Bisnis sektor Pertambangan dan Perkebunan
MEDIA INDONESIA, 30 Januari 2015

                                                                                                                                     
                                                

PRESIDEN Joko Widodo sudah ditunggu beberapa pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan secepatnya. Salah satunya, sektor pertanian yang diharapkan Indonesia bisa melaksanakan swasembada pangan dalam kurun waktu tiga sampai empat tahun. Kendati secara faktual Indonesia ialah negara agraris, tetapi sektor ini belum mampu menyejahterakan petani dan hasil-hasil pertanian pangan belum sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan domestik, baik untuk kebutuhan industri maupun kebutuhan pangan. Ironis.
Pemerintah menargetkan swasembada pangan pada 2017. Ada ruang fiskal yang cukup untuk mendukung target itu. Penurunan harga minyak dunia telah memangkas beban subsidi BBM yang anggarannya bisa dialihkan untuk mendukung pembangunan infrastruktur pendukung pertumbuhan ekonomi, termasuk infrastruktur sektor pertanian.
Untuk mencapai target swasembada pangan, pemerintah akan memberikan dukungan berupa subsidi benih dan pupuk tepat waktu, alat dan mesin pertanian, perbaikan irigasi, serta pembangunan waduk.Tahap pertama akan membangun sekitar 24 waduk baru di beberapa daerah guna mencapai target swasembada pangan pada 2017.Sebanyak lima waduk pertama akan dibangun mulai Januari dan Februari 2015, yakni Bendungan Kerto di Aceh, Kariyan di Banten, Logung di Kudus, Ratnamo di Nusa Tenggara Timur, serta Lolak di Sulawesi Utara. Diperkirakan, pembangunan bendungan tersebut butuh waktu dua-tiga tahun dengan investasi Rp5,6 triliun. Di samping itu, ada 52% irigasi yang rusak, bahkan beberapa di antaranya sudah 30 tahun tidak diperbaiki.
Untuk membenahi sektor pertanian, memerlukan anggaran yang besar karena untuk mewujudkan swasembada pangan, Indonesia harus mengejar tambahan produksi padi menjadi 80 juta ton per tahun, jagung 30 juta ton per tahun, kedelai 2,7 juta ton, gula 3,5 juta ton, daging 0,75 juta ton, dan 1,7 juta ton garam. Selama ini, untuk menutup kekurangan produksi, pemerintah mengimpor komoditas pangan. Selain menguras devisa, impor pangan juga bisa merusak tatanan dan kelembagaan sektor pertanian.
Sekarang ini, volume impor komoditas pangan dan hortikultura terus meningkat. Badan Pusat Statistik mencatat nilai impor produk pertanian melonjak 346% atau empat kali lipat selama periode 2003-2013 atau sebesar US$3,34 miliar menjadi US$14,90 miliar.
Cegah konversi
Laju pertumbuhan impor ini jauh melampaui laju pertumbuhan jumlah penduduk selama satu dekade.Pada 2003, jumlah penduduk Indonesia masih sekitar 214 juta dan 2013 lebih dari 252 juta orang atau tumbuh 18%. Target pemerintah mendongkrak produksi pertanian pangan juga harus dilakukan dengan memberikan keberpihakan dalam hal penyediaan akses dan kebijakan di sektor pertanian yang propetani.
Penyediaan akses dan kebijakan di sektor pertanian harus dimulai dengan mencegah terjadinya konversi lahan pertanian yang lebih besar. Saat ini, banyak lahan pertanian di berbagai tempat yang beralih fungsi menjadi lahan permukiman, pabrik, dan peruntukan lain nonpertanian. Campur tangan pemerintah sangat diperlukan untuk menghentikan konversi lahan produktif pertanian pangan untuk usaha lain, seperti industri, perumahan, dan pertambangan.
BPS mencatat lahan usaha tani menyusut sebanyak 5 juta ha menjadi 26 juta ha antara 2003-2013.Pada 2012, Kementerian Pertanian sudah mengingatkan bahwa 2015, Indonesia diperkirakan bakal mengalami defisit lahan pertanaman pangan (padi) hingga 730 ribu ha. Defisit lahan itu didasarkan atas perhitungan jumlah penduduk Indonesia pada 2015 sebanyak 255 juta jiwa, konsumsi beras nasional 38,49 juta ton dengan konsumsi per kapita 135 kg per tahun. Sementara untuk menghasilkan 38,49 juta ton beras diperlukan luas lahan pertanaman 13,38 juta ha. Adapun lahan pertanaman yang tersedia hanya 13,20 juta ha, masih dikurangi alih fungsi lahan 550 ribu ha.
Defisit lahan pangan ini tentu menjadi masalah serius dalam jangka panjang. Data Kementerian Pertanian menyebutkan 2020 defisit lahan pangan akan mencapai 2,21 juta ha, 2025 mencapai 3,75 ha, dan 2030 mencapai 5,38 juta ha. Jika pemerintah tidak mampu membuka lahan baru untuk pertanian pangan, kemampuan produksi pangan akan terus menurun. Sementara Indonesia tidak memiliki teknologi dan cara baru dalam bertani yang mampu meningkatkan produksi.
Seiring dengan tekad pemerintah mewujudkan swasembada pangan, yang tidak kalah penting ialah bagaimana mewujudkan kesejahteraan petani. Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk Indonesia yang bekerja di sektor pertanian pada periode 2013 masih mencapai 38,07 juta orang atau menyerap tenaga kerja di Indonesia hingga 34,6% dari total seluruh tenaga kerja Indonesia. Menurut data BPS 2013, hampir separuh dari total 28,7 juta penduduk miskin Indonesia atau 13 juta orang ialah petani.
Meski sektor pertanian masih menyerap banyak tenaga kerja, secara perlahan penduduk usia muda yang mau bergelut di sektor ini terus menurun. Berdasarkan data BPS, terdapat 40,61 juta jiwa berusia 15 tahun ke atas yang bekerja di sektor pertanian pada 2004. Sementara pada 2013, angkanya menyusut menjadi 39,96 juta jiwa.
Artinya, sektor pertanian harus bertumbuh lebih baik jika ingin menarik minat generasi muda untuk terjun menjadi petani. Jika pertumbuhan sektor pertanian terus membaik, kontribusi sektor pertanian terhadap PDB akan meningkat. Sayangnya, kontribusi sektor pertanian terhadap PDB justru terus merosot. Pada periode 2003, kontribusi pertanian atas PDB masih sebesar 15,19%, tetapi pada 2013 tercatat sebesar 14,43%. Jika ditarik sejak 2003 akan terlihat stagnasi yang cenderung menurun di sektor pertanian.
Laporan BPS juga menegaskan apa yang terjadi sepanjang hampir satu dekade terakhir. Pada 2013, sektor-sektor tradable, seperti pertanian, kehutanan, peternakan, dan perikanan; kemudian pertambangan; dan industri pengolahan, hanya tumbuh masing-masing 3,54%, 1,34%, dan 5,56%. Pencapaian itu lebih rendah dari kinerja sektor jasa (nontradable) yang serapan tenaga kerjanya lebih rendah, yakni listrik, air, gas (5,58%); konstruksi (6,57%); perdagangan, hotel, restoran (5,93%); pengangkut an, komunikasi (10,19%); keuangan, real estat, jasa perusahaan (7,56%); dan jasa-jasa (5,46%).
Kondisi ini memberikan gambaran yang jelas bahwa mewujudkan kedaulatan dan swasembada pangan dengan mewujudkan kesejahteraan petani ialah dua hal yang harus bersama sama. Kita tidak bisa mewujudkan kedaulatan dan swasembada pangan, tetapi pada sisi lain mengabaikan kesejahteraan petani. Dengan meningkatkan kesejahteraan petani, bukan saja mengurangi penduduk miskin, melainkan juga mendorong minat masyarakat untuk terjun menjadi petani.
Sebagai gambaran, nilai tukar petani (NTP) pangan Indonesia per Agustus 2014 ke posisi 97,78 -- posisi terendah dalam empat tahun terakhir. Dengan kondisi ini, ketahanan pangan yang ingin diwujudkan harus mampu memperbaiki pula kondisi kehidupan petani.
Untuk meningkatkan kesejahteraan petani, pemerintah bisa mengalokasikan pengalihan dana subsidi BBM untuk memberikan subsidi kepada petani dalam bentuk subsidi pascapanen. Subsidi pascapanen diberikan melalui kenaikan pembelian harga gabah petani yang sudah ditetapkan pemerintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar