Kamis, 29 Januari 2015

Negeri yang Tedjo

Negeri yang Tedjo

Putu Setia  ;  Pengarang; Wartawan Senior Tempo
KORAN TEMPO, 28 Januari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno telah berjasa menambah kosakata baru. Kini beredar luas kata tersebut: "tedjo", sinonim dari "tak jelas".

Begini riwayatnya. Tedjo Edhy menyebut pendukung KPK sebagai rakyat yang tidak jelas. "Konstitusi yang akan mendukung KPK, bukan dukungan rakyat yang tak jelas itu," kata dia. Kecaman ini lekas mental ke dirinya, sehingga dimulailah olok-olok panjang: "tedjo" disamakan dengan "tak jelas".

Mari maafkan Pak Menteri yang sangat minim jam terbang dalam dunia politik ini. Beliau  mungkin tak begitu banyak bergaul dengan kalangan aktivis. Orang-orang yang mendukung KPK bukan saja jelas ketokohannya, tapi juga jelas pengikut dan pengaruhnya di masyarakat. Mereka tak mau KPK dilemahkan secara sistematis. Bahkan, dalam bahasa Jimly Asshiddiqie, KPK bukan lagi dilemahkan, melainkan mau dibubarkan. Dari empat pemimpin KPK yang ada saat ini, sudah tiga orang yang dipermasalahkan, yakni Abraham Samad, Bambang Widjojanto, dan Adnan Pandu Praja. "Pelemahan terlalu ringan. Ini upaya pembubaran," kata Jimly.

Presiden Joko Widodo sudah dua kali menanggapi kemelut KPK-Polisi ini. Pertama, di Istana Bogor setelah Bambang Widjojanto ditangkap. Penegasan presiden: gunakan jalur hukum. Yang kedua, di Istana Merdeka, Ahad malam, setelah meminta masukan pakar hukum dan para tokoh, presiden menegaskan: jangan ada kriminalisasi.

Penegasan presiden sama sekali tedjo (baca: tak jelas). Sangat normatif dan tak menawarkan jalan keluar. Sudah pasti polisi berdalih: ini didasari laporan masyarakat. Tapi kenapa kasus yang sudah lama ini mendadak muncul gara-gara laporan Sugianto Sabran, anggota DPR dari PDIP?

Tentu PDIP bermain. Mengapa tiba-tiba pelaksana tugas Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, membuka adanya pertemuan Abraham Samad dengan petinggi partai soal calon wakil presiden? Kalau pun pertemuan itu ada, di mana salahnya? Kalau pun juga ada yang salah, kenapa baru dibuka sekarang? Artinya, Hasto menyimpan kesalahan itu berlama-lama. Semua ini tak masuk akal kalau disebut sebagai "sebuah kebetulan" dan bukan upaya pelemahan KPK.

Pangkal kemelut KPK-Polisi ini sudah jelas gara-gara calon Kepala Polri, Budi Gunawan, yang ditunda pelantikannya oleh presiden. Lihat saja kengototan PDIP yang mendorong agar Budi Gunawan dilantik meski berstatus tersangka dari KPK. Andaikata Jokowi mau menarik pencalonan itu saat Budi dijadikan tersangka, tak akan meledak kisruh besar ini. Sayang, Jokowi dikelilingi menteri-menteri politik dan hukum dari partai pendukung, bukan dari kalangan profesional.

Situasi sekarang membuat negeri ini tedjo. Jokowi menjadi seorang pekerja kalau situasi politik tenang. Kalau suasana politik gonjang-ganjing, ia tak punya pengalaman sebagai politikus. Ia juga tanpa power. Celakanya, semua menteri dalam bidang politik berasal dari partai. Bahkan, dari sembilan anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), tujuh orang berasal dari partai pendukung. Bagaimana mungkin Jokowi meminta pertimbangan dari orang partai yang sudah ngotot membela Budi Gunawan? Karena menteri dan Wantimpres tak berguna, Jokowi terpaksa mencari nasihat dari tokoh-tokoh luar.

Jika Jokowi mau tetap didukung rakyat, ia harus memilih: tunduk pada partai atau kehendak rakyat. Sebagai presiden, seharusnya Jokowi tak boleh hanya mendapat "jabatan", ia harus mendapat "kekuasaan". Jokowi adalah "presiden rakyat", bukan "petugas partai".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar