Rabu, 28 Januari 2015

Pembangunan Manusia dan Hak atas Pangan

Pembangunan Manusia dan Hak atas Pangan

Rainy MP Hutabarat  ;  Wakil Presiden Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik
KOMPAS, 27 Januari 2015

                                                                                                                                     
                                                

PEMBANGUNAN manusia sebagai tujuan utama Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019 memprioritaskan program kepada masyarakat bawah. Biasanya sumber daya manusia ini suka terlupakan, dikalahkan pembangunan infrastruktur dan beragam langkah operasional lain yang menjadi alat, bukan tujuan.

Salah satu sektor unggulan untuk pembangunan manusia adalah kedaulatan pangan. Saatnya petani pangan ditempatkan sebagai soko guru perubahan; aktor-aktor kedaulatan pangan. Namun, untuk memutuskan mata rantai persoalan, kedaulatan pangan baru bisa dicapai jika para petani hidup dalam kemiskinan dan kurang pendidikan.

Analisis Nawa Cita mencatat, pangan yang tak berdaulat berkait-paut dengan kemiskinan petani dan buruh tani. Di negeri ini, petani pangan dan buruh tani hidup di bawah kemiskinan dengan lahan garapan kurang dari 0,5 hektar. Jumlah mereka meningkat dari 44,51 persen menjadi 56,41 persen. Tercatat 29 juta jiwa penduduk berada di bawah garis kemiskinan dan 18 juta jiwa di antaranya berada di pedesaan. Data ini mengisyaratkan, petani adalah bagian terbesar dari penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Padahal, di seluruh dunia tak ada negara yang berkedaulatan pangan jika para petaninya hidup dalam kemiskinan, berpendidikan rendah, dan tidak ditopang penuh pemerintahnya.

Sungguh ironis, mereka yang setiap hari bekerja membanting tulang sebagai petani pangan tak mampu memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari!

Pangan berbasis hak

Tak perlu berdebat soal ukuran kemiskinan di sini. Miskin adalah kondisi dehumanisasi. Orang yang tak mampu memenuhi salah satu hak dasarnya, yakni pangan, berarti tak mampu melangsungkan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar lainnya adalah pendidikan, kesehatan, dan perumahan.

Mereka yang sehari-hari hanya mampu makan nasi aking yang berakibat kurang gizi, tak sanggup menyekolahkan anak-anaknya, serta tinggal di gubuk sewaan tanpa listrik dan air bersih, adalah yang masuk kategori miskin ini. Penghasilan dan pendidikan yang rendah membuat mereka tak mampu membangun kehidupan yang bermartabat.

Bank Dunia mendefinisikan kemiskinan berdasarkan pendapatan yang rendah, kekurangan gizi atau kondisi yang buruk, serta tingkat pendidikan rendah. Beberapa Tujuan Pembangunan Milenium (MDG) tak lepas dari hak-hak dasar ini. Deklarasi Universal HAM PBB menyatakan, setiap orang berhak atas pendidikan, kesehatan, serta hidup dan kehidupan yang layak, termasuk makanan (artikel 3, 5, 26). Kovenan Internasional PBB menggolongkannya dalam hak-hak ekosob— ekonomi, sosial dan budaya—dan Indonesia sudah meratifikasi hak-hak ini (28 Oktober 2005), kemudian memasukkannya ke dalam Konstitusi RI (Amandemen IV UUD 1945).

Pembangunan dengan paradigma manusia mengasumsikan terpenuhinya hak-hak dasar rakyat, seperti hak atas pangan, pendidikan, dan kesehatan. Tak ada pembangunan manusia tanpa pemenuhan hak-hak dasar. Pangan pun syarat hidup sehat, pertumbuhan psikologis, dan kemampuan belajar.

Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), di seluruh dunia terdapat 805 juta jiwa orang kelaparan pada 2012-2014, sebanyak 791 jiwa mengalami kelaparan kronis dengan 1 dari 9 orang di dunia kelaparan dan kurang gizi. Dalam catatan Nawa Cita, 29 juta orang di Indonesia hidup dalam kemiskinan, artinya juga, tak mampu memenuhi kebutuhan pangan yang layak dan bergizi.
Namun, yang terjadi adalah kebutuhan pangan yang sehat dan bergizi disubstitusi dengan pangan pabrikan dan instan. Publik setiap hari dibanjiri produk makanan pabrikan yang tidak memenuhi kebutuhan gizi mereka. Pergeseran pola konsumsi ini kemudian menyingkirkan makanan-makanan lokal yang alamiah, mudah diakses rakyat setempat, dan bersumber pada kearifan lokal. Maka, penduduk pun menjadi tergantung pada bahan-bahan pangan dari luar dan mahal pula.

Kedaulatan pangan

Untuk mencapai kedaulatan pangan, perlu kedaulatan benih. Petani perlu belajar kembali menyisihkan produknya untuk benih agar tidak bergantung pada perusahaan besar. Apalagi, kenyataannya benih-benih tersebut untuk berproduksi tinggi membutuhkan pestisida dan pupuk tertentu yang menambah mata rantai ketergantungan.

Petani harus dibebaskan memproduksi bibit-bibit unggul tanaman pangan dan tidak didikte oleh kekuasaan produsen benih domestik dan multinasional. Karena itu, mengapa kedaulatan pangan mensyaratkan demokrasi bagi komunitas-komunitas lokal pertanian, khususnya masyarakat adat. Sudah saatnya mereka mulai memproduksi benih lokal seturut kearifan setempat yang telah diwarisi dan teruji beratus tahun.

Demokrasi benih, di samping infrastruktur terkait, seperti bank petani, jaringan irigasi, dan transportasi, pada gilirannya memampukan petani untuk menyejahterakan diri sekaligus memelihara keragaman hayati dan pangan lokal.
Kebijakan berasisasi Orde Baru merupakan pengalaman buruk penyeragaman pangan yang telah menyingkirkan keragaman pangan masyarakat lokal, seperti sagu, jagung, dan umbi-umbian, sebagai pangan bergizi. Karena itu, kedaulatan pangan dan kedaulatan benih sebagai langkah-langkah pemenuhan hak rakyat atas pangan yang layak yang bergizi sejatinya juga penghargaan pada sumber-sumber pangan lokal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar