Selasa, 27 Januari 2015

Tersandera oleh Wibawa

Tersandera oleh Wibawa

Budi Darma  ;   Sastrawan dan Guru Besar Unesa
JAWA POS, 26 Januari 2015

                                                                                                                                     
                                                

PRESIDEN Jokowi adalah sosok yang tersandera oleh wibawa sendiri. Wibawa itu tampak sangat nyata pada saat-saat Pilpres 2014. Kalau orang mendengar Jokowi akan datang, massa tanpa pemberitahuan resmi sebelumnya dengan semangat tinggi datang untuk menyaksikan dia. Itulah pertanda pemimpin sejati: tanpa pengerahan massa, massa akan datang dengan sendirinya.

Simpati warga terhadap Jokowi menjadi-jadi dan itulah yang akhirnya mendudukkan Jokowi sebagai presiden ketujuh RI. Pelantikan Jokowi-Jusuf Kalla pada 20 Oktober 2014 begitu meriah. Itulah tanda kebesaran wibawa Jokowi.

Pendapat bahwa Jokowi sebetulnya kurang mempunyai pengalaman politik dan karena itu nanti mempersulit dia sebagai presiden sudah lama disuarakan berbagai pihak. Bahkan, dalam suatu rekaman video, terlihat dengan jelas bahwa Jusuf Kalla awalnya sangat khawatir apabila suatu saat Jokowi terpilih sebagai presiden. Kalau seorang menteri membuat kesalahan, dengan mudah saat itu juga dia dapat dicopot. Dengan demikian, dampak kelemahan menteri tersebut tidak akan berlarut-larut. Tetapi, kalau yang membuat kesalahan adalah presiden, kata Jusuf Kalla dalam video tersebut, perbaikan harus menunggu lima tahun, yakni ketika masa jabatan presiden berakhir.

Dalam menghadapi proses pilpres pada waktu itu, tampaknya ada pertanyaan terpendam di hati publik. Yaitu, mengapa Jokowi bersedia dijadikan capres dan mengapa pula Jusuf Kalla mau dijadikan cawapres mendampingi Jokowi yang awalnya dianggap berisiko. Pertanyaan yang terpendam di hati publik itu, tampaknya, mengerucut menjadi sebuah hipotesis: Jokowi bersedia karena dia tahu dan dapat diyakinkan, kalau dia tidak maju, mungkin negara ini akan jatuh ke tangan lain yang oleh sebagian anggota masyarakat waktu itu dianggap ’’bermasalah’’. Karena itu, Jokowi harus ’’pasang badan’’. Idem dito Jusuf Kalla. Karena itulah, Jusuf Kalla juga bersedia ’’pasang badan’’ agar, kalau ada apa-apa, bisa menetralkan keresahan untuk menciptakan stabilitas.

Kenyataan bahwa Jokowi melesat bagaikan meteor dalam Pilpres 2014, tampaknya, juga menimbulkan pertanyaan terpendam di hati publik: siapakah kiranya yang membuat Jokowi melesat bagaikan meteor? Jokowi sendiri dengan wibawanya, atau karena partai pendukungnya? Tampaknya, inilah jawaban di hati publik: Jokowi menang karena wibawa sendiri dan justru partai pendukungnya diuntungkan oleh wibawa Jokowi.

Kenyataan bahwa kurangnya pengalaman Jokowi akan mempersulit dirinya mulai tampak ketika dia merencanakan struktur kabinet. Jokowi berpegang teguh bahwa kabinet harus benar-benar ramping. Tetapi, Jusuf Kalla tidak setuju karena praktik di lapangan pasti akan berbeda. Struktur kabinet sekarang tidak lain merupakan kompromi antara idealisme Jokowi dan pragmatisme Jusuf Kalla, serta desakan berbagai pihak lain.

Ketika akan melantik menteri-menterinya, Jokowi berkonsultasi dengan KPK dan PPATK untuk meyakinkan bahwa para menteri yang akan diangkat itu benar-benar bersih. Publik dengan sendirinya sangat menghargai kebijakan Jokowi. Tetapi, tidak lama kemudian kekecewaan publik muncul karena Jokowi tanpa berkonsultasi dengan KPK dan PPATK tiba-tiba mengangkat H M. Prasetyo menjadi jaksa agung. Sementara itu, H M. Praseto masih tercatat sebagai anggota DPR dari Partai Nasdem, partai pendukung Jokowi.

Kekecewaan publik semakin besar ketika Jokowi mengajukan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai satu-satunya calon Kapolri. Tampaknya, Jokowi benar-benar menginginkan pengangkatan Budi Gunawan dapat dilaksanakan secepat-cepatnya. Padahal, Kapolri waktu itu Jenderal Pol Sutarman pensiun lebih kurang sepuluh bulan lagi. Kekecewaan publik sangat menonjol karena sebetulnya, sewaktu akan diajukan sebagai calon menteri, Budi Gunawan mendapat rapor merah dari PPATK dan KPK.

Publik kecewa, jangan-jangan hanya karena menuruti pesanan partai pendukungnya, Jokowi ingin mengangkat Budi Gunawan dengan mengorbankan komitmennya untuk memberantas korupsi. Publik juga bertanya-tanya mengapa DPR yang seharusnya mewakili suara rakyat tiba-tiba berubah menjadi sarana kepentingan partai, bukan rakyat.

Karena Jokowi telanjur tersandera oleh wibawa sendiri, penyelesaian masalah Budi Gunawan justru menimbulkan masalah-masalah baru yang sangat berbahaya. Yaitu, keretakan hubungan KPK -Polri. Ketua KPK Abraham Samad dikabarkan berpeluk-pelukan dengan ratu kecantikan, lalu disusul adanya kabar kabur bahwa Abraham Samad sangat kecewa karena tidak jadi diangkat oleh partai pendukung Jokowi sebagai cawapres mendampingi Jokowi. Yang mengusulkan agar Abraham Samad tidak menjadi cawapres, menurut kabar kabur itu, tidak lain adalah Budi Gunwan yang waktu pilpres bergabung dengan partai pendukung Jokowi. Padahal, waktu itu Budi Gunawan adalah polisi yang seharusnya netral.

Masalah Abraham Samad segera disusul oleh peristiwa lain yang membuat publik miris. Yaitu, penangkapan Bambang Widjojanto, wakil ketua KPK, oleh Bareskrim Polri dengan cara-cara yang, menurut media, tidak wajar. Penangkapan tersebut justru menimbulkan simpati publik terhadap KPK semakin kuat dan kekecewaan publik terhadap Jokowi merosot.

Kalau toh tuduhan Bareskrim terhadap Bambang Widjojanto benar, publik telanjur sangat bersimpati terhadap KPK. Sebetulnya publik sangat mengharapkan Jokowi bisa bertindak bijaksana, yaitu berpihak kepada suara rakyat. Tapi, tampaknya, Jokowi sudah terlalu jauh terperangkap oleh wibawa sendiri. Pidato lima menitnya mengenai penyelesaian kasus KPK-Polri dianggap mengambang, tanpa makna, dan justru memperkuat kedudukan Jokowi sebagai agen untuk memperlemah KPK.

Tuduhan itu menjadi lebih kuat karena, konon, ternyata Jaksa Agung H M. Prasetyo membuat satgas antikorupsi yang oleh publik dicurigai sebagai tandingan KPK. Satgas tersebut mempunyai kewenangan yang mirip dimiliki KPK, yaitu menangani kasus korupsi di atas satu miliar rupiah.

Jokowi tersandera oleh wibawa sendiri mungkin karena dia tidak punya pengalaman politik, mungkin juga karena di internal partai pendukungnya dia tidak mempunyai kedudukan strategis. Dengan sendirinya, publik tetap mengharapkan Jokowi bisa memanfaatkan wibawanya, bukan justru sebaliknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar