Senin, 23 Februari 2015

Implikasi Vonis Mati

Implikasi Vonis Mati

Yasmi Adriansyah ; Kandidat PhD Australian National University Canberra Australia
REPUBLIKA, 21 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Rencana eksekusi terpidana hukuman mati dua gembong `Bali Nine' asal Australia, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, telah memanas kan hubungan RI-Australia. Di satu sisi, Pemerintah Australia semakin agresif mengeluarkan pernyataan bernada keras, menuntut Indonesia membatalkan eksekusi.
Pernyataan resmi Australia melalui PM Tony Abbott maupun Menlu Julie Bishop bervariasi. Dari boikot pariwisata, mengaitkan bantuan terhadap bencana tsunami, sampai kemungkinan terburuk pada hubungan diplomatik adalah berbagai ancaman Australia.

Di sisi lain, Indonesia seolah tak kalah gertak. Dari Wapres Jusuf Kalla, Menlu Retno Marsudi, sampai Jaksa Agung M Prasetyo, semua bersuara lantang. Secara umum, argumentasi Indonesia adalah ini sepenuhnya proses penegakan hukum. Karenanya, kepada pihak negara lain dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sekalipun, diminta untuk tidak mengintervensi kedaulatan hukum Indonesia.

Melihat `perdebatan tidak langsung' dari para elite pemerintahan kedua negara, sejatinya argumentasi masing-masing pihak merupakan hal lumrah. Masing-masing memiliki alasan logis. Lebih khusus bagi Australia, mereka akan berupaya seoptimal mungkin guna menghentikan eksekusi mati. Hal ini dapat dilihat dari kacamata empatik, yaitu bagaimana ketika Indonesia yang juga kerap berupaya membebaskan para TKI terpidana hukuman mati, khu susnya di Arab Saudi dan Malaysia.

Permasalahan utama dari kasus hukuman mati Bali Nine ini adalah kemungkinan eskalasi yang potensial memuncak dan berakhir pada rusaknya fundamental relasi bilateral. Jika ini terjadi, kedua pihak pasti akan saling merugi dalam jangka panjang. Pertanyaannya, bagaimanakah sikap terbaik kedua pihak agar perselisihan diplomatik tidak semakin bereskalasi?

Saya berpandangan bahwa jika Indonesia dan Australia tidak menginginkan dampak terburuk pada hubungan diplomatik, para elite pemerintahan di kedua pihak agar bersikap lebih berhati-hati dalam menyampaikan pernyataan. Masing-masing diharapkan lebih taktis mengelola pernyataan resmi, khususnya demi kepentingan yang komprehensif dan jangka panjang.

Dari observasi media, di satu sisi, pernyataan Pemerintah Australia yang bersifat ancaman sesungguhnya tidak banyak menolong. Hal itu justru semakin memanaskan situasi. Pemerintah Australia sebaiknya memahami sebagian publik Indonesia sangat teguh mengusung nasionalisme. Apakah itu nasionalisme sempit atau bukan, faktanya tidak sedikit pihak yang berpegang pada isme tersebut. Karenanya, adanya pernyataan bernada intervensif atau bahkan ancaman justru berpotensi kontraproduktif.

Bangsa Indonesia seyogianya mengetahui bahwa Australia telah melakukan banyak hal positif bagi Indonesia. Tidak terhitung banyaknya skema bantuan dan kerja sama Australia terhadap Indonesia. Namun, sebagian rakyat Indonesia pun akan cepat gerah jika rasa nasionalisme mereka terusik. Ingatan masa lalu, khususnya momen pahit terkait lepasnya Timor-Timur dari Indonesia, akan selalu menyeruak. Bahwa Australia dianggap berperan paling besar dalam momen itu. Ingatan ini, yang sudah melekat di alam bawah sadar, masih melekat di banyak orang, termasuk para elite politisi.

Di sisi lain, kepada Pemerintah Indonesia, kita pun berharap pernyataan para elite dapat dikelola lebih hati-hati. Pernyataan `polos' bahwa eksekusi terpidana mati adalah domain hukum Indonesia sepenuhnya dan pihak asing tidak berhak mengintervensi memang tidak salah. Namun, pernyataan ini seolah menihilkan adanya negara lain yang berusaha membebaskan warganya, sebuah situasi yang nyatanya juga sering dialami Indonesia.

Tentu akan lebih elok (baca: diplomatis) jika Indonesia menyampaikan dapat memahami perasaan bangsa Australia dan bangsa manapun yang warga negaranya akan dieksekusi. Namun, kita mengharapkan pengertian bangsa lain alasan utama dari proses penegakan hukum ini adanya kondisi `darurat narkoba' yang kini dialami Indonesia. Terenggutnya nyawa generasi muda kita, yaitu berkisar 40 jiwa per hari atau lebih dari 14.500 nyawa per tahun, dapat menjadi alasan utama.

Selebihnya, tidak perlu komentar lain diluncurkan. Sebagai contoh, jika alasan eksekusi terpidana menggunakan alasan hukum semata, nyatanya keputusan hukum para hakim konstitusi tidak sepenuhnya bulat. Permohonan judicial review atas hukuman mati yang pernah dilakukan Todung Mulya Lubis dan mitra pada 2007 memang kalah di Mahkamah Konstitusi. Namun, dari sembilan hakim MK, empat menyatakan dissenting opinions. Secara umum, para hakim berpendapat hukuman mati justru bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 28I mengenai hak hidup. 

Dari sisi hukum internasional, hukuman mati memang masih memberikan celah, yaitu Pasal 6 Kovenan Internasional 1996 mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Intinya, ICCPR membolehkan suatu negara menerapkan hukuman mati. Namun, penerapannya harus terbatas pada "kejahatan-kejahatan paling serius" (most serious crimes).

Celah inipun tidak sepenuhnya diterima secara internasional. Pandangan HAM justru menafsirkan kejahatan narkoba belum memenuhi ambang batas "kejahatan paling serius" (Amnesty International 2015). Dari sisi praktik internasional pun, setidaknya sudah 150 negara yang melarang hukuman mati. Adapun negara-negara yang disebut sangat `aktif' melakukan hukuman mati adalah Iran, Irak, dan Arab Saudi. Data AI mencatat sekitar 80 persen dari ratusan kasus hukuman mati ada di negara-negara tersebut.

Sebagai penutup, Indonesia memang dapat semakin menunjukkan jati diri sebagai bangsa dengan bersikap tegas. Namun, penunjukan jati diri yang tidak dikelola dengan hati-hati justru dekat kepada arogansi dan berpeluang menciptakan implikasi diplomatik yang serius. Karenanya, kiranya semua pihak perlu secara cermat dan hati-hati dalam mengelola pernyataan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar