Minggu, 22 Februari 2015

Memaksa Maskapai Bertanggung Gugat atas Keterlambatan

Memaksa Maskapai

Bertanggung Gugat atas Keterlambatan

Adhy Riadhy Arafah ;  Dosen Hukum Udara dan Angkasa;
Direktur Center for Air and Space Law Fakultas Hukum Unair
MEDIA INDONESIA, 21 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

BAGI konsumen Indonesia, keterlam batan jadwal penerbangan ialah hal yang mungkin biasa. Saking terbiasanya, tak banyak kasus keterlambatan pesawat yang berakhir di pengadilan. Namun, tidak untuk dua hari terakhir ini (19-20 Februari), keterlambatan perusahaan maskapai Lion Air ini sudah di luar kebiasaan umumnya, yakni jumlah penumpang yang telantar mencapai ratusan orang. Entah berapa banyak kerugian yang diderita penumpang, baik kerugian secara nyata maupun kerugian akibat hilangnya kesempatan karena tidak sampai di tujuan dengan tepat waktu.

Seolah tak ada habisnya, keterlambatan penerbangan oleh maskapai nasional masih terus terjadi dan seakan tidak pernah ada solusinya. Pemerintah selaku pihak regulator, sekalipun telah menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011, tetap saja tidak mampu menekan tingkat keterlambatan pesawat dan kepatuhan perusahaan maskapai untuk menjalankannya. Lalu, apa yang terjadi?

Ambisi lebih besar

Besarnya ambisi perusahaan maskapai nasional untuk melakukan ekspansi tak lepas dari besarnya potensi pasar penerbangan nasional dilihat dari luas wilayah Indonesia dan jumlah populasinya yang terbesar di kawasan Asia Tenggara. Di sisi lain, meningkatnya taraf hidup masyarakat Indonesia akibat naiknya golongan kelas ekonomi menengah pada akhirnya menjadikan kebutuhan akan transportasi udara menjadi kebutuhan primer yang tak bisa terhindarkan. Ambisi perusahaan penerbangan melakukan ekspansi telah menghasilkan kebijakan pembelian pesawat baru yang luar biasa secara jumlah. Selain untuk mewujudkan ambisi, pembelian pesawat baru itu menjadi hal yang harus dilakukan perusahaan maskapai untuk meminimalkan tingkat kecelakaan pesawat akibat kemampuan perawatan pesawat yang minim oleh perusahaan maskapai, sayangnya tidak untuk harapan untuk meminimalkan keterlambatan.

Pembelian pesawat baru dalam perkembangannya berhasil meningkatkan jumlah penumpang dan menurunkan tingkat kecelakaan pesawat akibat usia pesawat. Meski demikian, tidak untuk tingkat ketepatan waktu yang hampir tidak berubah dari waktu ke waktu, bahkan semakin memburuk. Ada beberapa analisis terkait dengan hal itu; pertama, pertambahan jumlah penumpang pesawat secara signifikan jauh lebih besar daripada pertambahan jumlah pesawat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk Indonesia dan masyarakat ekonomi menengah. Sekalipun jumlah pemesanan pesawat yang dilakukan perusahaan maskapai nasional sangat besar, secara harga jauh lebih ekonomis karena menerapkan konsep penerbangan low cost carrier (LCC).

Kedua, pertumbuhan jumlah penumpang yang dibarengi pertumbuhan jumlah pesawat melahirkan banyaknya rute baru yang ditawarkan perusahaan maskapai. Di level itu, cepatnya pertumbuhan tersebut tidak dibarengi cepatnya pertumbuhan jumlah sumber daya manusianya. Dalam praktiknya, menyiapkan sumber daya manusia di bidang penerbangan tidaklah secepat membeli pesawat baru dan pertumbuhan rute. Dibutuhkan waktu untuk mendidik dan melatih manusia yang akan berkecimpung di dunia penerbangan di semua sektor. Jadi, sekecil apa pun gejolak terhadap sumber daya manusia akan memberikan dampak terhadap pelayanan jasa penerbangan secara signifikan.

Ketiga, pemerintah selaku regulator selalu terlambat mengantisipasi pertumbuhan bisnis perusahaan maskapai. Ketentuan nasional yang dibuat pemerintah umumnya bersifat responsif. Penegakan regulasi lebih bersifat `menghukum', tanpa melakukan pengkajian lebih dalam terhadap permasalahannya. Tak mengherankan jika pada akhirnya produk regulasi pemerintah hanya menjadi kertas `kosong' tanpa makna karena implementasinya yang menghabiskan ba nyak biaya dan waktu. nyak biaya dan waktu.

Keempat, pertumbuhan perusahaan maskapai tidak dibarengi pertumbuhan perusahaan terkait dengan dalam hal fasilitas penunjang. Bagaimanapun pembelian pesawat baru oleh maskapai juga harus diimbangi dengan memajukan fasilitas penunjang seperti navigasi penerbangan dan bandara. Penambahan jumlah pesawat akan berdampak pada penambahan slot, frekuensi untuk penerbangan dan parkir, di samping merestorasi teknologi perusahaan pendukung secara berkala.

Keterlambatan penerbangan akibat tidak terpenuhinya fasilitas bandara atau navigasi yang memadai sering kali tidak mendapatkan perhatian khusus oleh penumpang dan pemerintah.Dampaknya tak sedikit pihak perusahaan maskapai pada akhirnya bertanggung gugat terhadap penumpang atas keterlambatan, tanpa pernah tahu sejauh mana tanggung gugat atas keterlambatan penerbangan yang disebabkan pihak selain perusahaan maskapai.

Pemenuhan paksa nilai ganti rugi

Regulasi terhadap keterlambatan yang diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan No 77 Tahun 2011 relatif jarang dilakukan. Hal itu mengingat proses hukum dan ganti rugi yang tidak sebanding dengan banyaknya biaya dan waktu yang terbuang manakala melakukan penuntutan hukum di pengadilan, utamanya apabila gugatan dilakukan secara perorangan. Menempatkan pengadilan tersendiri yang berlokasi di bandara khusus menangani kasus terkait dengan ganti rugi pengangkutan udara memang telah diterapkan di beberapa negara di Amerika Latin. Di Eropa, ada semacam lembaga yang khusus dengan cepat merespons gugatan penumpang, yang secara aktif dan kolektif akan menggugat perusahaan maskapai.

Pengambilalihan pemenuhan ganti rugi dalam kasus maskapai Lion Air oleh bandara patut direspons dan dibakukan sebagaimana diberlakukan di Dubai International Airport.Hal itu terkait dengan prosedur yang lebih murah, pasti, dan hemat waktu. Bandara dalam hal terjadi keterlambatan penerbangan akan memberikan kompensasi kepada penumpang secara langsung sesuai dengan ketentuan Peraturan Menhub No 77 Tahun 2011 tanpa harus menunggu pihak maskapai. Biaya yang dikeluarkan akibat keterlambatan penerbangan pada nantinya tetap dikenakan kepada perusahaan maskapai untuk diganti.

Tentu diperlukan kontrak yang mengatur di antara keduanya. Dengan metode itu, secara psikologis, maskapai penerbangan akan lebih serius dengan jadwal penerbangan yang telah mereka buat, utamanya hubungan hukum dengan pihak bandara. Di sisi lain, pihak bandara akan mendapatkan ketepatan waktu penerbangan yang berdampak pada kelancaran lalu lintas pesawat dan mengurangi penumpukan penumpang. Bagi penumpang, kepastian akan nilai ganti rugi yang didapat sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan No 77 Tahun 2011 lebih terjamin dan mudah, tanpa melewati proses hukum yang panjang di pengadilan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar