Sabtu, 28 Februari 2015

Menebak Arah BI Rate

Menebak Arah BI Rate

Paul Sutaryono  ;  Pengamat Perbankan dan Mantan Assistant Vice President BNI
KORAN SINDO, 26 Februari 2015

                                                                                                                       
                                                

Pada 17 Februari 2015, Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan 25 basis point (BP) atau 0,25% dari 7,75% menjadi 7,50%. Nah, ketika kelak suku bunga acuan Amerika Serikat (The Fed Funds Rate) jadi naik dari 0,25% menjadi minimal 1–2%, apakah BI Rate bakal kembali naik? Selama ini, inflasi menjadi salah satu faktor yang mendorong BI untuk mengubah BI Rate. Ini buktinya. BI Rate mulai mendaki dari 7,25% per Oktober 2013 menjadi 7,50% per November 2013 pada saat inflasi 8,37%.

Level BI Rate itu bertahan selama 13 bulan hingga November 2014. Padahal, inflasi telah menipis hingga menyentuh level terendah 3,99% per Agustus 2014. Sebaliknya, BI Rate justru mendaki lagi menjadi 7,75% pada 18 November 2014 segera setelah pemerintah mengumumkan kenaikan BBM bersubsidi. Kenaikan itu sempat membuat pelaku bisnis dan perbankan terpana.

Meskipun jauh sebelumnya BI sudah memberikan sinyal kenaikan BI Rate mengingat inflasi bakal mencapai kisaran 7,7% pada akhir Desember 2014. Eh, inflasi malah lebih tinggi lagi mencapai 8,36%. Apakah penurunan BI Rate itu dan ketika inflasi menjinak menjadi 6,96% per Januari 2015 akan menyetrum suku bunga kredit untuk ikut menurun? Jawabannya amat mudah: tidak secepat seperti yang diharapkan BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Formulanya, ketika BI Rate naik, suku bunga deposito akan segera naik pula. Namun sebaliknya, tatkala BI Rate turun, suku bunga deposito tidak akan otomatis segera turun. Mengapa? Lantaran sebelumnya bank nasional telah mengeluarkan biaya lebih besar berupa kenaikan suku bunga deposito yang lebih tinggi daripada biasanya.

Dengan bahasa lebih lugas, suku bunga deposito akan menurun pelan-pelan (gradually). Nah, manakala suku bunga deposito mulai menguncup, maka suku bunga kredit akan mengempis pelan-pelan pula. Sejauh mana tingkat suku bunga rata-rata kredit bank umum? Statistik Perbankan Indonesia, November 2014 yang terbit medio Januari 2015 menunjukkan suku bunga ratarata (dalam rupiah) untuk kredit modal kerja mekar 2 BP (0,02%) dari 12,83% per Oktober 2014 menjadi 12,85% per November 2014.

Suku bunga rata-rata kredit konsumsi juga tumbuh mekar 10 BP (0,10%) dari 13,43% menjadi 13,53%. Sebaliknya, suku bunga rata-rata kredit investasi justru menipis 2 BP (0,02%) dari 12,40% menjadi 12,38% pada periode yang sama.

Opsi Utama

Pertanyaan berikutnya, apakah BI Rate bakal melonjak lagi pascakenaikan suku bunga The Fed minimal menjadi 1–2% yang diprediksi pada semester I/2015? Ada dua opsi utama yang dapat dipertimbangkan. Pertama, BI Rate akan naik minimal 25 BP (0,25%) kembali menjadi 7,75%.

Kalau BI memilih opsi ini, perang suku bunga deposito akan pecah lagi. Untunglah, OJK sudah menetapkan batas atas suku bunga deposito di atas Rp2 miliar efektif 1 Oktober 2014. Namun, intervensi itu tetap tak mampu menahan kenaikan suku bunga kredit karena kenaikan suku bunga deposito berarti kenaikan pula biaya dana (cost of fund). Likuiditas akan kian ketat.

Ujungnya, tingkat efisiensi yang tecermin pada rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) akan menebal. Lirik saja, BOPO bank umum yang merupakan representasi enam kelompok bank sudah mendaki dari 73,95% per November 2013 menjadi 76,16% per November 2014. Bagaimana bank nasional mampu bersaing dengan bank negara ASEAN dengan BOPO 40–60%? Daya saing bank nasional menjadi kian rendah.

Padahal peningkatan daya saing itu amat dibutuhkan dalam era Masyarakat Ekonomi ASEAN. Kedua, apakah BI perlu menahan BI Rate sebesar 7,50%? Ya! Mengapa? Karena level itu masih cukup memadai dalam mencegah pelarian dana (capital flight). Coba bandingkan dengan suku bunga acuan negara ASEAN seperti Singapura 0,39%, Thailand 2%, Malaysia 3,25%, Filipina 4%, dan Vietnam 6,50%. Sementara suku bunga acuan negara berkembang (emerging markets) lainnya, Korea Selatan 2%, Meksiko 3%, Cile 3%, dan Afrika Selatan 5,75%.

Dengan bahasa lebih bening, BI Rate masih memadai untuk menarik minat investor asing agar tidak lari ke lain hati. Apalagi, Fitch Rating menyatakan sovereign Indonesia BBB––dengan prospek stabil. Tegasnya, peringkat layak investasi (investment grade) Indonesia sejak 2011 masih tetap tidak berubah. Tegasnya, Indonesia tetap menjadi salah satu tujuan investasi asing yang menarik lagi aman.

Sebelum menanamkan investasi, investor asing pasti akan mencermati risiko negara (country risk) suatu negara misalnya Indonesia. Country risk adalah suatu cara pengukuran mengenai tingkat ketidakpastian politik dan ekonomi dalam suatu negara yang dapat berdampak pada nilai pinjaman dan investasi di negara tersebut (Alan C Shapiro, 1998).

Salah satu lembaga pemeringkat country risk yang terkemuka adalah The PRS Group yang menerbitkan International Country Risk Guide (ICRG), yang memuat country risk semua negara. ICRG mengelompokkan komponen risiko negara ke dalam tiga risiko politik, ekonomi dan finansial. Tingkat risiko negara meliputi risiko amat rendah, rendah, moderat, tinggi dan amat tinggi.

Kini Indonesia berisiko negara moderat (moderate country risk). Hal ini menjadi pertimbangan investor dalam berinvestasi. Maka, pemerintahan Joko Widodo wajib menggenjot tingkat risiko Indonesia menjadi risiko rendah (low risk) seperti Singapura dan Malaysia. Ingat, kian rendah risiko suatu negara, akan kian tinggi investasi sebagai salah satu tulang punggung dalam menyuburkan pertumbuhan ekonomi nasional yang ditargetkan 5,7% pada 2015.

Saat ini defisit transaksi berjalan mencapai 2,81% terhadap produk domestik bruto (PDB) pada triwulan IV/2014. Angka tersebut meningkat dibandingkan dengan periode yang sama pada 2013 sebesar 2,50%. Oleh karena itu, di sisi fiskal, pemerintah perlu menjaga tingkat defisit transaksi berjalan serendah mungkin.

Lantaran makin rendah defisit transaksi berjalan, makin rendah pula kebutuhan dolar AS bagi para importir untuk melakukan transaksi impor. Hal ini tentu saja akan mendorong penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Ringkas tutur, hendaknya BI Rate bukan satu-satunya alat moneter dalam menanggapi kenaikan The Fed Funds Rate.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar