Sabtu, 28 Februari 2015

Menjadi Petugas Partai

Menjadi Petugas Partai

Airlangga Pribadi Kusman  ;  Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga, Kandidat PhD Asia Research Center Murdoch University
JAWA POS, 26 Februari 2015

                                                                                                                       
                                                

SESAAT setelah Bung Karno keluar dari pengapnya penjara kolonial Sukamiskin pada 1933, tekadnya untuk melanjutkan perjuangan politik ditambatkan kembali dengan menulis sebuah risalah panjang berjudul Mencapai Indonesia Merdeka. Risalah klasik kaum pergerakan itu dalam banyak hal masih relevan untuk menyegarkan arena politik kita. Salah satu hal yang menarik dari risalah tersebut adalah Soekarno menguraikan tugas utama partai politik beserta para aktivis yang ada di dalamnya. Suatu pesan yang patut untuk digali kembali di tengah maraknya pembicaraan tentang petugas partai dalam ruang politik di Indonesia terkini.

Dalam karyanya di atas, Soekarno memberikan solusi bahwa sebuah partai yang sadar, partai pelopor, haruslah lahir sebagai pemandu jalan yang selalu mengikatkan aksi politiknya kepada semangat rakyat yang sadar akan tujuan kemerdekaan. Partai dengan kader-kadernya seharusnya memiliki disiplin ideologis dan komitmen terhadap tujuan Indonesia merdeka, sekaligus menjauhkan diri dari setiap bentuk penyelewengan dan korupsi yang mengakibatkan berbeloknya tujuan perjuangan bersama.

Seruan Soekarno tentang peran partai politik dan petugas partai adalah seruan yang tak lekang oleh zaman meski ditorehkan pada era kolonialisme. Dalam konteks proses demokrasi di Indonesia yang bersendi sistem multipartai, sudah seharusnya setiap politikus dan kader-kader partai politik adalah petugas partai. Petugas dari partai yang mana alasan keberadaannya adalah menjadi kanal agregasi dari aspirasi publik yang menjadi konstituennya. Partai yang memiliki tugas untuk menjalankan pendidikan politik sehingga rakyat sadar akan hak-hak publiknya untuk terlibat dalam pembangunan sekaligus melawan berbagai bentuk korupsi yang berlangsung dalam penyelenggaraan republik. Setiap politikus, termasuk mereka yang menjadi pejabat publik seperti presiden, adalah petugas partai yang dalam tindakan dan langkahnya mencerminkan program ideologis yang menjadi karakter dari partai politik sebagai bagian dari basis politiknya.

Namun, persoalan timbul ketika memahami kondisi politik terkini. Kondisi demokrasi post-authoritarianism di Indonesia telah menjadikan partai politik tidak menjelma sebagai penyambung kehendak rakyat sebagai konstituen pemilik kedaulatan republik. Dalam pertautan antara kepentingan, kuasa, dan politik, konstelasi politik di Indonesia menghasilkan partai yang menjadi mesin politik bagi sarana untuk mempertahankan kekuasaan dan kemakmuran dari lingkaran terbatas elite politik yang menguasainya.

Dalam kondisi demikian, ketika partai politik menjadi perpanjangan kepentingan elite penguasa bukannya kanal aspirasi rakyat sebagai pemilih, makna politikus seperti halnya presiden sebagai petugas partai harus ditafsirkan kembali. Peran presiden yang berangkat dari politikus sebagai petugas partai tidaklah identik sebagai pelaksana kepentingan dari penguasa partai politik, apalagi ketika kepentingan para elite partainya bertolak belakang, baik dengan kehendak pemberantasan korupsi maupun penyelenggaraan tata kelola bernegara yang demokratik. Dalam kasus kontroversi pengangkatan Kapolri ataupun penggerogotan otoritas KPK, yang agaknya membenturkan kepentingan penguasa partai politik dengan tujuan pemerintahan dalam agenda pemberantasan korupsi, peran Presiden Joko Widodo sebagai petugas ideologi partai semestinya tidak membiarkan terjadinya penggerogotan kedaulatan KPK dalam melaksanakan tugas pemberantasan korupsi.

Ketika kita kembalikan substansi dari petugas partai dalam spirit yang diserukan Bung Karno dalam risalahnya, Mencapai Indonesia Merdeka, di atas, ukuran baik bagi presiden ataupun elite-elite dan kader parpol sebagai petugas partai dinilai atas konsistensi mereka untuk bergerak sejalan dengan seruan publik yang menghendaki pemberantasan korupsi. Juga, penguatan instrumen kelembagaan yang mendorong terbangunnya integritas institusi penunjangnya seperti KPK. Ketika kontradiksi antara kehendak elite politik untuk tidak mau berdamai dengan kehendak publik untuk membangun kehidupan republik yang bersih dan bebas korupsi, elite-elite partai politik sendirilah yang tidak mampu memerankan diri sebagai petugas partai secara otentik.

Partai sebagai Sumber Daya     

Sehubungan dengan konstelasi politik Indonesia terkait dengan posisi antara kekuatan oposisi berhadapan dengan kubu pemerintah, Joko Widodo saat ini berada di posisi yang sulit. Komposisi politik memperlihatkan bahwa mayoritas tekanan oposisi terhadap pemerintah mengharuskan koalisi internal di dalam tubuh pemerintahan membangun soliditas dengan pemimpin dengan menjalankan performa pemerintahan yang sejalan dengan kehendak publik untuk membangun kehidupan bernegara yang bersih dan demokratik. Kondisi demikian memaksa presiden untuk mengakomodasi kepentingan elite partai yang bertentangan dengan seruan pemberantasan korupsi. Hal tersebut mengundang bencana politik yang lebih besar bagi pihak pemerintah. Membenturkan presiden dan kehendak rakyat yang berharap di bawah Joko Widodo akselerasi pembangunan akan terbebas dari penyakit kronis korupsi adalah manuver yang berakibat hancurnya wibawa presiden dan pemerintahan sekaligus pengabaian atas sendi-sendi ideologis dari kehadiran partai dalam kehidupan demokrasi.

Dalam kondisi krisis politik seperti sekarang, penting kita merenungkan pandangan Richard J. Samuels (2003), profesor ilmu politik. Yakni, kepemimpinan politik ditentukan dari kemampuan pemimpin untuk melenturkan hambatan-hambatan politik melalui keterampilan untuk memanfaatkan sumber-sumber daya sosial, politik, dan ekonomi sebagai sarana mencapai tujuan yang telah ditentukan bersama. Dalam hari-hari yang panjang saat ini, kemampuan politik Joko Widodo tengah diuji untuk mengonsolidasikan sumber daya yang ada, baik itu partai politik maupun kekuatan masyarakat sipil, untuk menghadapi tekanan oposisional maupun memajukan agenda-agenda reformis yang terbengkalai. Sementara itu, peran-peran para elite penguasa partai saat ini ditunggu sebagai petugas partai, untuk menyatukan diri dengan kehendak kolektif rakyat yang selama ini tertinggal dan dipinggirkan dari pengelolaan hidup bernegara maupun pembangunan yang menyentuh hajat hidup mereka sebagai warga negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar