Rabu, 25 Februari 2015

Parpol, DPR, dan Masyarakat Sipil

Parpol, DPR, dan Masyarakat Sipil

Azyumardi Azra  ;  Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Ketua Teman Serikat Kemitraan untuk Pembaruan Tata Pemerintahan
KOMPAS, 24 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Akhirnya Presiden Joko Widodo tidak jadi melantik Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kepala Polri. Sebaliknya, Presiden mengusulkan Komisaris Jenderal Badrodin Haiti sebagai calon Kepala Polri baru. Jelas keputusan Presiden yang telah ditunggu cukup lama—yang sempat membuat gemas dan gusar kalangan masyarakat, LSM, kelompok masyarakat sipil (civil society), pengguna internet (netizen) di dunia maya, dan politisi—cukup melegakan. Kini keputusan itu setidaknya sudah ada, kegundahan dan kegusaran berlalu sudah.

Namun, segera jelas, membatalkan Budi Gunawan (BG) sebagai calon Kapolri yang sudah disetujui DPR dan mencalonkan Badrodin Haiti untuk mendapat persetujuan DPR bakal tidak berjalan mulus. Hari-hari mendatang tampaknya kembali diliputi kegaduhan politik yang bisa meningkatkan eskalasi politik nasional.

Isyarat kembalinya kegaduhan politik itu sudah terlihat. Sejumlah politisi, khususnya dari PDI-P—partai pengusung Joko Widodo-Jusuf Kalla—sudah terdengar suara penolakannya atau sedikitnya mempersoalkan keputusan Presiden Jokowi. Wakil Ketua Komisi III Trimedya Panjaitan (PDI-P) menyatakan tetap menginginkan Presiden Jokowi melantik BG.

Secara umum, PDI-P terlihat kecewa berat atas keputusan Presiden Jokowi. Meski demikian, terdapat pihak yang ”memahami” keputusan Presiden, dan karena itu akan memperjuangkan semua kebijakan Presiden Jokowi di DPR. Dwi Ria Latifa, politisi PDI-P di Komisi III, menyatakan, sikap itu merupakan instruksi langsung Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri.

Nada sama—atau lebih keras—juga datang dari kalangan parpol lain yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP), yang awalnya merupakan lawan politik Jokowi-Kalla. Sebagai kubu politik yang berseberangan dengan pemerintahan Jokowi-Kalla, KMP mengagetkan publik ketika mereka secara aklamasi mendukung BG menjadi calon Kapolri yang diusulkan Presiden Jokowi.

Sikap ini, misalnya, terlihat dari pernyataan anggota Komisi III, Bambang Soesatyo (Partai Golkar), yang menyatakan pembatalan pencalonan BG dan pengajuan Badrodin Haiti bakal sulit diterima di Rapat Paripurna DPR. Dalam sebuah diskusi di Jakarta, akhir pekan lalu, dia menegaskan, keputusan Presiden Jokowi itu membawa Istana ke titik paling rendah. Ia menyatakan, ”Kita berharap Istana Negara menjadi sebuah istana rajawali, bukan istana kampret.”

Entah kenapa anggota dan pimpinan DPR bersikap seperti itu, yang disertai kalimat yang tidak dapat disebut santun. Apa sesungguhnya yang terjadi di balik layar dengan sikap rawe rawe rantas malang malang putung (semua kekuatan harus dikerahkan) dalam pencalonan BG itu? Political deal apakah yang berantakan gara-gara batalnya BG dilantik sebagai Kapolri? Sebaliknya, political deal apa lagi yang harus dibangun agar DPR bersetuju Badrodin Haiti sebagai calon Kapolri baru? Kita tidak tahu dan tidak bisa berspekulasi tentang apa dan bagaimana political deal selanjutnya.

Terlepas ada tidaknya political deal di kalangan parpol di DPR, jelas pergaduhan politik yang terjadi di lembaga legislatif ini bakal menambah kekecewaan banyak pemilih. Jelas elite politik, baik di parpol maupun di DPR, lebih sibuk dengan kepentingan sendiri daripada kepentingan pemilih dan publik. Para pemilih yang mengharapkan elite politik dan anggota DPR mendukung pemberantasan korupsi bakal tambah kecewa, yang ujungnya boleh jadi meningkatkan frustrasi dan apatisme politik.

Namun, frustrasi dan apatisme politik tidak akan menghasilkan apa-apa. Sebaliknya, hanya membuka ruang lebih besar lagi bagi kian meningkatnya manipulasi dan the use and abuse politik demi kepentingan parpol dan koalisi masing-masing.

Oleh karena itu, frustrasi dan apatisme politik di kalangan masyarakat jangan dibiarkan tumbuh. Sebaliknya, masyarakat sipil mesti terus bertahan untuk berjuang menghadapi kegaduhan politik yang jelas merugikan kepentingan negara-bangsa.

Kasus pembatalan pencalonan BG oleh Presiden Jokowi sangat terkait dengan meningkatnya aktivisme masyarakat sipil. Kegaduhan politik yang terus meningkat terkait pencalonan BG serta penetapan dua komisioner KPK dan kriminalisasi terhadap sejumlah aparat KPK telah mendorong revitalisasi masyarakat sipil.

Masyarakat sipil terdiri dari berbagai kelompok kampus, LSM, ormas, Tim 9 Independen, sampai warga pengguna internet di dunia maya. Dengan banyaknya media massa yang cenderung memihak mereka, masyarakat sipil dapat menghadirkan tekanan terhadap berbagai pihak yang terlibat dalam kegaduhan politik terkait kasus pencalonan BG yang disertai kriminalisasi terhadap sejumlah fungsionaris KPK.

Tugas dan tantangan masyarakat sipil tampaknya jauh dari selesai. Mengantisipasi kegaduhan politik baru di DPR terkait gejala penolakan terhadap Badrodin Haiti, masyarakat sipil patut tetap waspada dan siap bergerak dengan damai dan keadaban.

Tidak kurang pentingnya adalah mencegah berlanjutnya kriminalisasi (fungsionaris) KPK. Publik menunggu—agaknya dengan gemas—apakah pemimpin sementara KPK Taufiequrachman Ruki dan calon Kapolri Badrodin Haiti dapat bersepakat menyudahi kriminalisasi itu, yang tidak kondusif bagi penciptaan sinergi antara KPK dan Polri dalam pemberantasan korupsi dan penciptaan pemerintahan bersih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar