Jumat, 27 Februari 2015

Pengadilan bagi Sang Begal

Pengadilan bagi Sang Begal

Bagong Suyanto ;  Dosen Program Pascasarjana FISIP Universitas Airlangga
KORAN TEMPO, 27 Februari 2015


                                                                                                                                     
                                                

Batas kesabaran masyarakat terhadap ulah begal tampaknya sudah benar-benar habis. Ulah begal yang sering kali tidak hanya merampas kendaraan korban, tapi juga tak segan melukai korban dengan senjata tajam atau bahkan menembak korban yang tidak berdaya dengan pistol rakitan, membuat masyarakat benar-benar geram.

Rasa aman yang terancam, keselamatan nyawa yang terasa makin murah, dan sikap polisi yang dinilai tidak berdaya menyebabkan masyarakat kini lebih memilih mengadili sendiri pelaku tindak kejahatan yang tertangkap tangan. Amuk massa atau main hakim sendiri, seperti menghajar pelaku hingga babak belur atau bahkan membakar dan membunuh pelaku tindak kejahatan, oleh sebagian masyarakat tampaknya cenderung dianggap sebagai cara efektif untuk mengadili terdakwa yang tertangkap basah melakukan tindak kriminal.

Di Tanah Air, tindakan masyarakat yang spontan mengadili dan menghajar pelaku tindak kejahatan hingga tewas sebetulnya bukan hal yang baru. Pada 2000, tindakan main hakim sendiri yang dilakukan masyarakat terhadap pelaku tindak kejahatan sudah berkali-kali terjadi. Hanya dalam tempo 5-6 bulan saja, pada tahun itu minimal 70 pelaku tindak kejahatan yang tertangkap massa dihajar habis-habisan atau dibakar hidup-hidup hingga tewas.

Dalam situasi kerumunan yang sudah tidak lagi terkendali, memang sering yang berkembang adalah tindakan irasional, ekspresi dari kegeraman, dan godaan perilaku kerumunan yang liar serta acap kali lepas kendali. Di tengah kerumunan, sudah lazim terjadi ketika ada satu-dua orang yang bertindak memukul pelaku tindak kejahatan atau berseru bunuh atau bakar, misalnya, maka bisa dipastikan puluhan atau mungkin ratusan bogem mentah akan sontak melayang ke muka dan sekujur tubuh tersangka, dan hampir dapat dipastikan penjahat sial itu segera tewas.

Aparat kepolisian sendiri, dalam banyak kasus, kerap juga tidak bisa berbuat apa-apa ketika menghadapi reaksi massa yang sudah terlanjur emosi dan beringas. Di sejumlah daerah, bahkan tak jarang terjadi meskipun pelaku tindak kejahatan sudah diamankan aparat kepolisian. Ternyata hal itu tidak menjadi jaminan keselamatan mereka akan dapat dijaga. Di beberapa daerah, kita tahu terkadang masyarakat berbuat nekat mengambil paksa tersangka dari kantor polisi, kemudian mengadili dan menyelesaikannya dengan cara mereka sendiri: menghajar pelaku kejahatan dan bahkan kemudian membunuhnya beramai-ramai.

Di kalangan masyarakat yang sudah terlalu lama dicekam ketakutan yang bercampur dengan kegeraman terhadap ulah penjahat yang makin sadistis, tampaknya yang terjadi kini adalah sebuah era balas dendam. Sementara selama bertahun-tahun masyarakat umumnya selalu hidup dengan perasaan waswas, apalagi jika berada di zona-zona yang rawan, kini sebaliknya, para penjahat pun mau tidak mau harus berpikir masak-masak sebelum melakukan sebuah tindak kejahatan. Di kalangan masyarakat yang sudah hilang batas kesabaran dan ketakutannya, tampaknya summary justice (keadilan kilat) atau tindakan main hakim sendiri menjadi pilihan yang dibenarkan, dan bahkan dipandang perlu untuk terus dikembangkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar