Rabu, 25 Februari 2015

Penyertaan Modal Negara

Penyertaan Modal Negara

Dani Setiawan  ;  Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia
KOMPAS, 24 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Salah satu isu yang mendapat perhatian luas dalam pembahasan RAPBN-P 2015 lalu adalah rencana pemerintah menambah penyertaan modal negara (PMN) menjadi Rp 72,9 triliun, yang akan dialokasikan kepada 40 BUMN.
Jumlah penyertaan ini meningkat 1.328 persen atau sekitar Rp 67,8 triliun dari alokasi APBN 2015 yang Rp 5,1 triliun. Dari total jumlah ini, Kementerian BUMN mengajukan Rp 48,01 triliun untuk 35 perusahaan, terdiri dari Rp 46,8 triliun PMN tunai dan Rp 1,21 triliun PMN nontunai. Sisanya, sekitar Rp 27 triliun, PMN untuk BUMN di bawah Kementerian Keuangan.

Empat catatan

Pemberian PMN setidaknya dilatarbelakangi keinginan pemerintah menjadikan BUMN sebagai salah satu penggerak utama pertumbuhan ekonomi. Tak saja akan mendorong pengembangan BUMN itu sendiri, tetapi juga menjadikan BUMN sebagai agen pembangunan nasional. Karena pentingnya pembahasan PMN dalam RAPBN-P 2015, terdapat empat hal yang harus diperhatikan pemerintah dan DPR dalam memutuskan mengenai tambahan PMN kepada sejumlah BUMN.

Pertama, dalam penyelenggaraan suatu perekonomian yang berlandaskan Pasal 33 UUD 1945, peranan BUMN mendapatkan posisi sangat penting. Karena itu, tak bisa dihindari, keberadaan BUMN merupakan suatu keinginan negara untuk menguasai bidang-bidang vital dan strategis. Ini mengingat bidang itu menyangkut kepentingan umum dan masyarakat banyak. Secara historis, penguasaan negara atas cabang-cabang produksi penting mengandung misi ideologis. Yakni memastikan terjadinya transformasi perekonomian kolonial menuju ekonomi nasional dalam sistem ekonomi kerakyatan. Pengendalian atas cabang-cabang produksi yang penting dilakukan dengan mengoptimalkan peran BUMN sebagai penggerak utama perekonomian nasional.

Oleh karena itu, penambahan PMN dalam APBN-P 2015 haruslah merupakan suatu strategi untuk menjadikan peranan BUMN yang semakin besar dalam ekonomi nasional. Hal tersebut setidaknya dapat dilihat melalui tiga hal: (1) meningkatnya pelayan publik yang memadai bagi seluruh rakyat Indonesia karena negara (melalui BUMN) memiliki orientasi sosial dalam penyelenggaraan kegiatan usahanya; (2) penciptaan lapangan pekerjaan yang masif bagi seluruh rakyat Indonesia; dan (3) meningkatkan kontribusi BUMN pada penerimaan negara.

Kontribusi ini tak hanya dihasilkan dari pengumpulan pembayaran pajak oleh BUMN, tetapi juga yang dikumpulkan dari pembagian keuntungan kepada negara atas penguasaan BUMN pada industri-industri strategis seperti SDA. Peranan strategis BUMN dalam perekonomian nasional dengan sendirinya mampu mengurangi kebergantungan kepada negara lain, baik dalam bentuk modal maupun teknologi.

Kedua, dari 40 BUMN yang mendapat suntikan modal segar dari pemerintah, alokasi PMN untuk pembangunan infrastruktur dan kemaritiman mendapat alokasi paling besar, sekitar 69 persen dari total penyaluran PMN. Alokasi PMN untuk sektor infrastruktur dan kemaritiman sebagian besar disalurkan ke PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) dengan alokasi Rp 20,3 triliun.

PT SMI adalah BUMN di bawah Kementerian Keuangan, yang secara aktif mensponsori kerja sama pemerintah-swasta dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia. PT SMI memiliki anak perusahaan bernama PT Indonesia Infrastructure Finance (IIF), yang sahamnya dimiliki bersama sejumlah lembaga keuangan internasional, di antaranya ADB dan IFC. PT IIF sepenuhnya dikelola sebagai perusahaan swasta yang ditujukan untuk membiayai proyek infrastruktur, khususnya yang dilakukan pihak swasta yang dinilai layak secara komersial.

Oleh sebab itu, total PMN infrastruktur dan kemaritiman Rp 50,7 triliun dalam APBN-P 2015 berpotensi tak sepenuhnya dinikmati BUMN. Sekurang-kurangnya Rp 20,3 triliun diperuntukkan langsung bagi pembiayaan sektor swasta yang pengelolaan infrastrukturnya dilakukan secara komersial. Dari sisi ini, patutlah rakyat mewaspadai bahwa pemberian PMN infrastruktur dalam RAPBN-P 2015 merupakan cara legal melakukan praktik komersialisasi penyediaan infrastruktur di Indonesia.

Ketiga, suntikan dana APBN melalui PMN haruslah mempertimbangkan kinerja BUMN dan masalah-masalah yang terjadi dalam tubuh BUMN. Secara keseluruhan, nilai PMN kepada semua BUMN telah mencapai Rp 770,4 triliun per 31 Desember 2013. Dengan total aset sekitar Rp 4.467 triliun pada 2014, BUMN masih jadi pemain penting dalam ekonomi Indonesia.

Besarnya penyertaan modal negara dan makin bertambahnya aset BUMN tidak serta-merta menjadikan kinerja BUMN makin membanggakan. Sejumlah BUMN masih diliputi berbagai persoalan keuangan yang akut, bahkan lebih parah lagi banyak BUMN dipaksa hanya mengejar keuntungan tanpa mempertimbangkan fungsinya sebagai public service atau public utilities.

Berbagai persoalan di tubuh BUMN berasal dari banyak faktor. Bahkan, tak jarang bersumber dari kebijakan pemerintah yang langsung dan tidak langsung menyudutkan peran BUMN dalam perekonomian nasional. Sebut saja bagaimana kebijakan impor pangan, termasuk gula, yang terus dilakukan pemerintah sehingga stok gula di gudang-gudang BUMN menumpuk, tak bisa terjual. Begitu pun dalam hal penempatan direksi dan komisaris atau dewan pengawas BUMN yang cenderung mengabaikan profesionalisme dan tak sungguh-sungguh memahami fungsi dan tugas BUMN sebagai pilar ekonomi nasional yang diamanatkan oleh konstitusi.     

Keempat, PMN harus berorientasi memperkuat modal BUMN, sekaligus mengurangi ketergantungan BUMN pada pinjaman luar negeri yang sudah sangat besar. Menurut BI, utang luar negeri (ULN) BUMN mengalami pertumbuhan cukup signifikan. Akhir 2014, proporsi utang BUMN 29.107 miliar dollar AS atau sekitar 18,13 persen dari total ULN swasta, meningkat 17,8 persen dari 2013 yang hanya sekitar 24.706 miliar dollar AS. Proporsi ULN BUMN per 2014 dapat dibagi jadi tiga kelompok peminjam: (1) bank, 3.411 miliar dollar AS; (2) lembaga keuangan bukan bank, 1.616 miliar dollar AS; (3) perusahaan bukan lembaga keuangan, 24.080 miliar dollar AS.

Jauhkan kekuasaan politik

Menurut jangka waktu pembayaran, rata-rata ULN swasta (bank dan bukan bank) merupakan utang jangka panjang (lebih dari 1 tahun) dengan total utang per November 2014 senilai 116.769 miliar dollar AS. Jika kondisi ini terus dibiarkan, keberadaan utang BUMN justru menjadi malapetaka bagi perekonomian nasional. Berdasarkan empat hal di atas, sudah sepatutnya kita mengawasi agar pemberian PMN dilakukan semata-mata untuk meningkatkan kinerja BUMN sebagai salah satu pilar penting dalam pembangunan nasional. Pengelolaan BUMN harus semakin dijauhkan dari kekuasaan politik agar tidak terjadi penyalahgunaan dan jadi sapi perahan bagi pihak penguasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar