Sabtu, 28 Februari 2015

Rapuhnya Pilar Negara

Rapuhnya Pilar Negara

Komaruddin Hidayat ;  Guru Besar Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah
KORAN SINDO, 27 Februari 2015

                                                                                                                       
                                                

Ibarat membangun rumah besar, Indonesia resmi didirikan dan diakui dunia sejak Agustus 1945. Mengingat sedemikian luas wilayah dan besar jumlah penduduknya, tiang-tiang atau pilar yang menyangganya mesti kokoh.

Di antaranya adalah pilar angkatan bersenjata yang bertugas menjaga keamanan dan keutuhan negeri. Dari sisi ini jelas kita kedodoran. Orang luar yang berniat jahat atau ingin mencuri kekayaan alam kita bisa keluar-masuk dari pintu mana saja. Berbagai penyelundupan narkoba, perdagangan gelap, dan aktor-aktor terorisme-radikalisme mudah luput dari pengawasan dan pencegahan.

Lemahnya pilar ini saja sudah merembet ke mana-mana sehingga negara mengalami kerugian dan kegaduhan sangat besar. Ibarat seorang petani yang memiliki sawah amat luas dan tidak sanggup mengurus dan merawatnya, maka maling-maling dengan leluasa memungut hasil kebunnya atau bahkan menduduki tanahnya. Siapa yang mesti disalahkan?

Pilar lain yang juga amat vital adalah bidang pendidikan yang bertugas menumbuhkan dan mengantarkan warga negara agar cerdas, terampil, berkarakter serta mencintai bangsa, negara dan masyarakatnya. Dengan demikian, lewat pilar pendidikan masa depan bangsa dan negara dititipkan. Bagaimana nasib masa depan bangsa ini dipercayakan dan dipertaruhkan pada pilar pendidikan.

Tapi, lagil-agi, cerita pendidikan kita sangat mengecewakan baik di tingkat menengah maupun perguruan tinggi. Indikatornya sederhana saja. Korelasi antara pendidikan dan kemajuan ekonomi, kompetisi keilmuan dalam percaturan global serta perilaku sosial, politik dan birokrasi masih jauh dari yang diharapkan.

Setiap tahun negara mengeluarkan anggaran paling besar untuk sektor pendidikan, dari tahun ke tahun, namun produk yang dihasilkan belum mampu bersaing dengan negara-negara lain yang lebih kecil populasi dan kekayaan alam serta penduduknya. Berarti ada masalah sangat serius dengan pilar pendidikan bangsa ini.

Begitu banyak faktor nonpendidikan yang telah merusak dan menghambat agenda penguatan pilar pendidikan. Lemahnya pilar pendidikan juga berimplikasi pada lemahnya pilar ekonomi bangsa. Meski Indonesia memiliki sumber daya alam dan penduduk yang melimpah, kini bangsa ini menjadi pangsa-pasar hasil teknologi asing yang menggiurkan. Sejak dari peralatan anak sekolah, peralatan rumah tangga, kantor dan automotif hampir semuanya didominasi produk asing.

Bahkan juga hidangan di atas meja makan dan peralatan mandi kebanyakan produk asing. Artinya, aspek industri manufaktur untuk mengelola dan meningkatkan harga jual yang semua bahan mentahnya kita punya, tapi ternyata mesti melalui tangan asing yang melakukannya, lalu kita jadi pembelinya. Termasuk juga bahan bakar mobil. Ini realitas yang menyedihkan dan sudah lama berlangsung. Kapan akan berakhir?

Sebagai negara hukum yang menerapkan sistem demokrasi, partai politik juga merupakan pilar bernegara yang mesti dikembangkan agar sehat dan kuat. Sebagai negara demokrasi, pemerintahan tidak mungkin terbentuk dan berjalan tanpa adanya multipartai politik peserta pemilu secara berkala. Parpol dan pemilu merupakan lembaga mekanisme untuk memperbarui kontrak antara rakyat dan negara.

Rakyat menyerahkan kedaulatannya lewat parpol untuk diteruskan pada negara, lalu negara membayar kembali dengan memberi perlindungan dan kesejahteraan kepada warganya melalui pemerintahan yang terbentuk. Pemerintah itu asalnya dari rakyat, mengemban amanat rakyat, namun bekerja atas nama negara dan digaji oleh negara. Dalam kinerjanya, pemerintah diawasi oleh wakil rakyat yang terhimpun dalam lembaga DPR.

Jadi, secara teoretis pilar bernegara itu sudah lengkap dan tertata rapi. Di samping yang disebut di atas, masih terdapat pilar lain berupa lembaga tinggi negara yang secara teoretis berperan memperkukuh serta memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tetapi, pertanyaan, keluhan dan gugatan yang selalu muncul adalah, mengapa kondisi bangsa, masyarakat dan pemerintahan kita tidak enak dilihat, didengar dan diikuti sepak terjangnya?

Mengapa kemiskinan dan pelanggaran hukum serta etika sosial mudah sekali dijumpai dimana-mana? Bahkan sebagian rakyat menilai telah terjadi pembajakan dan pengkhianatan kedaulatan dan mandat rakyat yang telah diberikan kepada para wakilnya dan aparat negara. Berbagai pilar bernegara tadi yang sekarang paling heboh dan menimbulkan kekecewaan rakyat adalah pilar partai politik dengan berbagai implikasi dan turunannya.

Di negara yang telah mapan dan kokoh pilar-pilarnya, yang terjadi adalah pilar tadi saling menyangga dan memperkuat yang lain, tak ubahnya bangunan rumah yang masing-masing tiang saling menyangga. Tetapi jika ada tiang utama yang keropos, bengkok dan patah, maka akan sangat membahayakan dan mengganggu tiang yang lain. Bebannya menjadi berat dan bisa membuat rumah ambruk.

Demikianlah, yang mengemuka di negeri ini pilar politik malang-melintang membuat repot pilar lain. Kinerja dunia pendidikan, keamanan, ekonomi, infrastruktur diintervensi oleh tangan-tangan politik sehingga prinsip akuntabilitas dan profesionalisme tidak berjalan. Padahal mekanisme pelimpahan kedaulatan rakyat pada negara dilakukan melalui medium parpol peserta pemilu.

Di sini terjadi ironi dan deviasi yang dilakukan oleh dunia parpol yang memikul mandat dan kepercayaan rakyat untuk membangun dan memajukan kehidupan bernegara, yang terjadi adalah perusakan kaidah-kaidah hukum dan etika bernegara yang merupakan produkdari demokrasi dengan aktor utamanya parpol.

Melihat parpol yang sakit, maka pilar lain mesti berdiri kokoh dan berani melawan tangan-tangan politik yang hendak memperlemah pilar lain. Jajaran eksekutif meskipun awalnya utusan dan usulan parpol, begitu duduk sebagai aparat pemerintah mereka adalah mengemban amanat rakyat yangdilimpahkanpada negara, bukan lagi pekerja dan anak buah partai.

Jumlah rakyat jauh lebih banyak ketimbang elite-elite pimpinan parpol. Mereka ini yang memiliki kedaulatan primer dan ibu kandung yang melahirkan negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar